Part 3

990 Words
Irna menuju ke ruangan kerjanya, gadis itu meletakkan tasnya di sana. Pandangan matanya mengarah kepada jam dinding, juga arlojinya sendiri. Dia takut waktu tiba-tiba berhenti mendadak seperti sebelumnya. Rian masih sibuk di laboratorium. Dia belum datang ke rumah sakit pagi itu. Dan karena itulah Evan Herlands memiliki kesempatan untuk mengganggu Irna. "Lima belas menit lagi aku harus menangani operasi! Kenapa harus dia?! Kenapa harus dia yang menjadi asistenku!" Teriak Irna sambil meremas berkas di atas meja kerjanya dengan penuh amarah. Akhirnya dia membawa berkas itu ke ruangan Rian, tapi Rian masih belum datang. "Halo? Rian? Kamu di mana?" Irna menghubungi Rian melalui ponselnya. Gadis itu masih berada di dalam ruangan Rian. "Aku? Tentu saja di laboratorium." Jawab Rian dari seberang, pria itu sedang membuat ramuan untuk memulihkan kondisi tubuh Irna kembali. Agar wanita itu tidak terancam bahaya, karena pasti akan semakin banyak musuh yang datang untuk mengintai wanita dengan darah pemikat itu lantaran kondisinya sedang lemah saat ini. "Ah, kenapa Evan Herlands menyusul ke Perancis? Bukankah dia kamu tugaskan untuk menjadi pengawas di rumah sakit London?" Tanyanya masih melalui ponselnya. Irna menggigit ujung kuku ibu jarinya, dia panik sekali karena harus bersama pria itu untuk melakukan operasi pagi ini. Irna sudah tidak sabar ingin menyingkirkan Evan dari sekitarnya. "Tunggu aku di sana, semuanya akan baik-baik saja. Jangan cemas okay?" Rian terkejut mendengar ucapan Irna, pria itu segera melepas jasnya dan juga peralatan lainnya yang dia gunakan di dalam laboratorium. Bergegas menuju ke rumah sakit. Dua puluh menit kemudian dia sampai di parkiran lantai bawah rumah sakitnya. Pria itu berlari menuju ke dalam ruangan kerjanya. Saat dia sampai di sana dia mendapati Irna tidak berada di sana. Dia lupa Irna ada jadwal menangani operasi hari ini. Dia segera menghubungi Ramon, sekretaris pribadinya. "Di mana Irna?" Tanyanya saat sekretarisnya itu tiba di dalam ruangannya. "Di dalam ruangan operasi presdir." Jawabnya sambil menyerahkan berkas padanya. Rian melihat berkas tersebut, melalui kacamata berbingkai warna cokelat tua miliknya. Tatapan matanya tertuju pada siapa yang menjadi asisten Irna hari itu. Evan Herlands. Rian tersentak melihat nama tersebut tertulis di sana. "Dia memanipulasi daftar asisten!" Harusnya Rista yang tertulis pada jadwal hari itu. Sama dengan jadwal yang tertera di dinding ruangan kerjanya. Rian hanya bisa menunggu proses operasi tersebut selesai dan berjalan lancar seperti biasanya. Irna berada di dalam ruangan operasi bersama Evan Herlands. Mereka berdiri berseberangan, beberapa kali Evan menggesek punggung Irna dengan lengannya karena harus mengambil sesuatu di belakang Irna. Dan membetulkan peralatan pasien. Biasanya untuk operasi bedah jantung Irna ditemani lebih dari dua asisten. Tapi pagi ini hanya dia dan Evan Herlands yang berada di sana. Karena pria itu sangat cekatan, dan sudah lihai dalam bidangnya tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Cukup dalam waktu satu jam saja operasi tersebut sudah selesai. "Untung saja dia tidak menggunakan naluri gilanya! Dan tidak membahayakan nyawa pasien." Bisik Irna dalam hatinya. Hanya menggeser karena lewat di belakang punggungnya itu masih bisa dia maklumi. Tapi tidak untuk menghentikan waktu tiba-tiba di saat genting. Setelah selesai menangani operasi tersebut. Irna meminta dokter lain untuk mengawasi pasiennya, dirinya sendiri pergi ke ruang ganti untuk berganti pakaian. Dia was-was menoleh ke belakang punggungnya. Jika sewaktu-waktu Evan tiba-tiba masuk ke sana. Untungnya dia tidak mendapati gangguan tersebut. Dia sendiri juga tidak tahu kemana perginya pria m***m itu setelah menangani operasi bersamanya. "Kenapa aku malah mencarinya? Ah sudahlah biarkan saja! Harusnya aku bersyukur pria itu menghilang dari pandangan mataku." Gumam Irna dengan suara pelan. Mulai mengancingkan bajunya kembali. Lalu keluar dari dalam ruang ganti tersebut. Saat sampai di luar pintu, seseorang muncul dari samping loker. Evan Herlands, pria itu tersenyum sambil menjilat jari tengahnya. Tatapan matanya liar mengerikan. "Kamu tidak apa-apa kan?" Rian menyentuh tangannya dan membalikkan tubuhnya mencari sesuatu, jika saja wanita pujaannya itu terluka. "Aku baik-baik saja Rian." Ucapnya sambil tersenyum lalu memeluk pria di depannya itu. Seperti sudah lama sekali tidak bertemu. Rian memang jarang standby di rumah sakit, jika dibandingkan dengan berada di laboratorium. Pria itu ingin sekali membuat tubuh Irna lekas pulih seperti sebelumnya. Dan itu membuat dirinya berbulan-bulan berada di laboratoriumnya. Ramonlah yang bertugas menyerahkan berkas-berkasnya saat membutuhkan tanda tangan darinya. Pria itu selalu menjadi tangan kanannya untuk mengurus segala keperluan baik di rumah sakit atau di kantor laboratorium miliknya. "Apakah masih ada jadwal operasi lagi setelah ini?" Tanya Rian pada mantan istrinya itu. Irna hanya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan darinya. "Kamu belum makan?" Tanya Irna padanya. "Belum, aku terlalu sibuk hari ini." Ucapnya pada Irna lalu menarik tangan gadis itu menuju ke kantin rumah sakit untuk menemaninya makan. Evan Herlands mengikutinya dengan santai dari belakang punggung mereka berdua. Melihat wajah cerah mereka berdua. Irna dan Rian memilih duduk berhadapan. Dan tanpa permisi Evan tiba-tiba menarik kursi ikut duduk di sebelah Irna. "Kamu! Kamu ngapain duduk di sini?" Tanya Irna terkejut. "Kenapa memangnya? Kenapa aku tidak boleh duduk di sini? Bukankah harusnya dokter Kaila berterima kasih padaku? Karena telah membantu dokter untuk menyelesaikan operasi dengan sukses?" Tersenyum renyah sambil mengangkat kedua alisnya menatap Irna dengan tatapan kagum. Rian telah mengambil pesanannya lalu meletakkan di atas meja, dia tidak terkejut melihat Evan berada di sana. "Kamu tidak ingin makan juga?" Tanya Rian santai pada Evan Herlands, pria tercerdas dan juga genius di rumah sakit London miliknya. Rian menyerahkan sementara rumah sakit di sana untuk ditangani pria itu. Mengabaikan sikap mesumnya. Rian masih tidak tahu jika Evan bukanlah manusia biasa. Bisa saja pria itu adalah seorang penyihir atau vampir sejenis dengan dirinya. Hanya Irna yang tahu, hanya gadis itu yang mengetahui sosok pria itu yang sesungguhnya. Hanya Irna, itupun karena pria itu yang menunjukkan dirinya sendiri padanya. Seusai sarapan Rian kembali bergegas ke laboratorium, meninggalkan Irna sendirian di sana. Irna sebenarnya tidak ingin ditinggal sendiri di rumah sakit besar tersebut. Apalagi bersama pria tidak normal seperti Evan. Irna ingin sekali mengatakan yang sebenarnya, tapi rupanya Evan tahu. Pria itu tidak memberikan kesempatan pada dirinya sama sekali, untuk bisa berbicara berdua dengan Rian Aditama. Sama sekali tidak memberikan kesempatan sedikitpun!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD