Bab 10

2432 Words
Boston, Massachusetts November, 2006 Setelah berbicara dengan George Hale, sang ahli medis yang bertanggung jawab atas mayat wanita di dalam peti, Peter Jennings dan Jesse Owens langsung menemui O'Neill untuk mendiskusikan kelanjutan kasus tersebut. Siang itu hasil identifikasi mayat telah keluar dan George Hale langsung mengirim pesan pada Peter dan Jesse untuk datang dan melihat hasilnya. Setelah berdiskusi cukup lama di ruang autopsi dan mengambil beberapa gambar dari mayat wanita dalam peti itu, Peter dan Jesse segera tahu bahwa dugaan mereka sepenuhnya benar. Mayat wanita di dalam peti yang ditemukan oleh Jake Olin adalah Amber Marylin. Bukan hanya gambaran wajah dan fisik yang sesuai, tapi juga kecocokan sampel darah dan sidik jarinya. Untuk itu, segera setelah Peter dan Jesse menyelesaikan urusannya dengan George di ruang autopsi, mereka langsung meluncur ke kantor untuk berdiskusi dengan O'Neill. Peter membutuhkan keputusan O'Neill sebagai kepala polisi sebelum ia bisa memberi tahu keluarga korban. Namun, begitu sampai di depan kantor kepolisian, mereka langsung dikerubungi oleh awak media yang secara khusus meminta keterangan langsung tentang hasil identifikasi mayat wanita di dalam peti. Kirk Hammett saat itu turun tangan untuk menenangkan awak media. Ia telah ditugaskan secara khusus oleh O'Neill untuk menjawab pertanyaan mereka dan memberi beberapa informasi yang dirasa perlu untuk di ketahui publik. Selebihnya, O'Neill membiarkan informasi itu menjadi rahasia kepolisian selagi kasus itu belum menemukan titik terangnya. Dibantu oleh dua petugas polisi yang berjaga saat itu, Peter dan Jesse berhasil menembus kerumunan wartawan hingga sampai di ruangan O'Neill. Dan seolah kekacauan yang terjadi di luar sana belum cukup, Peter merasa segan ketika melihat Michael Hart berada di ruangan yang sama. Hart telah diangkat sebagai polisi muda belum lama ini. Pria itu dikenal sulit mengendalikan emosinya dan suka bertindak di luar aturan. Bukannya Peter tidak suka, tapi Hart lebih seperti pengganggu dalam penyelidikan. Laki-laki muda itu selalu berpikir bahwa ia sudah memiliki cukup banyak pengalaman dalam birokrasi untuk ikut terlibat dalam segalanya. Menurut Peter, O'Neill tidak bersikap tegas menyikapi Hart. Bukan hanya karena Hart memiliki pengaruh besar karena ayahnya adalah seorang mantan polisi yang telah mengabdi selama lebih dari dua puluh lima tahun, tapi juga karena O'Neill berpikir bahwa Hart berhak untuk ikut terlibat karena secara tidak langsung Hart memiliki hubungan keluarga dengan salah satu korban orang hilang. Informasi bahwa Hart adalah sepupu Maggie Russell, sang pewaris Russell Housetown bukan lagi menjadi desas-desus belaka. Bahkan, Hart telah turut campur tangan begitu Maggie melaporkan kabar menghilangnya sang adik, Kate Russell. Hart berpikir kalau penemuan mayat di dalam peti dan kasus menghilangnya Kate itu saling berkaitan. Awalnya Peter menolak untuk memercayai gagasan Hart, tapi setelah tahu bahwa Amber Marylin yang dikabarkan menghilang sejak sebulan yang lalu adalah orang yang sama dengan wanita di dalam peti, membuat Peter mulai menyetujui gagasan Hart. Tapi tetap saja, kesimpulan belum dapat ditarik sebelum mereka memiliki bukti akurat tentang keterkaitan kasus itu. "Wartawan itu telah memenuhi tempat ini selama lebih dari dua jam dan aku merasa sesak luar biasa," ujar O'Neill. Peter memilih tempatnya di sebelah O'Neill sementara Jesse bersandar di tepi jendela dengan pandangan terarah ke bagian bawah gedung tepat di mana Kirk bersama dua orang petugas kepolisian yang masing-masing berdiri di sampingnya, sedang memberi keterangan bagi awak media dan publik. "Bagaimana hasilnya?" tanya Hart yang memutuskan untuk meloncat langsung ke topik pembicaraan. Peter bertukar pandang dengan O'Neill. Ia tidak bicara hingga O'Neill memberinya isyarat untuk menjabarkan sesi pertemuannya dengan George Hale, sang ahli medis "Tepat sesuai dugaan kita bahwa jasad wanita di dalam peti itu adalah Amber Marylin." "Bingo!" Seru Hart hingga mengalihkan seluruh perhatian orang-orang di ruangan itu, tidak terkecuali O'Neill. Kepala polisi itu langsung menatap Hart dan memperingatinya dengan suara tegas. "Berita ini tidak boleh sampai ke telinga orang lain." Seolah memahami peringatan itu, Hart menunduk tanpa berkata-kata. "Apa ada bukti kekerasan fisik lain yang ditemukan oleh tim forensik?" tanya O'Neill. "Tidak. Hanya masalah pernafasan yang tersumbat dan bekas luka di telapak kakinya. Seseorang telah memakaikan parfum di tubuh Amber. Sejenis parfum menyengat yang berbau lili dan anyelir." "Mungkinkah ada racun yang terdeteksi di tubuhnya?" "Tidak. Darah dalam tubuhnya bersih, kecuali karena efek obat. Amber tercatat memiliki riwayat penyakit asma." O'Neill mengangguk. Ia tampak bimbang dengan memikirkan sesuatu. "Jadi, kematiannya tidak terjadi secara alami. Dia bunuh dengan cara dibekap mulutnya hingga kehabisan nafas." "Ya. Kemungkinan seseorang telah menculik dan membunuhnya." "Dia menghilang selama satu bulan, kenapa pembunuhan itu terjadi setelah satu bulan? Apa yang terjadi dalam jangka waktu satu bulan?" "Itu yang menjadi pertanyaanku dan Jesse. Sejauh ini, kami belum menemukan bukti lain, selain buket bunga lili, sebuah gaun pengantin dan pesan bertuliskan "Beristirahat dalam tenang J.D. Holly", yang diletakkan oleh si pelaku di dalam peti bersama tubuh Amber." "Apa kalian sudah menyelidiki nama J.D. Holly?" "Belum. Sejauh ini data lokal yang dapat ditarik oleh Duncan tentang inisial itu sangat minim dan kami tidak menemukan keterkaitan antara profil nama yang disebut Duncan dengan pembunuhan Amber." "Terus selidiki nama itu!" Pinta O'Neill. "Dan semua barang bukti di dalam peti, tidak mungkin diletakkan tanpa sebab tertentu. Jika pembunuh ini bermaksud menyampaikan pesan tertentu, kemungkinan semua barang yang didapat di peti itu adalah jawabannya." "Apa sebaiknya kita mengatakan berita ini secara langsung pada keluarga Amber?" Tanya Peter pada O'Neill. "Karena Amber hanya memiliki seorang teman dan kekasih yang tinggal di Boston, maka ya, mereka harus diberitahu. Aku akan meminta Jeff untuk menghubungi mereka dan meminta mereka datang untuk memberi kesaksian. Sementara itu, berita ini tidak boleh dibocorkan ke publik. Sampai kita memiliki bukti akurat tentang adanya keterkaitan antara kasus pembunuhan dan kasus orang hilang, berita ini cukup kita saja yang tahu." *** Ditengah keruwetan yang terjadi siang itu, Maggie mendapatkan telepon dari sepupunya, Hart, yang bermaksud mengajak Maggie untuk menghabiskan makan siang bersama di sebuah restoran. Itu bukan sesuatu yang biasanya terjadi. Hart memang cukup dekat dengan Kate, tapi pria itu tidak begitu menyukai Maggie. Sementara Richie, kakak Hart yang bekerja saat ini di militer, lebih dekat dengan Maggie. Hart adalah putra bungsu dari dua bersaudara. Usianya dengan Richie hanya terpaut dua tahun lebih muda. Ayah mereka, Anthony Brian, adalah mantan anggota polisi yang telah mengabdi selama lebih dari dua puluh tahun. Anthony menikahi bibi Maggie di usianya yang ke-30. Dua tahun selang pernikahan mereka, bibi Maggie melahirkan Richie, kemudian dua tahun berikutnya Hart lahir. Hubungan Maggie dengan bibinya, Beth Carol, sudah begitu dekat bahkan hingga kematian Gladys Russell. Hubungan itu terjalin lebih seperti hubungan ibu dan anak. Dan Maggie menyayangi Richie seperti ia menyayangi adiknya sendiri. Namun, ketika Richie ikut bergabung dalam keanggotaan militer sejak tiga tahun yang lalu, mereka menjadi jarang bertemu. Richie hanya pulang seminggu sekali dalam beberapa bulan, sisa waktunya habis di tempat yang jauh. Sementara Hart memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang polisi. Pengalaman Hart dalam kepolisian belum cukup banyak, tapi pria itu cukup membantu Maggie ketika Maggie melaporkan menghilangnya Kate pada kepolisian. "Aku perlu bicara denganmu," kata Hart di telepon. Sifat Hart nyaris sama persis seperti Kate: mereka aktraktif dan suka berbicara pada semua orang. Kecuali karena ada beberapa hal yang Maggie benci dari sikap Hart. "Sebaiknya itu penting. Aku harus membatalkan dua pertemuan untuk ini." "Sulit sekali menjadi orang penting, ya?" ledek Hart. "Serius. Apa aku harus datang?" "Ya! Ini tentang Kate.." harapan seakan muncul di wajah Maggie setelah mendengar nama itu disebutkan. "Mmm.. sejujurnya ini baru dugaanku saja." "Baiklah, kapan aku harus datang?" "Siang ini, di restoran yang menyediakan masakan sea food di kota." "Baiklah." "Jangan terlambat Maggie! Waktu istirahatku hanya satu jam." Maggie memutar bola matanya. "Terserah." Kemudian, tanpa berkata-kata lagi, Maggie memutuskan sambungan telepon itu. Ia melirik arlojinya, melihat bahwa saat itu sudah pukul sebelas lewat lima belas menit. Sementara jarak untuk sampai di restoran favorit Hart dari kantornya membutuhkan waktu lebih dari tiga puluh menit. Jadi, tanpa membuang waktu Maggie langsung meraih mantel dan tasnya kemudian bergerak cepat keluar dari kantor mengendarai camaro untuk sampai di tempat pertemuan mereka tepat waktu. Maggie tiba delapan menit lebih cepat dari Hart. Ketika menemuinya, laki-laki itu langsung menjabat tangan Maggie kemudian mengambil tempat di seberang Maggie. Ia tampil seperti yang biasa terlihat dengan setelan seragam polisi, ditutupi oleh jaket coklat kulitnya, wajah yang tampak segar tanpa cambang, juga rambut ikal pirangnya yang ditata rapi. Hart adalah gambaran lain dari sosok Beth Carol. Bukan hanya memiliki warna mata kecoklatan dan struktur wajah cantik seperti ibunya, senyum Hart juga selalu mengingatkan Maggie tentang Beth. Hart memanggil seorang pelayan untuk membawakan buku menu. Laki-laki itu langsung memesan lebih dari dua menu utama dan sebuah hidangan penutup untuk dihabiskan. Sementara Maggie sendiri hanya memesan puding coklat kesukaannya ditambah dengan diet coke. Nafsu makan Maggie yang menurun sampai membuat Hart bertanya-tanya. "Ada apa dengan sea food?" Maggie mengerutkan keningnya. "Aku tidak suka sea food." "Apa yang kau suka? Kau juga tidak makan daging. Apa kau seorang vegetarian?" "Aku makan daging sesekali. Tapi tidak sesering itu. Aku hanya sedang menjalani program diet." Hart mendengus. "Apa semua wanita melakukannya?" Merasa bosan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Maggie menjawabnya dengan cepat. "Hanya ketika pakaian yang mereka suka terasa semakin ketat dan sesak." Ia berdeham. "Well, apa informasinya?" Hart mendekat ketika berbisik. "Dengar, ini rahasia kepolisian dan tidak boleh sampai ke telinga siapapun." "Apa kalian berhasil menemukan Kate?" "Tidak. Tapi aku mendapat petunjuk lain." Maggie berpikir kalau Hart terlalu banyak basa-basi. Tapi ia masih menunggu dengan sabar hingga pria itu menyampaikan maksudnya. "Kau tahu berita tentang ditemukannya mayat wanita di dalam peti di dekat rumah seorang pendeta bernama Jake Olin?" "Ya. Berita itu ada di surat kabar. Kenapa?" "Hari ini hasil indentifikasi mayat sudah keluar dan polisi menyatakan bahwa mayat itu adalah Amber Marylin, seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang dikabarkan menghilang satu bulan yang lalu." Kedua bola mata Maggie membesar saat benaknya dipenuhi oleh spekulasi. Maggie merasa ketakutan untuk sampai pada inti pembicaraan itu. "Seseorang telah membunuh Amber dengan membekap mulutnya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan seksual atau kekerasan fisik lainnya. Tapi kejadian itu disengaja." "Amber dibunuh dan diletakkan di dalam peti mati? Kemudian seseorang mengirimnya pada pendeta?" Maggie mengulangi informasi itu dan Hart mengangguk setuju. "Ya. Seperti itu persisinya. Dan.. mengaitkan kasus pembunuhan dengan kasus orang hilang yang terjadi, aku khawatir jika.. kau tahu maksudku, kan?" Sekarang wajah Maggie berubah pucat. Pancaran matanya kosong seolah ia sedang berada di tempat yang jauh dari sana. Jika apa yang dikatakan Hart benar adanya dan Kate bernasib sama dengan Amber, maka Maggie tidak akan bisa tidur dengan tenang setelah ini. "Itu tidak mungkin!" Kilah Maggie. "Kate pasti ada di suatu tempat dan baik-baik saja. Dia bersama pacarnya yang berengsek itu. Mungkin Kate hanya ingin melarikan diri dariku." "Maggie, aku minta maaf.. aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Tapi kau tetap harus berjaga-jaga seandainya hal itu benar terjadi." "Kenapa kalian pihak kepolisian tidak juga menemukan Kate?!" Tiba-tiba suara Maggie meninggi beberapa oktaf hingga beberapa perhatian teralih padanya. Hart saat itu merasa tersudutkan. Ia bergerak-gerak dengan gelisah di kursinya sambil berusaha menenangkan Maggie. "Maggie, kau tidak bisa menyalahkan kami. Kami sedang berusaha mencarinya. Lagipula, apa yang kukatakan barusan hanya dugaanku saja. Tidak ada bukti akurat untuk membenarkan dugaan itu." Maggie mengerang. "Kenapa lama sekali menemukannya?!" "Apa kau menyewa jasa penyelidik swasta?" tanya Hart ketika Maggie menatapnya dengan marah. Maggie tidak segera menjawab pertanyaan Hart. Ia lebih dulu memandangi Hart sebelum menjawabnya. "Ya." "Kenapa kau begitu tergesa-gesa?" "Lalu kenapa? Apa aku harus menunggu dan tidak melakukan apa-apa sementara polisi belum juga mendapat perkembangan tentang Kate. Di mana Kate, atau setidaknya apa kalian bisa memastikan Kate baik-baik saja di sana?!" Wajah Hart memerah dan amarahnya muncul ke permukaan. "Dengar Maggie! Ini bukan hanya tentang kau dan Kate. Aku juga peduli pada Kate. Aku ingin Kate ditemukan. Tapi semuanya tidak semudah seperti kau menjentikkan jarimu. Beri kami waktu, dan biarkan kami bekerja." "Maka keputusan untuk menyewa jasa penyelidik swasta juga tidak sepenuhnya keliru. Aku butuh bala bantuan untuk menemukan Kate lebih cepat. Lebih baik menghindari hal-hal buruk yang mungkin saja akan terjadi ketimbang memperbaikinya. Aku tidak akan mengambil risiko jika itu berarti keselamatan Kate dipertaruhkan." Hart menghela nafas dan sekali lagi, ia menolak untuk membantah Maggie. Pelayan kemudian datang dan membawakan makan siang mereka. Mereka menghabiskan makanannya masing-masing dalam suasana yang relatif hening. Hart tahu kalau Maggie tidak akan bisa tenang setelah mendengar kabar itu. Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Maggie karena wanita itu harus membayar lebih demi keselamatan Kate. Beberapa menit setelah mereka menghabiskan makanannya masing-masing, Hart mendapat telepon dari Dan Morris yang mengatakan bahwa telah ditemukan peti mati lain di belakang rumah seorang pendeta yang berusia sekitar enam puluhan bernama Paul Scholes. "Sialan! Secepat itu?" Maki Hart di telepon. Ketika tatapannya bertemu pandang dengan Maggie yang baru saja membayar tagihan di meja kasir, Hart bergerak menjauh. Tapi Maggie telah dibuat penasaran dengan panggilan telepon itu sehingga Hart tidak bisa mencegahnya ketika Maggie mendekat untuk bertanya. "Apa itu kabar tentang Kate?" "Tidak. Itu Dan Morris rekanku. Dia mengabarkan kalau telah ditemukan mayat lain di dalam peti yang diletakkan di belakang rumah seorang pendeta. Ciri khususnya seperti Amber. Dia seorang wanita berusia dua puluh tahun dengan rambut pirang dan mata biru terang." Maggie merasakan serangan panik luar biasa begitu mendengarnya. Nafasnya mulai berembus lebih cepat. Kalau Hart tidak ada di sana untuk menggenggam tangan Maggie yang bergetar, Maggie pasti sudah pingsan karena panik. "Tenang Maggie! Tenang.. wanita itu belum tentu Kate. Dia tidak mungkin Kate." Maggie menggeleng dengan perasaan kalut. Wajahnya memerah dan ia tidak bisa mengendalikan nafasnya. Hart ikut panik setelah melihat Maggie. Ia mengingat bahwa sepupunya itu memiliki riwayat pingsan berkali-kali jika ada sesuatu yang membuatnya panik. Sementara itu, Hart tidak tahu cara yang tepat untuk menenangkan Maggie sekarang. Akhirnya, ia memutuskan untuk membawa Maggie sampai di mobilnya. Meski wanita itu membantah dan memintanya untuk membiarkan Maggie pergi dengan mobil sendiri, Hart menolak untuk membiarkan Maggie mengemudi dalam keadaan seperti itu. "Sebaiknya kau turunkan aku sekarang dan bantu aku untuk sampai di mobilku," kata Maggie ketika Hart mengunci pintu mobilnya. Tangan Maggie yang bergetar terus berusaha mencari kunci pintu, tapi ia mengerang ketika tidak juga menemukannya. "Sial! Di mana kuncinya?" Hart memerhatikan Maggie dengan heran ketika wanita itu tidak juga menemukan tombol untuk membuka kunci mobil yang secara jelas berada tepat di samping lengannya. "Kau tidak melihat tombol kunci itu?" Maggie menggeleng, ia masih berusaha keras membebaskan dirinya. "Kau tidak bisa melihatnya?!" Suara Hart lebih keras. "Semuanya terlihat buram." Sepupunya yang satu itu benar-benar aneh. Hart memilih untuk mengabaikannya. "Kalau begitu kau tidak boleh menyetir sendiri. Aku akan mengantarmu. Tapi sebelum itu, Morris membutuhkanku untuk berada di TKP sekarang. Jadi, beri aku waktu beberapa menit kemudian aku akan mengantarmu sampai di rumah." Maggie mengerang keras. Ia menggerutu di sepanjang perjalanan dan berkali-kali mengatakan, "aku merasa sesak," hingga membuat sisa perjalanan itu terasa menyiksa untuk Hart.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD