10. Black Card

1009 Words
Prabu mencari keberadaan sang kekasih dan Kenanga. Mereka berdua justru asyik di salah satu warung. Hanya warung lesehan biasa, tetapi bisa membuat Kenanga nyaman. Kenanga dengan secepat kilat menghapus air matanya. "Kalian udah selesai makan?" tanya Prabu melihat deretan piring kotor yang ada di meja. "Udah. Kamu lapar?" tanya Syafira yang saat ini selesai menyesap es teh yang kini tinggal sepertiga gelas. "Laparlah, aku nggak sarapan di rumah. Buru-buru karena kesingan bangun. Ini punya siapa yang sisa?" Prabu menggeser piring yang masih ada sisa nasi setengahnya. "Punya Anggi, kamu tanya dulu, dia masih mau makan nggak," kata Syafira mengingatkan sang kekasih agar tidak rusuh. Anggi tersenyum samar melihat interaksi pasangan kekasih di depannya. Hubungan percintaan mereka sangat sehat. Anggi, dulu hanya mengejar Sabian. Bahkan, mungkin Sabian terpaksa menjalani hubungan itu. "Aku udah kenyang, makan saja," kata Anggi sambil berusaha tersenyum. "Nah, Anggi aja boleh. Kamu yang ribet. Tolong pesankan aku makanan dong," kata Prabu sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Syafira hanya menggeleng melihat tingkah sang kekasih. Prabu memang tampak seperti orang kelaparan akut. Astaga! Ini sangat memalukan sebenarnya. Akan tetapi, itulah Prabu yang tidak pernah malu saat melakukan apa pun. "Habis ini kita ke Gunung Kidul." Prabu mengatakan setelah menelan makanannya. "Aku udah izin sama orang rumah," kata Prabu santai, tetapi sukses membuat Kenanga terkejut. "Ke Gunung Kidul?" Kenanga tidak percaya dengan apa yang didengarnya saat ini. "Iya, kita udah lama bahkan sangat lama nggak ke sana. Aku rindu, Nggi," kata Prabu yang kini kembali menyantap makanan yang dipesankan oleh sang kekasih. Gunung Kidul adalah tempat bersejarah bagi Kenanga dan sang kakak. Mendiang mama mereka punya sebuah panti asuhan kecil di sana. Hingga saat ini, Seno masih menjadi donatur tetap untuk panti asuhan kecil itu. Ada anak-anak yang kurang beruntung tinggal di tempat itu. "Kamu mau? Kalo semisal kamu nggak mau, kita batalkan saja," kata Syafira melihat perubahan mimik muka Kenanga. "Aku mau. Tapi, kita nggak bawa apa-apa, loh." Kenanga kini tampak bingung. "Tenang, kita bisa belanja dulu," kata Prabu dengan santai seolah tidak mau dianggap orang susah. Selesai makan, Prabu langsung membayar semua tagihan makan mereka. Prabu merangkul sang kekasih dan menggandeng lengan sang adik. Entah apa yang dipikirkan oleh pengunjung warung lesehan ini. Jika diamati, wajah Prabu dan Kenanga ada kemiripan. Salah satu hal yang dulu hingga sekarang disukai oleh Kenanga adalah berbelanja untuk keperluan anak-anak panti asuhan. Sejak hubungannya dengan Sabian berakhir, Kenanga tidak pernah melakukannya lagi. Ia terlalu sibuk meratapi nasibnya. Sabian dan keluarganya tidak tahu jika Kenanga dari keluarga yang berada dan punya panti asuhan. Mereka hanya tahu jika Kenanga adalah anak seorang seorang buruh jaga tempat indekos. Pandangan Marni sangat buruk dan selalu merendahkan Kenanga. Satu hal, Kenanga tidak mau menggunakan nama belakang sang papa, tidak seperti Prabu. "Ini kurang, nggak? Uangnya ada nggak kalo aku ambil lagi?" tanya Kenanga dengan sangat antusias melihat banyak makanan kecil yang baru saja diborongnya itu. "Nggak akan kurang. Kakakmu itu punya black card," kata Syafira sambil tersenyum lebar melihat ekspresi wajah Prabu. "Salah! Yang punya black card spesial itu Anggi," kata Prabu sambil melirik sang adik. Kenanga menoleh ke arah belakang. Benar, ia mempunyai black card dan belum pernah digunakan sama sekali. Sang papa membuatkannya saat Kenanga masuk kuliah. Sayang, adik Prabu itu tidak pernah menyentuhnya sama sekali. "Ini?" Kenanga mengeluarkan kartu elektronik berwarna hitam. "Aku bahkan belum pernah menggunakannya sama sekali," kata Kenanga dengan polosnya. "Apa?!" Prabu terkejut hingga berteriak. "Aduh ... Anggi, ini bisa buat beli supermarket ini," kata Prabu dengan gemas melihat kepolosan sang adik. Kenanga mengernyitkan dahi. Ia memang tidak pernah menyentuh kartu hitam itu. Bahkan masih ada dalam plastik karena belum dibuka sejak beberapa tahun yang lalu. Kenanga hanya memakai atm biasa keluaran salah satu bank berplat merah. Uang dalam atm itu isinya lumayan banyak untuk Kenanga. "Ini cara pakainya sama kaya atm biasa?" tanya Kenanga sambil mengamati kartu tipis itu. "Sama, tinggal gesek aja. Papa itu udah aktifkan sejak lama." Prabu mengatakannya dengan sabar. "Oh. Mas Prabu dapat juga dari Papa?" tanya Kenanga yang memang benar-benar tidak tahu. Syafira langsung tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan itu. Prabu bukan tidak dapat black card itu. Seno menyita kartu itu karena ulah Prabu kala itu. Prabu kedapatan sering berpesta dan menghambur-hamburkan uang dan membuat Seno marah. Tidak ada yang tahu ketika Prabu menghamburkan uang itu. Tak lain karena tekanan kesedihan mendalam ketika mendiang sang mama berpulang. Tak lama setelah itu, Seno menikah dengan Ayudia. Ironis, saat hati terluka butuh pelukan sang papa, tetapi justru hal itu tidak didapatkannya. "Kenapa, Mbak?" tanya Kenanga yang merasa heran melihat Syafira tertawa sampai wajahnya memerah. "Hahaha, aduh ... maaf-maaf. Punya, Prabu disita sama Papa kalian. Uh ... so sweet deh," ejek Syafira pada sang kekasih. Wajah Prabu seketika berubah menjadi masam. Padahal Syafira tahu dengan pasti alasan menggunakan kartu itu dengan ugal-ugalan. Mengapa jadi bahan bercandaan. Prabu tidak bisa marah karena ada Kenanga. "Kenapa disita? Mau pakai punyaku? Atm aku masih banyak kok isinya. Diisi terus sama Papa," kata Kenanga sambil menyerahkan black card itu pada sang kakak. Tentu hal itu adalah tawaran sangat menggiurkan. Hanya saja, tidak akan bisa dipakai jika bukan Kenanga yang memakainya. Seno mengontrol pengeluaran kedua anaknya. Bukan bermaksud pelit, tetapi ia tidak mau kedua anaknya hidup bermewah-mewahan. "Nggak bisa kalo bukan kamu yang pakai." Prabu mengerucutkan bibir karena kesal. "Ada kode khusus yang hanya bisa dipakai oleh pemilik langsung. Nggak tahulah gimana laki-laki tua itu mengaturnya sama pihak bank," keluh Prabu yang merasa sangat kesal pada keadaan. "Oh, malah aku nggak tahu. Tapi, bodo amatlah. Belum penting juga buat aku," kata Kenanga kemudian memasukkan kembali kartu itu pada dompet khusus berisi semua kartu. Prabu akhirnya membayar semua belanjaan milik sang adik. Tidak apa-apa, semua dilakukan demi kebahagiaan Kenanga. Prabu akan melakukan apa pun demi melihat senyum sang adik. Selesai berbelanja, Prabu menyetir mobil menuju tempat tujuan. Sementara itu, Siska kali ini berada di salah satu kafe di kawasan sebuah hotel bintang lima. Hatinya tidak menentu saat ini. Kedatangan Marni justru membuat moodnya sangat buruk. Marni dan juga semua keluarga Sabian sepertinya memantau kehidupan Siska. "Udah lama nunggu?" Siska terkejut dengan pertanyaan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD