Boston, Massachusetts
November, 2006
Dale dan Judd menemui petugas unit penyewaan mobil yang sama yang mereka jumpai dua hari yang lalu. Jika saat itu mereka tidak mendapatkan apa-apa, kali ini Dale cukup yakin kalau mereka akan menemukan jawabannya langsung dari sang pemilik unit penyewaan itu, John Terry.
Setelah lebih dari satu jam menunggu, mereka akhirnya dipersilakan masuk untuk menemui John. Pria itu tampak seperti yang dibayangkan Dale: tua dan bertubuh gemuk. John langsung berdiri dan menjabat tangan Dale juga Judd begitu mereka tiba. Ia menawarkan mereka secangkir kopi sebelum mengambil satu yang lain untuk dirinya sendiri.
"Aku sedikit terkejut dengan kunjungan ini," aku John setelah mengambil posisinya di kursi seberang.
Judd menjelaskan. "Kami datang dua hari sebelumnya. Kebetulan kau tidak ada di tempat."
Mengangguk, John meletakkan cangkir kopinya itu pada meja di depan mereka kemudian mengaitkan jari-jarinya sembari menatap mereka dengan serius. "Jadi, pasti ada sesuatu yang penting?"
Dale mengeluarkan secarik kertas bon dari saku jaketnya kemudian menyerahkan kertas itu pada John. Ia memberi waktu bagi John untuk melihat detail transaksi yang tertulis di sana sebelum bertanya, "mungkin kau bisa membantu kami menjelaskan detail transaksi itu."
John menatap Dale untuk waktu yang lama. Laki-laki itu tampak seperti sedang mempertimbangkan keputusannya untuk bicara.
"Seseorang menyewa jasa kami untuk menemukan seorang wanita muda yang menghilang selama dua belas hari. Namanya Kate. Dan bon transaksi itu adalah beberapa barang bukti yang berhasil kami temukan di keranjang sampah milik Kate. Setelah kami terlunsuri, Kate tidak pernah melibatkan diri dengan unit penyewaan mobil manapun. Bon itu tertanggal sehari sebelum Kate menghilang, jadi kemungkinan besar seseorang telah berkunjung ke kediaman Kate. Mungkin seseorang inilah pemilik dari bon itu."
"Kalau begitu kau punya nama untuk seseorang yang berkunjung itu?" Tanya John.
"Ada dua nama: Ricky Kerry dan Javier Mascherano."
John mengangguk. "Apa yang harus kujawab?"
"Kami ingin tahu siapa pemilik bon di antara dua orang itu dan apa alasan mereka melakukan transaksi itu?"
"Aku tidak pernah bertemu dengan Javier, tapi aku kenal dengan kakaknya, Hormer. Guy Hormer."
"Apa dia orang yang melakukan transaksi itu?"
"Apa jaminan yang akan kau beri sehingga aku tidak akan terseret ke pengadilan untuk kasus ini?"
"Agensi kami bebas dari kuasa hukum. Dan kami menjamin kerahasiaan sepenuhnya."
John mengangguk. "Informasi ini mungkin tidak akan banyak membantu, tapi memang Hormer yang melakukan transaksi itu. Aku hanya membantunya sebagai seorang kenalan lama. Boleh dibilang dia menggunakan nama unit penyewaan ini hanya untuk menutupi transaksi ilegal yang dilakukannya."
"Apa Javier juga terlibat?"
"Mungkin. Selain maksudnya untuk memalsukan transaksi itu, dia tidak mengatakan apa-apa."
"Sudah berapa lama itu berlangsung?" tanya Judd.
"Itu adalah satu-satunya transaksi yang kutahu."
"Apa dia pernah menyebut sesuatu tentang pria bernama Ricky Kerry?"
"Ya. Ricky adalah alasan kenapa Hormer berniat memalsukan identitas itu. Kalau tidak salah, Hormer pernah bekerja untuk Ricky."
"Artinya dia sudah tidak bekerja dengan Ricky lagi?"
"Mereka terlibat pertikaian. Aku tidak tahu penyebabnya. Hormer hanya mengatakan kalau dia ingin menghindari Ricky sebisa mungkin."
"Mungkinkah dia terlibat dalam penggelapan uang?"
John menggaruk dagunya, raut wajahnya tampak mempertimbangkan sesuatu dengan matang. "Aku tidak tahu."
"Apa lagi yang dia katakan tentang Ricky?"
"Tidak ada. Hanya itu yang kutahu."
Dale mencatat informasi itu dengan cepat dalam otaknya kemudian mencondongkan tubuh untuk pertanyaan selanjutnya. "Kau tahu di mana kami bisa menemukan Hormer?"
"Hormer seseorang yang tidak stabil. Dia suka berpindah-pindah dan pekerjaannya tidak tetap. Terakhir aku menemuinya dia tinggal di perumahan di dekat Freedom Trail. Dia menempati bangunan dengan nomor tiga puluh dua di sana. Bangunannya cukup besar dan luas dengan pagar hitam dan cat dinding abu-abu."
"Apa Hormer tinggal bersama Javier?"
"Tidak. Sama seperti Hormer, Javier juga suka berpindah-pindah."
"Apa kau tahu jika Hormer terlibat dalam kasus penculikan gadis-gadis?"
"Tidak. Hormer tidak memiliki motivasi khusus untuk itu. Tapi aku tahu dia seorang kriminal."
"Berapa banyak yang kau tahu tentang Ricky? Berapa lama Hormer bekerja untuk pria itu?"
"Hormer seseorang yang sangat tertutup. Dia tidak mengatakan banyak tentang Ricky Kerry. Tapi aku tahu kalau Hormer telah bekerja pada Ricky sejak dia dikeluarkan dari asramanya.”
“Kapan itu tepatnya?”
“Sekitar sepuluh atau dua belas tahun yang lalu?”
“Apa Hormer memiliki keluarga lain? Maksudku selain Javier sebagai adiknya? Apa dia memiliki seorang istri atau anak?”
“Tidak. Hormer pernah menikah sekali kemudian istrinya meninggal karena sakit. Dan yang kutahu, dia tidak memiliki seorang anak atau saudara lain.”
John melirik arloji di tangannya yang besar sebelum menghela nafas panjang. “Aku minta maaf tapi ada urusan lain yang harus kuselesaikan. Apa kalian masih memiliki pertanyaan lain atau..”
“Tidak,” ketika mengatakannya, Dale sudah setengah bangkit dari atas sofa. Ia dan Judd menjabat tangan John sebelum bergerak ke arah pintu.
“Terima kasih untuk informasinya.”
Segera setelah John mengangguk, tangan Dale menyambar kenop pintu dan ia keluar dari ruangan itu kemudian kembali pada sedannya yang masih terparkir di halaman depan.
***
Michael Hart telah berbicara dengan seorang pelayan di sebuah kedai yang sering dikunjunginya selama lebih dari lima belas menit. Emily Clarke adalah wanita mungil, bertubuh sintal, dengan wajah yang selalu tampak memerah dan bintik-bintik hitam yang memenuhi hidungnya. Dan yang paling disukai Hart darinya adalah sepasang p******a dan b****g yang cukup besar juga kemampuannya di atas ranjang.
Emily suka sekali bicara, terutama dengan pelanggan tetap di kedai itu. Dan tidak diragukan lagi kalau Emily telah meniduri lebih dari sepuluh pelanggannya, tidak terkecuali Hart. Tapi laki-laki manapun tidak akan sanggup menolak wanita itu. Emily seperti pemuasan yang bisa didapat secara cuma-cuma, tapi wanita itu juga seorang penggosip yang tidak mau ketinggalan berita.
Sang pemilik kedai, Larry Bird, pria tinggi, besar, berusia tiga puluh tujuh tahun adalah seorang b******n bermuka dua. Larry menyukai wanita seperti Emily dan tidak diragukan lagi kecemburuan yang tampak di wajah Bird ketika melihat bagaimana Emily menggoda setiap pelayan tetap di kedainya sendiri. Tapi Hart tahu kalau si burung biru besar itu juga menikmati saat-saat menindas para wanita. Hart memanggilnya burung biru besar. Itu bukan hanya karena wajahnya yang jelek seperti burung dengan hidung kecil dan bentuk muka bulat yang menampakkan semburat berwarna kebiru-biruan ketika sedang marah, melainkan juga karena betapa menyebalkan sikapnya.
Masalahnya, Larry tidak hanya menyukai satu wanita di tempat tidurnya. Dan Emily Clarke adalah pasangan yang tepat untuk memenuhi fantasi itu.
Hari ini Emily mendekati Hart dan Hart sudah bisa menebak apa yang diinginkan wanita itu. Berita terkait daftar orang hilang dan ditemukannya jasad Amber dan Esther telah menjadi konsumsi publik. Berita itu menyebar dengan sangat cepat.
Ibu Esther, Julia Reene, adalah teman mengobrol Emily. Biasanya mereka akan bertemu di Copp's Hill Burtal Ground setelah berolahraga dan menghabiskan sebagian waktu untuk sekadar mengobrol. Julia lebih seringnya mengunjungi kedai itu di jam-jam makan siang untuk mengobrol dengan Emily kemudian pergi mengunjungi toko yang menjual peralatan antik. Tapi, Emily menyadari bahwa selama dua minggu belakangan, Julia tidak pernah datang. Hal yang sama telah membuat Emily penasaran.
Siang kemarin ketika surat kabar yang mencetak berita ditemukan mayat Esther tersebar, Emily langsung menghubungi Hart dan memintanya untuk datang. Wanita itu membawakan Hart kopi panas dan kue lemon kesukaan Hart kemudian duduk berseberangan dengan kursinya. Hart menikmati santapan itu dimenit-menit pertama. Tapi begitu ia menyadari keberadaan Larry Bird yang berdiri di seberang meja kasir dan tampak mengawasinya, selera makan Hart langsung hilang.
Si burung biru besar tampak menggenggam sebuah melamin di satu tangannya sambil menggosokkannya dengan kain bersih dengan satu tangan yang lain. Selama sesaat Hart merasa kalau pria itu memperhatikannya untuk waktu yang lama dan tiba-tiba seisi ruangan menjadi semakin sesak.
"Sial!" Maki Hart saat ia membuang wajah dari Larry. Emily melirik dari balik bahunya. Wajahnya semakin memerah ketika ia menyadari bagaimana kehadiran Larry begitu mengganggu Hart.
"Abaikan saja dia!" pinta Emily. Wanita itu meletakkan jari-jarinya di atas lengan Hart dan mulai mendesaknya.
"Ayo, katakan apa mayat itu benar-benar Esther?"
Dari tempatnya, Hart melirik tangan Emily yang bertengger dengan nyaman di atas lengannya. Kali ini wanita itu mengecat kuku-kukunya dengan warna merah terang, sesuatu yang Hart tahu bahwa Emily Clarke menyukai warna-warna yang tampak mencolok.
"Ya, mayat itu memang Esther."
Wajah Emily tiba-tiba berubah pucat. "Rasanya aku baru saja mengobrol dengannya sebulan yang lalu."
Hart masih mengawasi Larry Bird dari tempatnya. Sekarang Larry mulai bergerak-gerak dengan gelisah. Ada apa dengan pria itu?
"Korban peti mayat yang ditemukan adalah gadis-gadis yang namanya tercantum dalam daftar orang hilang. Laporan menghilangnya Amber hanya selisih dua hari sebelum Esther menghilang. Dan pembunuh itu mengirim jasad mereka setelah sebulan."
Kedua mata Emily melebar dan Hart baru menyadari ucapannya. Hart berpikir untuk menyudahinya, tapi tidak ada yang benar-benar bisa menghentikan Emily ketika wanita itu sudah merasa penasaran.
"Oh Tuhan, mereka dibunuh!"
"Ya," Hart menghela nafas kemudian menelan potongan terakhir kue lemonnya. "Begitulah."
"Apa mereka ditusuk? Atau.."
"Tidak, mereka mati karena kehabisan nafas. Dugaan besar mereka mati karena dibekap."
Genggaman Emily pada lengan Hart tiba-tiba mengencang. "Aku tidak mengerti alasan seseorang tega membunuh wanita semanis Esther. Maksudku, sikapnya terkadang memang menjengkelkan. Gadis itu sedikit keras kepala. Tapi, dia tetap anak dari temanku." Emily diam sebentar. "Bagaimana reaksi Julia mengetahui hal ini?"
"Well, dia sangat histeris."
Sekarang raut wajah Emily menampakkan kesedihan dan rasa simpati yang besar. "Dia belum mengabarkan apapun padaku. Dia pasti sangat terpukul. Apa jasad Esther sudah dimakamkan?"
"Saat ini jasadnya masih ditahan oleh pihak kepolisian untuk kepentingan autopsi."
"Apa benar jasad mereka di temukan di rumah seorang pendeta?"
"Itu benar. Dan ini semakin aneh karena pembunuh itu telah membuat korbannya seperti jasad yang siap untuk dikuburkan. Mereka didandani dan dipakaikan gaun pengantin."
"Itu mengerikan. Pembunuh berantai berkeliaran di Boston dan menyebarkan teror mayat di dalam peti dengan cepat," kata Emily. "Jadi, jika semua korban itu adalah gadis-gadis yang dikabarkan menghilang selama sebulan apa ada kemungkinan kalau pembunuh itu akan melakukan aksinya lagi?"
"Aku tidak tahu."
"Tapi katamu, Kate juga menghilang selama satu pekan terakhir, kan?
Hart meneguk kopinya kemudian mencondongkan tubuh ke arah Emily. Matanya menatap Emily dengan serius. "Dengar! Aku tidak mau kau membahas hal ini di depan Maggie, dia tidak akan senang mendengarnya."
Kedua mata Emily menyipit. "Apa kau berpikir kalau Kate, sepupumu itu, menjadi salah satu korban pembunuh peti mayat ini juga?"
"Ssshh!" desis Hart. Satu jarinya terangkat untuk memperingati Emily. "Kalau Maggie sampai mendengar hal itu dari mulut orang lain, dia akan marah besar."
"Ya, ya! Aku tahu sifat sepupumu yang satu itu. Tapi serius Hart, bagaimana jika ternyata benar Kate menjadi salah satu korban pembunuh peti mayat? Bagaimana penyelidikanmu?"
"Semuanya buntu."
"Sial, Hart! Jangan sampai ada korban lain lagi. Beberapa surat kabar juga menyebutkan kalau pembunuh itu memilih korban dengan ciri identik wanita muda berkulit pucat dan berambut pirang. Itu tidak salah, kan? Maksudku, Esther memiliki ciri seperti itu dan.. Kate.."
"Aku tidak ingin menakut-nakuti gadis di seluruh Boston yang memiliki ciri identik seperti itu. Tapi O'Neill baru akan mengklarifikasinya setelah ia yakin kalau keadaan sudah cukup tenang. Saat ini semua orang dikagetkan dengan kabar ditemukannya mayat Amber dan Esther. Sekarang bukanlah waktu yang tepat bagi publik untuk mengetahui detail pembunuhannya."
"Tapi seluruh orang perlu tahu," sanggah Emily. "Setidaknya mereka perlu bersikap waspada."
"Kirk Hammet sudah memperingatkan hal itu dalam wawancaranya. Sejauh ini kami sudah melakukan tugas kami."
"Apa kau sudah mencoba menyelidiki pacar Esther? Laki-laki itu terlihat seperti berandal."
"Bagaimana kau tahu kalau Esther punya pacar?"
"Mereka datang ke sini pada malam sebelum Esther menghilang. Esther bersama temannya, aku tidak ingat, mungkin Miss Gosling dan mereka membawa dua laki-laki yang tampak seperti berandalan. Laki-laki itu masih cukup muda. Mereka memasang anting di hidungnya dan mengecat rambutnya berwarna pirang. Aku tidak yakin apa pria itu pacar Esther, tapi sekilas aku melihat mereka bertukar ciuman di ujung jalan."
Hart berdeham. "Aku tidak memiliki kuasa untuk melakukan penyelidikan itu, tapi rekanku Peter yang menangani kasus peti mayat akan menyelidikinya."
"Pihak kepolisian belum mendapatkan petunjuk apapun untuk kasus ini?"
"Tim yang bergabung bersama Peter sedang menelusuri jejak barang bukti yang ditemukan seperti gaun pengantin dan sebuah cincin. Dan berita terkahir yang kudapat, mereka mendapatkan beberapa nama yang mungkin terkait dengan barang bukti itu."
Hart masih memandangi Larry dari tempatnya. Pria itu kini sudah berpindah dari seberang meja kasir ke rak yang menyimpan beberapa melamin dan gelas antik. Hart baru menyadari kalau rak itu sudah ada di tempat yang sama bahkan saat ayah Larry, sang pemilik sah kedai itu masih hidup.
Sejak remaja, Larry telah menjalani kehidupan yang aneh menurut Hart. Laki-laki itu tercatat tiga kali keluar masuk panti rehabilitasi karena narkoba. Dan berita terakhir yang didengarnya tentang Larry, bahwa laki-laki itu menghamili seorang gadis dan secara sadis meminta gadis itu untuk mengugurkan bayinya. Benar-benar biadap, pikir Hart.
"Hart!" Emily nyaris berteriak hingga menyadarkan Hart dari lamunannya.
Semburat merah yang mewarnai wajah Emily kini menjadi pusat perhatian Hart sehingga ia tidak menyadari ketika Larry bergerak mendekat ke arahnya.
"Aku tidak membayarmu untuk berbicara dengan pria ini, Clarke!" ujar Larry. Kata-katanya sekaligus mengejutkan Hart. Emily Clarke saat itu langsung berdiri. Wajahnya merona karena malu. Sementara itu, hal terakhir yang diinginkan Hart adalah berdebat dengan si burung biru besar seperti Larry.
Karena alasan yang sama, Hart dengan cepat bangkit dari kursinya. Ia mendorong kursi itu ke belakang kemudian mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya.
"Omong-omong, aku sudah selesai." Hart mengangguk ke arah Emily. "Apa kau punya acara khusus malam ini?"
Emily menggeleng dengan ragu saat menimbang reaksi Larry Bird. Wanita itu kemudian angkat bicara, "aku akan meneleponmu nanti."
"Bagus." Hart bergerak menjauh ketika ponsel di sakunya berdering. Kedua matanya masih mengawasi Larry dengan tajam. Sementara itu, Emily yang tampak begitu penasaran dengan si penelepon memandangi Hart sembari berjalan perlahan untuk kembali ruang belakang. Hart melihat ketika Larry berjalan menyusul Emily di pintu belakang. Pikirannya langsung bercabang. Laki-laki itu mungkin terlalu bernafsu dengan seorang Emily Clarke.
Berusaha mengabaikan mereka, Hart mencapai pintu masuk dan keluar dari sana. Ia memfokuskan indra pendengarannya pada suara Dan Morris di seberang. Tampaknya, Morris punya berita buruk.
"Kejutan untukmu! Ada dua laporan orang hilang yang baru saja kuterima siang ini."
"Sial!" Maki Hart. Langkahnya langsung terhenti. "Bisa kau ulangi kata-katamu?"
"Dua orang hilang. Dan tebak apa yang menarik?"
"Mereka seorang gadis cantik berambut pirang?"
"Tepat sekali. La Toya Jackson dilaporkan menghilang empat hari yang lalu. Satu yang lain Laura Jane Addams, dikabarkan menghilang baru-baru ini."
"Siapa yang melaporkan?"
"Seorang kekasih dan teman korban. Seseorang bernama Dante mengaku kalau ia berniat mengunjungi rumah kekasihnya malam itu. Tapi La Toya tidak ada di tempat, sementara kantor tempat La Toya bekerja mengatakan kalau wanita itu sudah kembali sejak pukul tujuh. Nyatanya sampai hari berganti lagi La Toya belum juga kembali. Dante menghubungi pihak kepolisian dua belas jam setelah menyadari kalau La Toya menghilang. Wade yang bicara dengannya, saat ini dia sedang menunggu di kantor polisi."
"Bagaimana dengan Laura Jane Addams?"
"Miss Addams dilaporkan menghilang oleh kakak dari temannya, namanya Cobb. Teman wanitanya juga ikut hadir. Ia menjadi orang terakhir yang melihat Laura dalam pesta ulang tahunnya. Dia bilang Laura pulang karena patah hati melihat mantan kekasihnya bersama wanita lain di pesta itu. Gene mengaku kalau Laura memaksakan diri untuk pulang. Wanita itu mengendarai mobilnya sendirian. Kejadiannya sekitar pukul sepuluh malam. Kemudian ketika Cobb mengendara untuk menyusul Laura, pria itu mengaku hanya menemukan mobilnya yang hancur di perbatasan West End. Kondisinya buruk, mobil itu seperti mengalami benturan keras di bagian bumper, seperti seseorang baru saja menabraknya."
Hart mengangguk. Ia bergerak masuk ke dalam mobil kemudian memeriksa arlojinya. "Apa kau ada di TKP?"
"Tidak. O'Neill meminta Duncan untuk mengambil alih tugas itu. Saat ini aku ada di kantor dengan kekasih, teman dan keluarga korban. Sebaiknya cepat kemari!"
"Baiklah, aku akan sampai dalam lima belas menit."
Segera setelah Hart menutup ponselnya, ia menstarter mobil dan berkendara menjauh meninggalkan halaman parkir.
-
Laura berteriak hingga tenggorokannya terasa sakit. Berkali-kali ia menggedor pintu itu dan meneriakkan kata tolong, tapi rasanya usaha itu tidak membuahkan hasil barang sedikitpun. Ruangan itu terlalu besar tanpa jendela maupun ventilasi. Hanya ada sebuah ranjang dengan seprai putih yang diletakkan di tengah-tengah. Sementara di sudut lain, Laura melihat sebuah meja rias dan vas bunga antik. Dindingnya di cat dengan warna merah gelap. Satu-satunya cahaya yang menerangi seisi ruangan hanyalah semburat keemasan dari lampu yang menggantung di salah satu sisi dindingnya.
Saat terbangun dari tidurnya beberapa jam yang lalu, Laura memandang ke sekitar dengan kebingungan. Ia berpikir kalau dirinya sedang bermimpi. Tapi sebuah mimpi tidak akan terasa senyata itu. Laura bisa mencium wangi lili yang tersebar di seluruh ruangan. Tangannya juga bisa merasakan permukaan yang halus saat bergesekan dengan ranjang. Dan ketika Laura bangkit berdiri, ia bisa merasakan rasa berdenyut-denyut pada mata kakinya akibat terbentur tiang kasur karena limbung. Sudah sangat jelas kalau Laura tidak sedang berada dalam mimpinya.
Laura menggosok kedua matanya dengan gelisah. Pandangannya masih terasa kabur dan pikirannya kacau. Ia diam sejenak hanya untuk mengembalikan ingatannya. Kemudian, semua ingatan itu seolah bermunculan dalam benak Laura. Laura menghadiri pesta ulang tahun Gene, Liam dan kekasih barunya juga hadis di sana. Laura merasa patah hati dan ia memutuskan untuk pulang. Namun, saat berkendara Laura tahu kalau seseorang telah membuntutinya. Kejadiannya terasa begitu cepat hingga mobil di belakang menabrak bumper mobilnya – berkali-kali. Laura menangis karena panik. Ia berusaha mencari ponselnya dan menghubungi polisi, Laura tidak tahu persis apa panggilan itu telah dijawab atau tidak yang pasti, seseorang di telah membekap wajahnya dengan sebuah kain dan cairan bius yang berbau menyengat.
Saat kesadaran itu muncul, Laura berteriak seperti orang gila. Ia pikir seseorang di luar akan mendengarnya, tapi Laura segera mengetahui kalau ruangan itu adalah bagian yang terisolasi. Tidak ada kaca jendela, tidak ada ventilasi, pintunya terkunci dan sangat sulit untuk didobrak.
Laura menangis saat rasa putus asa yang dialaminya semakin besar. Tiba ketika ia mendengar suara seseorang di luar memutar kenop pintu, Laura bergerak menjauh ketakutan. Siapa orang yang tega menculiknya? Apa orang itu berniat memperkosanya? Membunuhnya?
Seorang pria memunculkan dirinya dari balik pintu. Ia adalah pria tinggi besar, mengenakan sebuah kupluk berwarna hitam dan jaket kulit tebal juga celana jeans longgar. Pria itu menenteng sebuah kain merah bersih di satu tangannya sementara satu tangannya yang lain menggenggam sebuah plastik yang tersisihkan penuh oleh potongan kain berenda. Pria itu mengunci pintu di belakangnya kemudian tersenyum ke arah Laura.
Ada sesuatu yang aneh cari cara pria itu tersenyum padanya. Laura ketakutan setengah mati. Pria itu tidak tampak seperti seorang berandal yang suka memperkosa gadis-gadis. Ia juga tidak terlihat seperti seorang pembunuh: tampaknya lebih mengerikan dari itu. Ada semacam obsesi yang sekilas melintas di garis wajahnya yang tegas. Sepasang mata hitam itu menatap Laura dengan dalam sehingga Laura merasa kalau pria itu telah menghipnotisnya.
"Aku tidak menyangka kalau kau akan bangun lebih awal dari perkiraanku," suara pria itu dalam dan berat, suara yang membuat wanita manapun bergidik ketakutan ketika mendengarnya.
"Siapa kau? Kenapa kau melakukan ini?"
Pria itu melangkah maju sambil menggulurkan satu tangannya ke arah Laura. "Aku selalu melupakan cara untuk mengawali ini lagi. Aku Bobby. Dan kau boleh memanggilku Bob.."
Saat Laura tidak juga meraih tangannya yang terjulur, Bob menyeka tangannya itu pada celana kemudian menjulurkannya kembali sambil tersenyum lebar. Selama sejenak keheningan itu terasa menyiksa. Laura masih diam di tempatnya sembari memandangi tangan Bob dan wajahnya secara bergiliran. Perlahan Laura melihat perubahan emosi dalam raut wajah Bob. Senyumnya pudar dan secara perlahan Bob menurunkan tangannya kembali.
“Jangan malu! Duduklah, aku membawakan barang-barangmu. Kau akan menyukainya.”
Laura masih berdiri membatu ketika pria itu membuka plastik bawaannya dan mengeluarkan beberapa barang dari sana. Ia menunjukkannya satu persatu pada Laura mulai dari sebuah gaun sutra berwarna merah pekat, sebuah sisir dan sepasang stoking berenda berwarna hitam. Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya?
“Kau suka? Ini milikmu.”
Alih-alih menjawabnya, Laura membeliakkan mata ke arah pria itu. “Di mana aku?”
Bob memandang ke sekelilingnya dan tersenyum lebar. “Rumah. Kau berada di rumah. Jangan khawtir! Tidak banyak barang-barangmu yang tersisa, tapi aku akan mengambilnya untukmu.”
“Kau gila.”
Ekspresi wajah Bob langsung mengeras hingga membuat Laura bergidik ketakutan ketika melihatnya. “Ya,” pria itu mengangguk. “Aku memang tergila-gila padamu.”
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menculikku?” Ketika Bob tidak juga merespons pertanyaannya, Laura berteriak histeris. Air matanya terancam akan tumpah. “Kenapa kau melakukan ini?! Biarkan aku bebas! Biarkan aku keluar dari sini.”
Ketika Bob melangkah maju untuk mendekatinya, Laura secara spontan menarik satu lengan pria itu dan menggigitnya dengan keras. Bob berteriak kesakitan. Laura langsung mengambil kesempatan itu untuk keluar dari ruangan. Ia membuka pintu, berlari melewati lorong dengan cepat dan tersesat di satu jalan.
Di mana pintunya? Di mana pintu sialan itu! Dalam kepanikan Laura mencari-cari jalan keluar, tapi rasanya ia hanya terjebak dari satu ruangan ke ruangan kosong yang lain. Astaga, tempat apa itu? Kenapa tidak ada barang-barang? Kenapa tidak ada cahaya yang masuk. Seisi lorong terlihat gelap. Sembari berusaha menahan tangisnya di ujung lidah, Laura melangkah mundur. Ia baru akan berbalik sebelum pria itu muncul di belakangnya. Kedua mata Laura membeliak lebar dan tangannya sudah terangkat untuk mencakar wajah pria itu sebelum aksinya di hentikan saat sesuatu terasa menusuk lengannya.
Tubuh Laura seketika mati rasa. Ia tidak bisa sanggup merasakan tangan dan kakinya, tapi Laura masih sadar saat pria itu menarik jarum suntik dari lengannya kemudian membopongnya untuk kembali ke ruangan. Hal terakhir yang ingat Laura sebelum kesadarannya pergi adalah pria itu mendudukinya di depan meja rias, membuka ikatan rambutnya dan menyisiri rambutnya sambil menggumamkan sebuah lirik nyanyian.
Untuk sebuah akhir kisah cinta yang menyenangkan, akan ada yang dikorbankan..