Matahari kini mulai bersinar terang, tapi di dalam kereta panasnya tidak terasa. Lumayan lama aku duduk tanpa bicara di kursi kereta ini, sudah sekitar empat jam. Dan selama itu pula aku menahan gejolak aneh karena suamiku harus berhadapan dengan Syahnaz, bahkan sandaranku dengan sandaran Syahnaz menyatu, kami saling membelakangi. Para guru itu mengobrol dengan suara tidak keras tapi aku masih bisa mendengarnya, terutama suara Syahnaz, jelas sekali. "Ali sekarang udah besar, kamu keren banget bisa mengendalikan diri, dari jurusan apa lari ke apa tapi bisa kompeten, dari dulu kamu emang kebanggaan. Abimu pasti tenang di sana." Itu suara pak Mukidi. Ternyata manusia seangker pak Mukidi pun mengagumi sosok kak Ali. "Alhamdulillah, Pak, tapi saya enggak sebaik yang bapak kira, setiap manus