Zulfa Zahra El-Faza
Pagi. Sehabis salat Subuh berjemaah di musala pondok putri, aku tidak langsung kembali ke ndalem. Sengaja aku mengunjungi blok A asrama kamar nomor 3, kamarku semasa mondok dulu.
Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu kugunakan untuk menyimpan baju dan barang-barangku masih berdiri di tempatnya. Fotoku bersama para penghuni kamar pun masih menempel berkat solasi di empat buah sisinya yang bertautan dengan wajah lemari. Aku masih aliyah kelas 3 saat foto itu diambil.
Menghela napas. Aku duduk di sudut ruangan, tempat lemari bajuku berada yang kini sudah beralih fungsi menjadi lemari umum. Lemari itu menjadi tempat menyimpan peralatan mandi bagi teman-teman satu kamar yang lain. Aku bersyukur lemari itu tidak dikeluarkan dari kamar ini dan malah dimanfaatkan seperti itu, aku jadi bisa mengenang waktuku semasa mondok dulu saat menjadi salah satu penghuni kamar ini. Ah, rasanya sudah lama sekali. Padahal belum ada setengah tahun aku meninggalkan kamar ini.
Aku merindukan kamar ini. Seluruh penghuninya, teman-teman, nyamuk yang kadang (bahkan) sering menyerang di waktu malam, decakan cicak di langit-langit plafon, rintik hujan yang menjajaki teras saat angin bertiup kencang dan kadang terserak ke dalam karena pintu yang terbuka—sekarang musimnya hujan, dan tentu saja keributan berkat celoteh dan candaan temanku di kamar ini.
Aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di kamar ini daripada kamarku sendiri selama 19 tahun ini. Aku merindukan kamar ini. Merindukan masa-masaku di sini. Merindukan saat aku masih seorang santri. Merindukan masa di mana aku belum menikah dan menjadi seorang istri.
“Neng.”
Seseorang menepuk pundakku saat aku masih menatap persegi dengan bingkai solasi di ke empat sudutnya itu. Fotoku.
“Iya?” Aku membalikkan tubuhku. Tampak wajah polos Zinda yang menatapku.
Dia teman sekamarku dulu, juga wakilku sebagai ketua pondok sebelum boyong di masa awal jabatanku. Singkatnya gadis berkerudung cokelat muda itu adalah ketua pondok putri yang sekarang, penggantiku.
“Ada yang ingin kubicarakan,” katanya santai, entah kenapa terdengar seperti ada penekanan.
“Sekarang?” Kutatap kedua mata sipit Zinda.
Zinda menganggukkan kepala. “Di kantor pondok putri saja,” ucapnya.
Aku menurutinya.
Beriringan aku dan Zinda melewati teras-teras kamar blok A yang ada di lantai satu. Santri putri yang terlihat mulai sibuk dengan kegiatan pagi terlihat lebih manatap penasaran ke arah kami. Tatapan yang sulit kutafsiri dan akhir-akhir ini kurang kusukai.
Daripada Zinda, mata mereka terlihat lebih lebih menyorot padaku. Ya, aku tahu di mana posisiku. Sebelum pernikahanku sebenarnya mereka sudah begitu selama aku mondok. Berkat sebutan ‘Neng’ yang secara tak langsung tersemat di namaku membuat manik mata mereka selalu tersedot kepadaku, seolah diriku menjadi pusat perhatian—entah untuk alasan apa mereka melakukannya.
Aku terus melangkah dan mencoba mengembangkan senyuman di wajah. Tidak buruk juga. Mereka yang kurang mengenalku karena sebelumnya tidak dekat denganku atau ada di kelas bawah tingkatku dan para santri baru balas mengangguk dan tersenyum. Sedang para santri yang kenal padaku memilih serempak menyapaku saat mataku menyapu ke arah mereka. Sebagai balasan, aku menganggukkan kepala menanggapinya.
“Itu benar Neng Zulfa kan, ya? Subhanallah, cantik sekali, ya, ternyata. Biasanya hanya lihat dari jauh saat jemaah salat. Mau salaman juga gak bisa kalah sama temen lainnya.”
“Iya. Kamu sudah tahu belum kalau dulu Neng Zulfa ketua pondok di sini?”
“Heem. Dulu populer sekali loh di kalangan para santri. Selain cantik Neng Zulfa terkenal sangat baik.”
“Dulu ceritanya bagaimana, ya, Neng Zulfa bisa diperistri Gus Fatih? Menurutku mereka serasi.”
“Kenapa gak dari dulu ya mondok di sini? Jadi kepo begini kan!”
“Hush .... Jangan keras-keras! Nanti Neng Zulfa sama Mbak Zinda dengar. Lebih baik kita tanya mbak-mbak pondok senior saja.”
“Iya! Mereka pasti lebih tahu ceritanya daripada santri baru seperti kita.”
Aku memejamkan mata sebentar sebelum menundukkan kepala. Tidak menyangka jika aku masih menjadi buah bibir di pondok putri. Terlebih yang membicarakan santri-santri baru. Mereka yang tidak mengenal diriku.
Jujur, yang mengena di hatiku hanya satu dari gumaman para santri baru itu, yaitu ucapan seseorang yang mengatakan ‘serasi’ untuk diriku dan Gus Fatih.
Sungguh, ada sedikit haru mendengar itu selain sesak yang lebih mendominasi rongga dadaku. Entah keberanian dari mana, diam-diam aku mengamini ‘serasi’ itu. Berharap kata itu berarti utuh menjadi satu, bukan sekedar serasi dari pandangan mata. Karena yang terlihat mata kadang kala tidak sesuai kenyataannya. Aku mengalaminya.
Setelah menjejaki batu-batu yang ada di antara bangunan blok A dan blok B lantai satu sebagai penyeberangan yang memiliki tulisan ‘SUCI’ di punggungnya, aku dan Zinda menghentikan langkah kami di sebuah ruangan cukup besar dengan plakat bertuliskan ‘Kantor Pondok Pesantren Putri Al-Khadijah’ di atas pintu.
Aku menyusul Zinda masuk setelah menolak Zinda yang sebelumnya memintaku masuk lebih dulu setelah ia membuka kunci dan memutar kenop pintu.
Aku segera turut bersimpuh di samping gadis bermata sipit itu yang kini sedang mencoba membuka kunci sebuah laci.
Aku tidak bisa tidak mengerutkan kening begitu Zinda mengeluarkan sebuah kotak kayu dari dalamnya. Mataku membola sempurna beberapa detik kemudian saat bisa mengenali kotak warna merah marun itu. Kotak itu adalah milikku!
“Neng.”
Suara Zinda menarik atensiku. Aku langsung mendongak menatap wajah seorang temanku itu. Wajahku pasti lebih pucat sekarang menatap kedua manik hitam berbingkai selaput mata sipit itu. Apa dia sudah tahu rahasiaku?
“Aku tahu.” Suara serak basahnya berhasil mencekatku.
Perlahan Zinda mengeluarkan satu per satu kertas persegi panjang dengan garis biru-merah di tepiannya itu. Dia mengangkat kertas-kertas bertuliskan air mail di bagian belakangnya itu tinggi-tinggi di antara wajah kami, surat bukti pelanggaranku tempo hari.
“Maaf kalau aku lancang. Tapi apakah benar semua ini, Neng?” tanya Zinda menempatkanku seperti seorang terdakwa.
Refleks aku menggelengkan kepala. Aku tidak bermaksud membohonginya karena respons tubuhku ini lebih karena rasa tak percaya.
Bagaimana bisa aku melupakannya? Seharusnya aku mengamankan kertas-kertas itu dari lama. Siapa saja sekarang yang sudah membacanya? Apakah seluruh santri putri sudah mengetahuinya?
Aku menajamkan mata menatap Zinda. Penasaran bagaimana reaksinya selanjutnya.
“He he he. Selamat, ya?!” Aku terkesiap begitu merasakan pelukan darinya. Membeku begitu Zinda memelukku lama. Zinda semakin mempererat rangkulannya.
“Kamu. Kamu sudah baca?” kataku menguraikan kedua lengan dan tubuh Zinda. Menatap penuh tanya atas perlakuannya.
“Iya.” Zinda mengembangkan senyumannya.
Wajahku pasti semakin keras dan menegang sekarang melihat padanya. Pikiranku sudah mengembara memikirkan hal-hal buruk yang bisa jadi sudah tercipta berkat isi tulisan dari kertas-kertas itu.
“Kenapa Neng ndak cerita?” Zinda mendaratkan kedua tangannya ke atas pahaku sembari mencondongkan tubuhnya ke arahku. Mata sipit gadis itu menelisik wajahku.
“Siapa saja yang tahu?” tanyaku dengan berbagai pikiran buruk yang memenuhi kepalaku.
Bagaimana tidak?! Amplop-amplop putih bergambar pesawat itu berisi surat-surat kepunyaanku yang berasal dari Gus Fatih sebelum menjadi suamiku. Surat-surat yang membawa kami menjalani takziran berbulan-bulan lalu.
Bukannya menjawabku, Zinda malah memunguti amplop-amplop yang tercecar itu saat dia memelukku tadi dan memasukkannya kembali ke dalam kotak. Ia menyodorkan kotak kayu itu ke arahku dengan senyuman lesung pipit yang terlihat horor buatku. Kekhawatiran jelas masih menggelayuti perasaanku.
“Tidak ada. Aku saja.” Zinda menggelengkan kepala.
Aku langsung menghela napas yang tadinya begitu terasa sesak mendengarnya setelah mengambil alih kotak marun itu.
Dengan gerakan super cepat aku meraih sebelah tangan Zinda. “Jangan katakan siapa-siapa!” pintaku tajam menatapnya.
Zinda menganggukkan kepala. “Iya, Neng.” Gadis itu kembali memamerkan lesung pipitnya.
Sungguh, sudah lama aku tidak melihatnya. Kami hanya bertukar sapa saat bertemu di musala pondok putri saja. Itu pun kalau kami sama-sama berbaris di shaf pertama. Kalau aku memang selalu di shaf nomor satu, para santri putri memang selalu menyisakan tempat untukku di belakang Ibu yang selalu mengimami jemaah salat.
Lain dengan Zinda, terkadang dia harus baris di shaf belakang karena kurang cepat atau terlambat datang berkat tanggung jawab ketua pondok yang kini diembannya. Dia pasti selalu sibuk di kantor ini seperti aku dulu saat masih menjabat ketua. Apalagi yang kudengar dari Dewi, sampai saat ini belum ada yang mengisi posisi wakil ketua yang bisa membantunya. Alasannya aku belum lengser secara resmi. Entah apa yang diinginkan Ibu sehingga belum menunjuk ketua dan wakil kutua baru.
“Kenapa Neng tidak cerita?” Suara Zinda membawaku kembali ke topik pertama.
Aku mengerjapkan mata.
“Neng tahu?” Zinda memberi jeda. Ia membalikkan tanganku kembali ke genggamannya. “Aku sangat cemas saat Neng pulang ke Kediri tanpa kabar beberapa hari setelah Neng dipanggil ke ndalem dulu. Apalagi saat di pondok gempar oleh berita pertunangan Neng dengan Gus Fatih. Aku benar-benar kaget, Neng. Aku sampai berpikir yang tidak-tidak kalau Neng dipaksa keluarga ndalem dan keluarga njenengan sendiri untuk menikah dengan Gus Fatih.”
“Sungguh, Neng. Aku ndak percaya loh Neng saat Neng Zulfa kemudian benar-benar jadi istrinya Gus Fatih. Neng Zulfa kan tidak pernah cerita apa-apa sama aku. Apalagi selama ini Neng Zulfa terlihat selalu cuwek masalah lamaran laki-laki yang ingin memperistri njenengan. Surprise saja Neng mau menikah di usia Neng yang sekarang, padahal setahuku Neng pernah beralasan padaku tidak mau menikah muda saat mendapat lamaran dari Gus Aji, most wanted gus yang nyantri di Pesantren Yayasan Nurul Anwar ini.”
Aku mengangkat kedua sudut bibirku mendengar penuturan Zinda yang berapi-api padaku. Tidak menyangka dia sebegitu perhatiannya padaku, padahal dia tidak sedekat Dewi denganku. Dewi sudah seperti saudaraku sedang Zinda hanya teman baik buatku.
“Aku ikut bahagia dan lega Neng, setelah tahu semua. Surat-surat Gus Fatih mengatakan segalanya. Kalian saling mencintai ternyata.” Zinda memungkasi kata-katanya dengan tawa dan mata yang berkaca-kaca.
Terpaku sebentar, aku langsung merengkuh tubuh Zinda.
Saling mencintai katanya?!
Dia memang tidak tahu yang sebenarnya.
Biar saja dia menganggapku bahagia. Siapa tahu husnuzannya menjelma doa mustajabah buatku—meski kebanyakan aku ragu.
Sekali lagi, biarkan aku menyembunyikan sakitku. Tidak boleh ada yang tahu betapa lemahnya aku. Kueratkan pelukanku saat air mataku mulai terasa mengaliri pipiku. Satu hal ini pun, gadis baik hati bermata sipit ini tidak boleh tahu.
***