Boston, Massachusetts
November, 2006
Dale telah berdiskusi dengan Judd sepanjang makan siang. Judd menunjukkan pada Dale salinan berkas terkait kasus yang pernah ditanganinya bersama Clay. Sebuah kasus KDRT yang memberi mereka beberapa nama. Judd menjelaskan pada Dale tentang bagaimana ia menarik kesimpulan kalau wanita yang dimaksud disebut oleh pembunuh peti mayat itu adalah Jane Darlene Holly.
Alasan itu kemudian di dukung oleh kasus beberapa gadis yang dikabarkan menghilang dengan ciri yang sama persis seperti Holly: cantik, atraktif, muda dan berambut pirang. Awalnya Dale tidak memiliki keyakinan seperti Judd. Sejauh ini ia belum menemukan keterkaitan antara dua kasus itu. Kasus Holly terjadi pada tahun 1994 dan hingga sekarang, tidak ada laporan khusus yang menjelaskan bagaimana nasib Holly setelahnya. Sementara kasus pembunuhan peti mayat baru-baru ini terjadi. Meskipun pesan yang ditinggalkan sang pembunuh di dalam peti itu sudah sangat jelas: BERISTIRAHAT DALAM TENANG J.D. HOLLY, Dale tetap tidak bisa menarik kesimpulan cepat kalau wanita yang disebut oleh sang pembunuh adalah Jane Darlene Holly.
"Kasus itu terjadi selama lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Aku juga tidak melihat adanya kejahatan tingkat berat selain KDRT yang dialami Holly," simpul Dale.
Judd mencari sebuah cetakan gambar dalam tumpukan kertas di mejanya. Begitu ia mendapatkannya, Judd langsung menunjukkan gambar itu pada Dale. Gambar yang menampakkan wajah Jane Darlene Holly - dengan nama lahir Hillary Clinton itu memang tampak sesuai dengan kriteria pembunuh peti mayat, cantik, berambut pirang dan memiliki warna mata biru terang.
"Kalau kau tidak lupa, Amber dan Esther juga memiliki ciri identik yang sama persis seperti Jane Darlene. Aku yakin sekali kalau J.D. Holly adalah Jane Darlene Holly atau sebut saja Hillary Clinton."
Dale mengerutkan keningnya saat mempertimbangkan gagasan itu. Ia membaca salinan laporan itu berkali-kali hingga muncul beberapa pertanyaan yang tak terjawab dalam benaknya.
"Kau bilang Hillary menjalani profesinya sebagai seorang Diva?"
"Ya, berawal dari bernyanyi di klub-klub kecil hingga ke panggung besar dan nama Hillary segera melejit di Boston. Dalam beberapa bulan terakhir surat kabar memajang potret Hillary sebagai sampul utama mereka. Wanita itu sangat terkenal dengan nyanyiannya yang berjudul ‘gone and comeback’. Hillary juga telah mengubah nama panggungnya menjadi J.D. Holly. Dan kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan nama panggung itu."
"Apa Hillary terlibat dalam kasus lain selain KDRT yang dialaminya bersama suami pertamanya?"
"Tidak," Judd terdiam sejenak. "Yang mengherankan, dia seolah menghilang ditelan bumi. Tidak ada catatan apapun yang menunjukkan keberadaannya saat ini. Apa Holly masih hidup atau tidak? Di mana wanita itu tinggal? Bagaimana kelanjutan kasus KDRT yang dialaminya bersama Jack Monroe? Tidak ada jawaban. Wanita itu memakai nama samaran dalam beberapa tahun di puncak kesuksesannya. Jane Darlene sangat terkenal dan sebaliknya, tidak akan ada orang yang memerhatikan Hillary Clinton. Karena nama itu, keberadaan Hillary menjadi sulit ditemukan."
Judd menelaah kasus Hillary sekali lagi, membacanya baik-baik sebelum menarik silogisnya sendiri. "Mungkin kita bisa mendiskusikannya dengan Hugh."
"Bagaimana dengan Ricky Kerry?" tanya Judd. "Apa Hugh sudah memberimu kabar?"
"Belum tapi dia masih terus menyelidikinya."
Setelah meneguk kopinya, Judd memeriksa arloji. "Pukul berapa kau menjanjikan pertemuan dengan Miss Russell?"
Tiba-tiba Dale tersedak makanannya. Dale jarang sekali melupakan jadwal, ia nyaris tidak pernah melakukannya. Dan begitu Judd menyebut nama Maggie Russell, Dale baru teringat janji temunya dengan wanita itu siang ini. Tepat pukul sebelas dan sekarang sudah pukul dua belas lewat tujuh menit.
"Sial!" Dale menghabiskan sisa makanannya dengan cepat. Kemudian, setelah membayar tagihan mereka, Dale dan Judd berjalan tergesa-gesa ke arah mobil. Tepat ketika Judd berniat duduk di kursi kemudi, Dale mencegahnya dan berkata dengan cepat.
"Biar aku saja yang menyetir."
Terheran-heran dengan sikap Dale, Judd melangkahkan kakinya mengitari mobil dan duduk di kursi penumpang. Judd masih menyimpan pertanyaannya hingga Dale membawa mobil itu melaju meninggalkan kedai dengan cepat.
Kalau saja Dale tidak menambahkan kecepatan berkendara, Judd mungkin akan tetap duduk tenang di tempatnya. Tapi berhubung keselamatannya juga dipertaruhkan di sana, Judd memprotes tindakan Dale.
"Ada apa dengan Maggie Russell?"
Dale hanya melirik Judd sekilas melalui spion dalam mobilnya tanpa memperlambat laju berkendara yang nyaris mencapai 80 km/jam.
"Buruk!" jawab Dale dengan cepat. Setelah itu tidak ada kata-kata lagi.
Dale beruntung karena Judd tidak banyak berbicara. Ia tidak membutuhkan protes apapun setidaknya hingga mereka sampai di kantor Maggie Russell.
Setelah memarkirkan sedan hitamnya, Dale bersama Judd bergerak memasuki gedung bertingkat itu. Mereka melapor para petugas penerima tamu di lobi kemudian diminta untuk menunggu. Wanita muda berambut gelap yang bertugas sebagai penerima tamu saat itu memandangi Judd dan Dale dengan teliti. Pandangan itu kemudian berhenti di wajah Dale. Dale menangkap senyum wanita itu sekilas ketika ia mendekatinya.
"Ada apa?" tanya Dale. "Apa aku terlihat aneh?" Dale menjaga suaranya tetap tenang sehingga Judd yang berdiri di dekat ambang pintu sembari memandang ke halaman luar tidak dapat mendengarnya.
Wanita muda itu menggelengkan kepalanya. Rona merah muncul di wajahnya. Meski tingginya tidak lebih dari seratus enam puluh meter, wanita itu memiliki tampilan yang cukup menarik dengan pakaian berwarna biru cerah superketatnya di balik mantel hitam dan rok mini setinggi lutut yang menampakkan bentuk bokongnya yang berisi. Dale bisa merasakan ketertarikan yang sama ketika wanita itu menatapnya.
Dale merasa berdosa terutama ketika ia tidak bisa menghentikan dirinya ketika bertanya, "Siapa namamu?"
"Tina."
"Hanya Tina?"
"Tina Louise."
"Hai Tina, aku Dale."
"Kau polisi?"
"Bukan. Lebih tepatnya aku bekerja untuk biro investigasi swasta."
Tina mengangguk sambil menampilkan senyum cerahnya. Dale tersenyum lebar saat memandangi wanita itu. Bukan hanya karena sikap Tina yang menyenangkan tapi juga karena betapa gugupnya wanita itu. Tina bersikap seperti wanita kebanyakan yang dijumpai Dale: mereka akan memandanginya dengan wajah merona, membuat Dale begitu membanggakan pesonanya. Hanya ada satu wanita yang benar-benar membuat Dale merasa begitu buruk: Maggie Russell. Meski Maggie jarang menatap langsung pada wajahnya, sikap wanita itu yang selalu membuang wajah saat berhadapan dengan Dale akan membuat laki-laki manapun berpikir kalau mereka tidak menarik sama sekali.
"Apa aku bisa menghubungimu malam ini, Tina?"
"Tidak,"
"Tidak?"
"Ummm.. ya. Maksudku, ya. Tentu saja, kenapa tidak?" Tina menghela nafas panjang. Dan di saat yang bersamaan, Dale mengeluarkan kartu namanya dari saku jaket. Ia menyerahkannya pada Tina yang segera menyembunyikan kartu nama itu dengan cepat.
"Aku harap kau punya waktu luang," Dale berdeham untuk menegaskan. "Maksudku jika pacarmu.."
"Aku tidak punya pacar."
"Bagus."
Tina baru berniat membuka mulut untuk bicara sebelum telepon di mejanya berdering. Segera setelah wanita itu menerima panggilan telepon, ia berdeham ke arah Judd sementara matanya tidak berhenti menatap Dale.
"Ayo kuantar kalian! Miss Russell sudah menunggu."
Dale dan Judd berjalan mengekor di belakang Tina. Di sepanjang lorong, Dale tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak memandang ke arah b****g wanita itu. Senyum kecil terulas di bibirnya. Ia terlalu menikmati pemandangannya hingga secara tidak sadar, mereka sudah sampai di depan pintu ruang kerja Maggie Russell.
Tina membukakan pintu untuk mereka. Dari ambang pintu Dale bisa melihat sang pemilik Russell Housetown sedang duduk di mejanya dengan setumpuk berkas yang menunggu untuk di tangani. Begitu mendengar suara pintu dibuka, Maggie mengangkat wajahnya, dan berdiri mengitari meja untuk menyambut mereka. Judd melangkah maju sementara Dale berlama-lama untuk tetap berdiri di belakang Tina.
Dale menangkap sekilas tatapan sinis Maggie ketika ia tersenyum begitu akrab ke arah Tina. Kalau Maggie tidak berdeham, mungkin Tina tidak akan mengalihkan pandangannya dari wajah Dale.
"Tolong Tina, kau bisa kembali pada pekerjaanmu!" Ujar Maggie. Tina mengangguk kemudian menutup pintu di belakang Dale. Begitu menatap Maggie, Dale melihat wajah dan tatapan sinis yang sama seperti biasa.
Wanita itu maju untuk menjabat tangan Judd dan menolak untuk menatap ke arah Dale.
"Kau pasti Judd Keller seperti yang dikatakan Hugh?"
"Ya." Judd mengangguk ke arah Maggie. "Aku bersama Dale menyelidiki kasus hilangnya Kate Russell."
"Silakan duduk!" pinta Maggie sembari menunjuk ke arah sofa di tengah ruangan. "Apa kalian ingin minum sesuatu?"
Dale yang menjawab. "Tidak, tapi terima kasih."
Ketika matanya bertemu tatap dengan wanita itu, Dale melihat bagaimana Maggie mulai bergerak-gerak dengan gelisah. Hal yang selanjutnya terjadi, wanita itu mengangkat wajahnya dengan angkuh kemudian melirik arloji di tangannya.
"Seharusnya kalian datang satu jam dua puluh menit yang lalu."
"Itu benar," Dale memutuskan untuk mengakhiri itu dengan cepat. Tidak akan ada perdebatan kali ini. "Dan kami sudah datang sekarang, jadi sebaiknya kita memulainya lebih cepat."
Dale mengambil posisi duduk di sofa sebelum Judd. Tindakannya lantas menarik perhatian Maggie hingga wanita itu membeliakkan mata ke arahnya, dan bukannya gentar, Dale justru menikmati situasi itu. “Ayo, Miss Russell, waktu kami tidak banyak.”
Maggie menggertakkan gigi dengan kesal, tapi ia tetap berjalan ke arah sofa dan mengambil tempatnya di seberang mereka.
“Apa yang ingin kalian tunjukan?” tanya Maggie.
“Kami sudah menemui John Terry, pemilik unit penyewaan mobil itu. Dan dia mengakui kalau bon itu milik Guy Hormer, kakak Javier.”
“Lalu bagaimana bon itu bisa ada di keranjang sampah Kate?”
“Guy Hurmer tidak pernah tercatat dalam daftar kunjungan di motel itu. Emma Winslet juga mengaku kalau dia tidak pernah melihat orang lain selain Javier yang berkunjung di kamar penginapan Kate. Jadi kemungkinan besar memang Javier yang membawa bon itu. Dan setelah kami mewawancarai John, kami mendapat informasi tentang di mana Guy Hormer tinggal. Sementara itu kami masih melacak jejak Ricky Kerry. Setelah aku dan Judd mendiskusikan hasil wawanacara kita dengan Walter, kami memiliki alibi kuat kalau Walter ikut terlibat. Sekarang, dua agen kami ditugaskan untuk mengikuti Walter dan kami akan memberikan informasinya padamu segera jika kami mencium tanda-tanda yang mencurigakan.”
“Bagaimana dengan Guy Hormer? Apa kau sudah menemuinya?”
Judd menegakkan tubuhnya dan menjawab, “Hormer tidak ada di tempat ketika kami mendatangi kediamannya. Seorang tetangga yang tinggal di seberang rumahnya mengatakan dia pergi untuk berburu di luar negara bagian dan baru akan kembali dua hari setelahnya.”
Maggie mengernyitkan dahinya, terheran-heran. “Berburu?”
“Tetangganya mengatakan kalau dia sering berburu selama satu pekan setiap satu bulan. Besok, kami akan kembali ke rumah itu untuk menemuinya.”
“Apa yang lain?”
Dale mengangguk ke arah Judd untuk mempersilakan laki-laki itu bicara.
“Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu, Miss Russell.”
“Apa itu?”
“Hari itu kami melihatmu berbicara dengan seorang polisi di halaman rumah seorang pendeta yang secara kebetulan terlibat sebagai saksi dalam kasus pembunuhan peti mayat.”
Wajah Maggie berubah serius, tubuhnya tegang namun tatapannya melemah. “Ya, aku memang di sana.”
“Aku ingin tahu apa yang membawamu ke sana?"
Maggie menelan liurnya, tampak berusaha keras untuk mengatakan kata-kata selanjutnya tanpa mengungkapkan kegelisahan yang dirasakannya selama ini. Wanita itu hanya menatap Dale dan Judd secara bergiliran kemudian bicara, "sepupuku, Hart, bekerja di kepolisian untuk menangani kasus orang hilang. Dia bicara padaku tentang korban dalam peti mayat itu. Mereka adalah korban yang sebelumnya telah dikabarkan menghilang selama sebulan. Kemudian ketika mengetahui kedua korban itu memiliki ciri identik yang sama seperti Kate, aku merasa khawatir. Aku takut jika Kate.." Maggie menelan liurnya. Matanya nyaris berair, tapi setelah melihat bagaimana Dale menatapnya Maggie menahan isakan itu di ujung lidahnya. Ia mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali kemudian mengembuskan nafas panjang. "Apa aku perlu menjelaskannya lebih lanjut? Kalian paham maksudku, kan?"
Dale yang menjawab, suaranya terdengar tegas dan dalam. "Kami paham."
Setelah mengangguk, Judd melanjutkan. "Aku memiliki pikiran yang sama bahwa kedua kasus itu saling berkaitan Miss Russell. Jadi aku memfokuskan pada penyelidikan itu. Berdasarkan informasi yang didapat, pembunuh peti mayat meletakkan sebuah pesan di dalam peti yang bertuliskan 'BERISTIRAHAT DALAM TENANG J.D. HOLLY' dan aku punya kesimpulan untuk nama yang dimaksud. Aku ingin tahu apa kau mengenal seseorang yang bernama Jane Darlene Holly?"
Maggie tidak segera menjawab pertanyaan Judd. Wanita itu terdiam cukup lama saat berusaha mengingat sesuatu tentang nama yang disebut, dan ketika ia tidak juga mengingat apapun tentang nama itu, Maggie kemudian menggeleng. "Aku tidak tahu."
Judd menjelaskan silogisnya dengan cepat. Ia menunjukkan beberapa salinan laporan yang di bawakannya terkait kasus Holly juga potret wajah Holly, pada Maggie. Judd kemudian menunggu ketika wanita itu mulai bereaksi.
"Aku tidak ingin berpikir kalau Kate menjadi salah satu korban penculikan peti mayat itu."
"Kita semua berharap begitu. Sampai aku punya bukti untuk menyatakan dua kasus itu saling berkaitan, aku dan Dale tetap akan memfokuskan pada pencarian adikmu. Sementara ini kami belum mendapat perkembangan lain."
Maggie meletakkan salinan laporan itu di atas meja kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke arah jendela. Matanya menatap ke luar jendela sementara pikirannya berkelana menjauh.
"Tolong, detektif... segera temukan Kate!"
Tidak ada jawaban. Judd dan Dale saling bertukar pandang. Mereka berdiri sebelum ponsel Judd berdering dan ia bergerak menjauh untuk menerima panggilan itu. Sementara Judd berbicara dengan seseorang di telepon, Dale bergerak mendekat hingga sampai di samping Maggie. Matanya menatap Maggie lurus dan ketika wanita itu tidak juga berbalik ke arahnya, Dale berdeham. Baru ketika Maggie menatapnya, Dale melihat kesedihan yang tampak jelas dalam raut wajah itu.
"Kalau kau tidak begitu sibuk, kau bisa mengantarku ke rumah yang ditempati Kate sebelum dia pindah ke penginapan itu."
"Kami punya sebuah rumah peninggalan kakek kami. Lebih mirip sebuah pondok. Letaknya cukup jauh dari sini. Kate sering datang ke sana, dalam beberapa waktu dia juga menghabiskan waktunya di sana. Tapi sekarang rumah itu sudah tidak ditempati. Tapi kalau kau ingin lihat, aku akan menunjukkannya padamu."
Dale mengangguk. Satu tangannya terangkat ke atas lengan Maggie dan ia mencengkeramnya dengan kuat sembari berkata, "aku janji akan menemukan Kate." Suara Dale begitu pelan hingga Maggie nyaris tidak mendengarnya. Kemudian, ketika Judd berbicara, perhatian mereka sama-sama teralih.
"Hugh baru saja meneleponku. Dia memintaku untuk datang ke kantornya sekarang."
"Pergilah. Aku dan Miss Russell ada urusan. Aku akan menghubungimu segera."
Judd mengangguk. Pria itu memberi isyarat ke arah Maggie kemudian bergerak ke arah pintu dan menghilang di balik sana.
Kepergian Judd menyisakan keheningan di antara mereka. Dale berpikir untuk menanyakan apa yang terbesit dalam benaknya sejak semalam. Dale begitu penasaran tentang apa dan siapa yang mengganggu Maggie dalam percakapan di telepon semalam. Dale tidak bisa tertidur karena memikirkan hal itu. Tapi ia tahu kalau saat ini juga bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan. Suasana hati Maggie sedang kalut, dan Dale tidak berniat memperburuk keadaan.
"Kapan kita bisa pergi?"
"Sekarang," putus Maggie. Tangan wanita itu kelihatan bergetar. Mengalami perbincangan normal tanpa percekcokan dengan Dale terasa aneh untuk Maggie. Meskipun begitu, seperti yang selalu dilakukannya, Maggie meredam perasaan itu.
"Aku akan membersihkan mejaku sebentar kemudian kita bisa pergi."
Dale mengangguk kemudian memilih tempatnya di sofa. Laki-laki itu menyadarkan tubuh dan berselonjor di sana dengan nyaman sementara Maggie mengepakkan tumpukan kertas di mejanya. Mata Dale tidak pernah lepas dari Maggie. Laki-laki itu memerhatikan Maggie saat Maggie sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di atas meja.
"Bagaimana kau begitu menyukai bisnis seperti ini Maggie?"
Tindakan Dale ketika menyebut Maggie dengan nama depannya lantas mendapat perhatian Maggie sepenuhnya. Tanpa menghentikan pergerakannya untuk mengepakkan semua kertas-kertas itu menjadi satu tumpukan yang rapi, Maggie menatap Dale kemudian menjawab dengan tenang.
“Bisnis ini milik keluargaku. Semua dijalankan secara turun temurun. Tidak ada pilihan selain menyukai bisnis ini dan menjalankannya.”
Dale tersenyum, sesuatu yang jarang sekali Maggie lihat dari pria itu. Ketika Dale menunjukkannya, Maggie merasakan sesuatu seperti meremas perutnya dan tiba-tiba suasana menjadi terasa panas. Maggie tidak pernah merasakan hal yang sama bahkan dengan sejumlah kekasihnya. Kebanyakan dari mereka datang dan pergi tanpa meninggalkan kesan. Maggie tidak penah benar-benar mengagumi mereka. Bahkan dengan tampilan terbaik mereka sekalipun, Maggie tidak pernah merasakan perasaan yang sama seperti direbus di dalam tungku api yang panas hanya dengan melihat seorang pria tersenyum.
“Aku benci sekali melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan,” aku Dale. Kedua alisnya terangkat ketika melihat bagaimana Maggie menyipitkan mata ke arahnya.
“Apa kau benar-benar menyukai pekerjaanmu saat ini?”
“Aku menikmatinya. Aku suka menangani sebuah kasus. Ini hal yang benar-benar ingin kulakukan dalam hidup.”
“Uh-huh? Jadi kau tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan?”
Dale mengerutkan keningnya. “Sesekali dalam hidupku, aku melakukannya.”
Maggie meraih tas dan blouse hitamnya. Ia mengenakan blouse itu, kemudian bergerak untuk mengisi tasnya dengan cepat.
“Apa kau mengharapkan aku untuk bertanya apa saja hal itu, detektif?”
Dale tertawa. Ia sudah bangkit berdiri ketika Maggie menghampirinya. Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Dale tersenyum mengatakan, “aku siap.”
Mereka bergerak ke arah pintu secara bersamaan. Ketika berjalan di samping Maggie, Dale terkejut mendapati dirinya tidak harus memperlambat langkah untuk menyamai wanita itu. Maggie bergerak dengan cepat dan percaya diri. Mereka saling terdiam ketika menaiki lift. Dale mengambil posisinya di belakang Maggie. Matanya tidak berhenti menatap ke arah wanita itu. Hingga pintu lift kembali terbuka dan mereka bergerak ke luar secara bergiliran. Tiba di suatu lorong, langkah Maggie terhenti saat mereka berpapasan dengan seorang pria paruh baya berambut hitam dengan semburat abu-abu yang mempertegas usianya dan mengenakan setelan kemeja berwarna hitam. Pria itu menatap Maggie untuk waktu yang lama sebelum berpaling ke arah Dale.
Saat menatap Maggie, pria itu mengulas senyumnya. Maggie bersikap sebaliknya. Tampak jelas sekali kalau Maggie merasa terganggu dengan situasi itu.
“Dia polisi atau pengacaramu, Maggie?” tanya pria itu saat matanya menatap Dale tajam.
Dale tidak suka cara pria itu berbicara dan tersenyum ke arah Maggie. Ia telah mengalami pelatihan selama bertahun-tahun di kepolisian untuk bisa membaca sifat seseorang dengan mudah dari raut wajahnya. Yang Dale lihat hanya sebuah hinaan. Siapa pria itu? Apa ia adalah seseorang yang Dale dengar dalam panggilan teleponnya dengan Maggie semalam? Apa hubungan Maggie dengan pria itu.
“Dengar, Jared! Aku sedang buru-buru. Bisa kau sampaikan pada Harry kalau aku akan menangani beberapa urusan di luar sebentar? Aku mungkin kembali sore ini, atau jika tidak sempat, aku akan menyelesaikan semuanya besok.”
Pria bernama Jared itu berjengit. “Apa itu penting? Kau mau menyerahkan urusanmu pada anak muda itu lagi?”
“Aku membatalkan beberapa pertemuan dan tidak ada jadwal lain sampai besok.” Maggie merasa enggan untuk mendengar ucapan lain sehingga ia tidak menunggu respons dari Jared ketika satu tangannya menarik lengan Dale kemudian membawa pria itu berjalan menjauh melewati Jared hingga sampai di camaro hitam-nya.
Maggie menyerahkan kunci mobil itu ke tangan Dale kemudian mengitari mobil untuk sampai di kursi penumpang. Wajahnya tampak serius seolah ia berusaha keras untuk melupakan ketidaknyamanan yang baru saja terjadi. Sementara itu, Dale bergeming memandangi Maggie melalui spion dalam mobil. Beberapa detik berlalu dengan keheningan dan ketika Maggie menyadari hal itu, ia menatap Dale sambil menjelaskan dengan pelan.
"Itu Jared penasihatku. Sial! Aku tidak tahu apa dia benar-benar menjadi seorang penasihat dalam bisnis ini. Dia melewati batasannya dan aku ingin sekali menendangnya keluar dari Russell Housetown."
"Apa yang menahanmu?" tanya Dale, tatapannya terarah lurus ke depan saat tangannya tergerak untuk menyalakan mesin mobil. Dale membawa mobil itu bergerak keluar ke jalanan lepas. Ia menjaga kecepatannya tetap stabil sembari menatap Maggie sesekali.
Maggie menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku tidak yakin apa yang benar-benar menahanku. Dia sudah bekerja untuk ayahku di puncak kesuksesan Russell Housetown. Dia adalah otak Bill Russell. Tapi sikapnya kurang ajar." Dale baru berniat membuka mulut sebelum Maggie mengatakan kata-kata selanjutnya dengan cepat. "Dan sebelum kau bertanya, ya. Dia orang yang kau dengar di telepon semalam."
Dale membelokan Camaro hitam itu begitu sampai di tikungan. Dengan cepat ia memutuskan untuk berkendara melalui jalur tiga.
"Apa yang dia lakukan padamu?"
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Maggie memfokuskan tatapannya ke luar jendela. Meskipun begitu, Dale bisa menyadari tatapannya yang kosong. Dale tahu bahwa Maggie mungkin merasa kesulitan untuk menjelaskan situasinya. Itu sebabnya ia berkata, "kau tidak perlu menjawabnya jika tidak ingin. Lagipula, itu bukan urusanku."
Ucapan terakhir Dale berhasil menarik perhatian Maggie. Ketika Maggie berbalik menatapnya, Dale menyibukkan diri dengan memperhatikan jalan raya. Apa yang baru saja dikatakannya? Rasanya mereka baru saja melewati perbincangan yang hangat tanpa kompromi dan kini Dale sudah memancing keluar sisi dalam diri Maggie yang paling dibencinya.
"Kau benar," anehnya, kata-kata itu terdengar asing di telinga Dale. "Itu memang bukan urusanmu."
Dimana Maggie si angkuh yang bersikap sangat menyebalkan dan emosional?
"Tidak ada perlawanan kali ini?" Dale terheran-heran. Dalam beberapa detik ketika ia berpikir kalau Maggie tidak akan bereaksi lebih, wanita itu justru mengernyitkan dahi dengan tatapan marah yang menghunus tajam padanya.
"Kau pikir ini lelucon?"
Tersenyum, Dale menggelengkan kepalanya. "Hanya sedikit aneh jika aku mendengarnya langsung dari mulutmu."
"Dengar!" Maggie mengangkat satu jarinya untuk menuding ke arah Dale. "Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan."
"Apa kita akan berdebat lagi atau kau bersedia mengarahkanku untuk sampai di sana?"
Maggie tertegun. Amarahnya mulai surut saat ia mengatakan, "lupakan saja, oke? Kau tidak pernah menghubungiku malam itu dan kau tidak mendengar apapun."
Dale tidak merespons tapi Maggie tahu persis tentang apa yang benar-benar terbesit dalam benak laki-laki itu. Sialan Dale! Kalau saja Maggie tidak begitu menyukainya, ia tidak mungkin bersikap seperti wanita bodoh.