Bab 1 - Pengantin Baru

1714 Words
Zulfa Zahra El-Faza Sudah dua minggu Gus Fatih resmi menjadi suamiku. Akad nikah diadakan di Kediri, rumahku. Lalu seperti adat orang ala Jawa Timuran, resepsi diadakan sehari setelahnya. Bedanya resepsi pernikahan kami dilangsungkan dua kali, sehari di Kediri dan sehari di Jombang. Acaranya tidak mewah tetapi cukup meriah. Yang hadir banyak, sangat malahan. Mereka wali para santri Abah-Umi, Kiai dan Bu Nyai—yang sekarang menjadi mertuaku, para alumni, tokoh masyarakat dan warga sekitar, saudara, kerabat, teman-temanku maupun Gus Fatih, juga tamu para masyayikh dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Bahkan ada juga yang datang jauh-jauh dari Jawa Tengah dan Jawa Barat—para masyayikh sahabat kedua orang tua dan mertuaku. Semuanya datang untuk mendoakan pernikahanku. Ya, pernikahanku. Pernikahan ini bukan hanya sekadar pernikahan antara aku dan Gus Fatih, suamiku. Tidak sekadar menyatukan kami dalam ikatan suci. Secara tidak langsung pernikahan ini juga menjadi penyatuan dari dua pesantren besar milik Abah dan Kiai. Dan itu sudah biasa terjadi di kalangan kami. Kalangan keluarga pengasuh pondok pesantren. Perjodohan, menikah karena dijodohkan. Meski kenyataannya Gus Fatih dan aku sudah pernah memiliki hubungan sebelumnya. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan terjadi. Hari itu saat Abah dan Umi datang menyambangiku bersamaan Kiai dan Bu Nyai yang memanggilku. Kukira mereka mau menambah hukumanku. Hatiku sudah berdebar hebat saat itu, apalagi saat melihat keberadaan Gus Fatih yang semakin memperkuat dugaanku bahwa akan ada takziran tambahan. Aku sudah pasrah waktu itu, tetapi ternyata aku salah. Abah dan Umi maupun Kiai dan Bu Nyai ternyata malah membicarakan niatan mereka untuk menjodohkanku dengannya, bahkan Gus Fatih sendiri menyetujuinya. Aku dibuat bingung karenanya, terlebih kemudian mendengar Abah yang mengatakan kesiapan Gus Fatih untuk segera menikah denganku. Perasaanku campur aduk. Saat mereka menanyakan pendapatku aku hanya bisa diam dan meminta waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan. Usiaku saat ini 19 tahun dan Gus Fatih lebih tua empat tahun dariku, usianya 23 tahun. Aku tidak yakin kami bisa berumah tangga. Masalahnya bukan pada Gus Fatih, masalahnya adalah padaku yang masih terlalu labil. Aku khawatir mengecewakan kedua keluarga dan Gus Fatih yang akan menjadi suamiku. Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik, takut belum mampu hidup berumah tangga walau pendidikanku di madrasah diniyah sudah rampung, tinggal menunggu hasil ujian dan wisuda. Bagaimanapun aku merasa masih terlalu muda untuk berumah tangga. Selama seminggu aku memikirkannya. Senang sebenarnya mendengar kesediaan Gus Fatih menikahiku. Itu berarti dia benar serius padaku, tetapi bagaimanapun juga masih ada keraguan dalam hatiku. Aku baru yakin dan setuju setelah melakukan salat Istikharah di hari ketujuh dan bermimpi berjalan beriringan dan begandeng tangan dengan Gus Fatih—untuk ke sekian kali, mimpi yang sama selama tujuh hari berturut-turut. Aku pun mendatangi Abah dan Umi yang sengaja menginap di Jombang karena menunggu keputusanku setelah didesak Dewi yang sejak awal menyuruhku langsung menerima perjodohan ini. Aku tidak langsung mengatakan kesediaanku juga tentang mimpiku, melainkan meminta Abah dan Umi untuk menanyakan sekali lagi keseriuasan keputusan Gus Fatih terlebih dulu. Aku takut kalau sebenarnya dia juga ragu akan perjodohan kami. Tak disangka, Gus Fatih kemudian yang malah meyakinkanku sendiri. Dia meminta untuk dilakukan pertemuan lagi untuk bicara berdua denganku sebelum Abah dan Umi menyampaikan permintaanku padanya dan keluarganya. Kami dipertemukan di ruang tamu ndalem dan dibiarkan bicara berdua dengan Abah, Umi, Kiai, dan Bu Nyai yang mengawasi dari ruang tengah. Setengah jam kami bertukar pikiran sampai Gus Fatih mengucapkan kalimat yang menjadi penguat keyakinanku untuk menyetujui penyatuan kami. “Insyaallah. Aku hanya akan mencintaimu karena Allah. Selalu ada di sampingmu dalam suka dan duka. Menjadi panutan dan imam yang baik dalam kehidupan rumah tangga kita. Dan jika kamu masih ragu akan keputusanmu, maka biarkan aku membimbingmu dan menjaga kepercayaanmu. Kamu bisa memegang kata-kataku. Ini ... adalah janjiku.” Aku pun mengangguk setuju. Seketika Gus Fatih tersenyum, begitu juga denganku. Besoknya aku langsung diboyong pulang oleh orang tuaku. Kami dikhitbah tiga hari setelahnya. Waktu itu, Gus Fatih datang dengan kedua orang tuanya, Kiai Adnan dan Bu Nyai Fatimah dan beberapa kerabatnya. Semua berjumlah delapan orang. Dia terlihat menawan sekaligus lebih tampan dalam balutan baju koko putih, sarung, dan peci hitamnya. Membuat kulit putih bersihnya semakin bersinar saja. Aku sendiri memakai baju warna ungu yang sengaja dikirimkan Bu Nyai sehari sebelumnya. Katanya beliau sendiri yang memilihnya setelah meminta pendapat Gus Fatih mengenai warna apa yang cocok denganku. Gus Fatih yang ditanya langsung berkata ungu karena ungu memang warna kesukaannya. Aku dibuat tertawa mendengarnya. Aku bahagia. Terlebih melihat ekspresi Gus Fatih yang melihatku waktu itu. Dia memasang wajah tak terbaca dengan bibir sedikit terbuka dan kedua bola mata yang tak berkedip sama sekali. Sementara aku langsung menundukkan kepala menjaga pandangannya. Tanggal pernikahan ditentukan seminggu setelah wisuda kelulusanku. Aku kembali sehari ke pondok kala itu, tetapi tepat di hari wisuda pondok Gus Fatih tiba-tiba mendapat panggilan mendadak ke Mesir dari salah satu dosennya. Pernikahan yang kurang seminggu pun akhirnya ditunda. Tiga bulan Gus Fatih di sana menyelesaikan urusannya yang entah apa. Aku pun hanya bisa menunggunya. Gus Fatih pulang seminggu sebelum tanggal pernikahan kami yang sudah ditetapkan ulang. Anehnya Gus Fatih banyak diam sekembali dari Mesir. Kami tidak saling bicara sampai pernikahan, kenyataannya memang selama di Mesir kami juga lost contact. Gus Fatih yang rajin menghubungi sekadar menanyai kabar tidak pernah lagi menelepon, bahkan sekadar mengirim chat. Aku yang biasa dihubunginya pun tak berani menghubungi lebih dulu. Malu. Kami pun akhirnya saling diam sampai hari pernikahan dilangsungkan. *** “Assalamu'alaikum.” Suara Gus Fatih membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang duduk di meja rias segera menyelesaikan sisiranku dan menoleh padanya. Dia baru kembali rupanya, mengisi materi di kelas diniyah santri putra. Sebentar ia memandangiku dan langsung memalingkan muka sembari berdeham. Aku menghampirinya. “Mas mau langsung istirahat atau kubuatkan wedang dulu?” tanyaku mencoba menangkap matanya. Berharap ia mau melihatku lagi sedikit lebih lama. Aku sudah berias tadinya. Berias di sini adalah membersihkan diri, memakai bedak dan minyak wangi. Aku bahkan memakai pakaian tidur yang diberikan Ibu—Bu Nyai yang sudah jadi mertuaku dan menggerai rambut panjangku, berharap Gus Fatih malam ini mau bersamaku. Ya, sebenarnya Gus Fatih sama sekali belum menyentuhku semenjak kami menikah, dan aku merasa terganggu karena itu. “Tidak perlu. Kamu pergi tidur saja dulu,” katanya tetap tak melihatku. Ia mengambil sebuah buku tebal dari salah satu rak bukunya di kamar kemudian pergi membawanya. “Aku mau mengkhatamkannya,” katanya sebelum masuk ke ruangan sebelah. Ruangan ukuran 3 x 4 meter yang berisikan sebuah sofa panjang samping jendela, sebuah meja-kursi untuk belajar dan membaca, juga rak-rak buku lain milik Gus Fatih yang menjadi koleksinya. Aku menundukkan kepala. Mataku pasti sudah berkaca-kaca. Sebentar kulirik jam di dinding yang sudah berangka sepuluh, lalu mataku mengarah lagi padanya. Menatap ke ruangan sebelah yang pintunya dibiarkan terbuka, menampakkan sosok Gus Fatih, suamiku yang sudah bersalin mengenakan kaus putih lengan pendek yang tampak serius dengan bacaannya. Aku menghela napas kasar. Ulu hatiku terasa nyeri melihatnya. Bukan sekali, ini sudah yang ke sekian kali. Tanpa menghiraukan air mataku yang mulai mengalir, aku berjalan ke dekat pintu kamar dan mematikan lampu. Berjalan gontai ke ranjang lalu membaringkan tubuhku. Mataku terpejam, tetapi air mataku terus menerobos keluar. Yang bisa kulakukan adalah menahan isakku agar tak terdengar. Ingin sekali rasanya bertanya pada Gus Fatih alasannya bersikap begini padaku. Apa dia tidak mencintaiku? Namun, kenapa dia tetap menikahiku? Mengingat sikap lainnya padaku membuatku urung menanyakan hal itu. Gus Fatih adalah suamiku, dan dia bersikap baik padaku. Kurasa itu adalah sikap yang memang harus ditunjukkan seorang suami. Dia selalu menunjukkan perhatiannya. Tiga hari sekali setiap Gus Fatih mau berkunjung ke rumah makan yang menjadi bisnis baru rintisannya, dia selalu bertanya aku mau apa, lalu dia akan membelikannya. Bahkan dia juga membantuku memasang resleting belakang pakaianku saat melihatku kesulitan memakainya. Aku juga selalu mengurusnya dan menyiapkan semua keperluannya. Kami benar-benar bersikap normal seperti suami-istri lainnya. Semua yang melihat kami pasti juga akan menganggap begitu. Gus Fatih selalu pamit padaku dan menciumku setiap hendak pergi, aku pun selalu menyalaminya bahkan pernah sekali balas menciumnya. Namun, kenapa? Kenapa Gus Fatih selalu tampak enggan menyentuhku? Ada apa? Apa masalahnya? Bukankah aku ini memang istrinya? Seharusnya dia bebas melakukannya. Kriet …. Terdengar suara decitan ranjang dari sisi sampingku. Aku membuka mata, melihat jam dinding kamar yang menunjukkan angka setengah dua lalu melirik sisi kananku. Kudapati Gus Fatih sudah berbaring di sampingku. Tubuh besarnya tampak memunggungiku. Lagi-lagi aku menahan air mataku. Apa salahku, Gus? Kenapa kau seperti ini padaku? Apa kau tidak mencintaiku? Lalu, bagaimana dengan janjimu? Kenapa kau setuju menikah denganku? Bukankah kau sendiri yang meyakinkanku? Aku memejamkan mata. Tanganku kali ini mengatup ke mulut agar Gus Fatih tidak mendengar isakku. Sebenarnya aku belum bisa tidur sejak tadi, mataku hanya terpejam menahan air mata yang terus keluar. Mau apa lagi? Gus Fatih sungguh membuatku sakit hati. Aku merasa tidak dianggapnya sebagai istri. “Allahu akbar.” Suara takbir Gus Fatih membuatku terjaga lagi. Ia tengah salat malam dalam pakaian koko dan sarung yang biasa dikenakannya berjemaah di atas sajadah birunya. Wajah tampannya tampak teduh terkena cahaya temaram lampu meja yang ada di sebelahnnya. Gus Fatih selalu menyalakanya daripada lampu utama. Entah kenapa kali ini aku merasa semakin kecewa dari biasanya. Pasalnya aku sudah mengatakan padanya sebelumnya kemarin kalau aku ingin salat berjemaah bersamanya. Setidaknya salat malam kan bisa karena dia selalu mengerjakan salat fardunya jemaah di masjid. Kenapa tidak mengindahkannya? Gus Fatih seharusnya bisa membangunkanku kan tadi? Kenapa salat sendiri lagi? Apa dia memang tidak menganggapku sebagai istri? Aku terus berbaring sampai pagi. Mataku terpejam tetapi tidak tidur sama sekali. Pikiranku benar-benar kacau. Aku bahkan tidak bangun salat malam. Gus Fatih barusan sudah selesai mandi saat terdengar suara azan Subuh, dia sekarang sedang bersiap pergi jemaah ke masjid. Aku terus menutup mataku sampai terdengar dia menutup pintu. Lihat! Gus Fatih bahkan tidak berniat membangunkanku untuk salat Subuh. Dia pergi tanpa memikirkanku. Pujian dari masjid pondok yang digunakan berjemaah oleh para santri putra dan warga sekitar desa sudah tidak terdengar. Ikamah baru saja dikumandangkan. Aku bangun dan langsung mendapati pantulan diriku sendiri dari cermin meja rias yang memang menghadap tempat tidur. Begitu kusut dan tampak tak terurus. Mukaku sembap, mataku bahkan bengkak. Aku tersenyum getir melihatnya. Kurasa kali ini aku akan salat sendiri lagi. Ikut berjemaah di musala pondok putri malah akan menimbulkan pertanyaan dengan wajah seperti ini. Entah bagaimana nanti kalau berhadapan dengan Ibu—Bu Nyai. Belum lagi kalau nanti ditanyai Dewi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD