9. Mood Swing

1111 Words
Wajah Siska kali ini suram. Ia batal keluar rumah dan harus menghadapi mertuanya itu. Bukan benci, hanya saja Marni semakin hari mulai berani mengatur ini dan itu pada Siska. Padahal kedua orang tua Siska tidak pernah seperti itu dan memberikan kebebasan pada putri semata wayang mereka. "Kamu nggak ada inisiatif bikinkan kami minuman gitu?" Marni kembali menyindir Siska yang kini sedang memainkan ponselnya itu. "Mbok!" Siska berteriak kencang memanggil salah satu asisten rumah tangganya dan membuat Marni terkejut. "Tolong buatkan minum untuk mertua saya," lanjut Siska setelah salah satu asisten rumah tangganya datang. "Baik, Non." Semua asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini sangat patuh pada Siska. Marni dan sang suami hanya saling pandang saja. Mereka tidak terbiasa dengan sikap bossy. Bila di rumah, semua orang akan bekerja sama untuk mengerjakan pekerjaan. Hal itu tidak biasa dilakukan oleh Siska. Lima belas menit menunggu akhirnya salah satu asisten itu datang sambil membawa dua cangkir minuman dan makanan ringan. Sesekali, kedua mertua Siska melirik ke arah menantu mereka yang sibuk dengan benda pipih yang harganya sangat fantastis itu. Entah siapa yang membelikan, yang pasti ponsel mahal itu sudah biasa dimiliki oleh Siska. Marni dan sang suami tidak bisa memprotesnya. "Kamu lagi sibuk?" tanya Marni sambil meminum teh hangat yang disuguhkan oleh asisten rumah tangga itu. "Ya." Siska tidak mau menjelaskan detail apa yang sedang dilakukannya. Toh, jika dijelaskan Marni tidak akan paham. Mereka hanya orang udik yang kebetulan punya anak bernama Sabian. Sabian dengan segala kecerdasaannya mampu membawa perusahaan Bayu Megantara menjadi unggul. Megantara Grup kini menempati urutan lima besar sebagai perusahaan maju. "Maaf, saya tetap harus keluar. Saya ada meeting dengan orang. Saya buka endors untuk beberapa perusahaan," pamit Siska sambil beranjak dari duduknya. "Kamu sudah izin Sabian?" Entah pertanyaan atau Marni hanya sekadar basa-basi saja. "Izin? Apa itu sangat penting? Mas Bian tahu semua kegiatanku. Aku juga ingin bekerja. Aku tidak mau hanya berpangku tangan menerima uang dari Mas Bian. Takutnya nanti ada omongan aku hanya ongkang-ongkang terima uang bulanan dari suami. Padahal Mas Bian kerja di kantor papaku," sindir Siska lalu gegas meninggalkan ruang tamu. Marni dan sang suami hanya bisa mengelus d**a. Menantunya memang dari kalangan atas, tetapi bukan berarti tidak tahu tata krama. Siska bahkan sejak awal seperti membuat dinding tinggi antara mereka semua. Status sosial mereka dan juga latar belakang mereka sangatlah berbeda. Sementara itu, matahari sudah mulai condong. Kota Yogyakarta tidak sepanas siang tadi. Syafira kini sudah selesai mendandani calon adik iparnya--Kenanga. Gadis itu tampak sangat cantik setelah model rambutnya diubah menjadi gaya anak muda kekinian. "Nggi, kamu masih lapar, nggak?" Syafira berusaha membuat Kenanga nyaman. "Nggak. Aku udah kenyang banget, Mbak. Baru kali ini aku menikmati makanan. Di rumah aku jarang makan," kata Kenanga yang sebenarnya kelepasan berbicara pada calon kakak iparnya. Syafira mengembuskan napas perlahan. Ia mengumpulkan banyak keberanian untuk berbicara pada Kenanga. Bukan hal mudah membahas masa lalu adik Prabu itu. Kenanga jelas menjadi korban yang terluka paling dalam. "Nggi, bukan mau menggurui, ya. Kita sharing aja." Kenanga menoleh ke arah Syafira yang saat ini berusaha menetralkan mimik wajahnya. "Aku nggak nyalahin kamu yang lagi sedih. Tapi, hidup akan terus berjalan. Kamu harus bangkit, Nggi. Dia yang menyakitimu begitu dalam kini sudah bahagia. Kamu juga bisa lebih bahagia dari dia," kata Syafira yang sengaja tidak menyebut nama Sabiantama. Kenanga terhenyak mendengar nasihat itu. Benarkah hanya dirinya yang terpuruk? Sebahagia apa Sabiantama saat ini? Sial, lagi-lagi air mata Kenanga turun tanpa permisi membasahi pipi tirus itu. "Maaf, Nggi, kalo luka lama kamu harus kembali terbuka. Aku salah, tapi, aku nggak mau kamu terus terpuruk. Usia kamu masih sangat muda. Masih banyak hal baru yang harus kamu coba. Perlahan saja untuk kembali bangkit, tidak perlu seratus persen mendadak sembuh. Berdamailah dengan rasa sakit kamu karena dia yang telah meninggalkanmu," kata Syafira sambil memegang erat kedua tangan Kenanga. Perlakuan Syafira layaknya kakak perempuan pada sang adik. Kenanga tidak pernah mendapatkan nasihat seperti itu sebelumnya. Nasihat yang hanya akan diberikan oleh sesama perempuan. Kananga tidak punya perempuan yang dekat dengannya. Suasana mendadak hening dan Kenanga kini sedang mengusap air matanya. Ia belum sepenuhnya bisa menerima ucapan Syafira. Berat, jangankan untuk bangkit, bangun dari mimpi buruk saja sangatlah sulit bagi Kenanga. Embusan angin sore membuat suasana semakin haru. "Nggi, ada kalanya kita harus merasakan sakit, jatuh, dan terpuruk agar kita tahu bagaimana bahagia bersama orang yang tepat. Mungkin, dia tidak sadar dan tidak akan tahu tulusnya perasaan cinta kamu. Tapi, aku rasa bukan dia orang yang tepat untuk mendapatkan cinta kamu." Lagi dan lagi, ucapan Syafira membuat Kenanga terhenyak. Jika dipikir, seharusnya Kenanga sadar sejak awal. Hubungan percintaan mereka sejak awal sudah ada benteng yang sangat tinggi; perbedaan agama. Meski pada akhirnya Kenanga memilih menjadi mualaf, tetapi bukan karena Sabian. Hidayah untuk Kenanga sangat mahal karena datang dari hati dan tidak ada yang memaksa. "Akan aku coba, Mbak. Tapi, nggak janji berapa lama aku bisa bangkit dari keterpurukan ini. Rasanya sangat berat untuk kembali seperti dulu," kata Kenanga yang kini sangat pesimis. "Tidak harus sekarang atau besok, Nggi. Kamu hanya perlu tenang dan berpikirlah positif. Satu hal, bersyukurlah pada akhirnya hubungan kamu dan dia kandas. Kamu tahu 'kan, wanita tua itu haus akan harta. Kalo saja mereka tahu kamu adalah Kenanga Batara, maka mereka akan berpikiran lain. Mereka akan memanfaatkan harta Papa kamu nantinya," kata Syafira yang memang paham posisi Sabiantama di perusahaan milik Bayu Megantara. Kenanga tidak pernah lagi berpikir positif sejak kejadian diputuskan sepihak oleh Sabian. Ia tidak pernah mau mengambil hikmah dari kejadian buruk itu. Nasihat Syafira menyadarkan semua kebodohan Kenanga. Ia jelas merasa rugi. "Aku nggak sampai sekarang nggak paham apa salahku sama Bian. Dia sama sekali tidak memutuskan hubungan ketika sudah menikah. Ucapannya kala itu sangat menyakitiku. Aku merasa seolah tidak ada harganya. Lantas hubunganku dengan dia setelah sekian tahun, bahkan hampir tujuh tahun itu apa sama sekali tidak ada harganya?" Bukan pertanyaan yang keluar dari mulut Kenanga melainkan sebuah keluh kesah. "Aku seperti tidak ada harganya di mata dia," kata Kenanga berusaha menekan kembali rasa sakit yang mendadak muncul. "Kamu nggak salah di sini. Bukan membela siapa yang benar dan salah. Setiap hubungan pasti jika tidak langgeng, ya, akan berhenti di tengah jalan. Katakan tidak berjodoh. Hanya saja, tanamkan pada hati dan pikiran kamu, dia bukan orang yang tepat. Pasti akan ada laki-laki baik yang menerima kamu. Ingat, kamu itu sangat cantik. Jadi, mulai sekarang, perbaiki diri. Lakukan hal positif, misal bangun pagi, lalu salat Subuh. Kamu bisa olah raga setelah itu. Satu hal yang penting, jangan dzalim sama tubuh kamu. Tubuh kamu perlu makanan yang cukup agar selalu sehat." Kenanga diam seribu bahasa, karena sadar kesalahan besar yang dilakukannya. "Astaga! Kalian di sini rupanya," kata seseorang membuat mereka menoleh seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD