Part 2

1006 Words
Percakapan Irna dengan Fredian berlangsung selama tiga puluh menit, dia melepaskan pelukannya dari pinggang istrinya. Tak jauh dari mobil Irna seseorang berdiri, dia tersenyum melihat kejadian panas di sebelah mobil Irna pagi ini. Dia menggigit ujung jari telunjuknya, menikmati pemandangan barusan. Dalam fantasinya itu bukan Fredian, tapi adalah dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang sedang bergumul bersama Irna. "Aku akan berangkat dulu." Pamitnya sudah berada di dalam mobilnya bersiap meluncur ke rumah sakit untuk bekerja. Fredian sebetulnya masih enggan melepaskan istri cantiknya ke rumah sakit. Dia ingin Irna tetap berada di sisinya siang dan malam, walaupun itu mustahil. Karena Irna tidak akan mau tinggal diam saja di rumah seperti kebanyakan wanita biasa. Gelora hatinya untuk tetap berkarir tanpa harus bergantung pada Fredian atau siapapun menjadi hal utama tujuannya sejak awal hingga kini. Sekitar lima belas menit perjalanan gadis itu telah sampai di depan rumah sakit dua belas lantai, diparkirnya mobil berwarna merah miliknya di area parkiran yang ada di lantai bawah. Irna mengedarkan pandangannya ke sekeliling parkiran, dilihatnya masih senggang. Dia merasa aneh, karena di jam-jam sekarang harusnya lantai parkiran itu sudah penuh. Apalagi dia sudah terlambat selama tiga puluh menit. Wanita itu keluar dari dalam mobilnya, memakai kacamata hitam miliknya. Saat menutup pintu mobil dia dikejutkan oleh seseorang yang sudah berdiri di belakang punggungnya. "Selamat pagi nona Kaila Elzana?" Sapanya dengan sopan sambil tersenyum. "Pria ini, kenapa dia ikut pindah ke Perancis? Bukankah aku sudah meminta Rian untuk tidak mengatakan padanya jika kita sudah pindah dari London!" Gerutunya dalam hati, pura-pura tersenyum garing memamerkan gigi putihnya pada pria muda di depannya. Evan Herlands, salah satu pegawai yang selalu aktif membantunya di meja operasi. Kini mengikutinya pergi ke Perancis. Demi memenuhi hasrat fantasinya! Pria itu berjalan di sebelahnya, tanpa canggung seperti biasanya. Irna melangkah lebih cepat, hampir mirip seperti berlari kecil. Evan Herlands tersenyum renyah melihat Kaila Elzana, dokter favoritnya itu mencoba menjauhinya. Setahu Evan Herlands Irna hanyalah seorang gadis yang tinggal sendiri, tapi selalu bermain cinta dengan dua pria yaitu Fredian dan juga Rian yang sekarang menjadi presdir di rumah sakit tempatnya bekerja. Dia menyimpulkan itu karena mereka berdua turut serta pergi ke Perancis demi Kaila Elzana. Irna menekan tombol pintu lift, dia berharap Evan tidak ikut masuk ke dalam sana. Karena jarak jalan mereka sudah agak jauh. Tapi sialnya, pintu lift tak kunjung terbuka setelah sepuluh menit menunggu. "Kenapa lama sekali? Apa mungkin liftnya rusak." Gumam Irna sambil terus memencet tombol yang ada di samping lift tersebut. Tepat saat Evan Herlands berdiri di sebelahnya barulah pintu lift tersebut mau terbuka. Irna mengerjapkan matanya berkali-kali dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan matanya saat ini. Mereka berdua masuk ke dalam lift. Irna tidak ingin membuka percakapan dengan pria gila di sebelahnya itu. Gadis itu sengaja berdiri di belakang punggungnya. Dia tahu Evan Herlands sedang menatap wajahnya dengan tatapan liar melalui pantulan dirinya pada dinding lift tersebut. Irna membuang muka ke samping, sambil cemberut. Membuat Evan tersenyum manis karena semakin gemas menatap wajah cantik di belakang punggungnya. Irna sudah kehilangan kekuatannya, dia tidak tahu kapan energi vampirnya akan pulih kembali. Itulah alasannya dia pergi ke Perancis waktu itu. Dia menunggu tubuhnya pulih, sementara ini dia sengaja menghindari para musuh. Dan hal itu juga yang membuat Rian dan Fredian mengikutinya ke Perancis demi menjaga wanita itu. "Kenapa pintunya tidak terbuka? Kenapa lama sekali?" Gumamnya bingung. Irna melihat ke arah jam yang membingkai pergelangan tangannya. Jarumnya terhenti, anehnya angka di lift juga ikut terhenti. Jadi selama tadi lift tersebut tidak berjalan, tidak naik tapi berhenti. Kini pandangan matanya beralih menatap ke arah Evan, pria itu tersenyum melangkah mundur selangkah, lalu menoleh pada wajah pucat di sebelahnya. Irna tidak bisa merubah situasi sekarang, atau ber-teleportasi. Kekuatan di dalam tubuhnya terasa mati. Irna diam seribu bahasa melihat wajah liar di sebelahnya. Tatapan matanya seolah sedang melucuti pakaian Irna. Irna hanya bisa mendengus, menghela nafas panjang dan berat. "Kenapa kamu menghentikan waktu di sekitarku?" Tanyanya ketika Evan menghembuskan nafasnya di dekat pipinya. "Kenapa? Tentu saja karena aku ingin bersama dokter dalam waktu sedikit lebih lama." Bisiknya sambil meraba pinggang Irna. Irna mencengkeram erat pergelangan tangan Evan. Dia tidak mau pria itu sembarangan lagi menyentuh tubuhnya. "Apa kamu lupa kamu adalah asistenku?" Tanyanya sambil menghempaskan pergelangan tangan pria itu dari genggaman tangannya. Irna masih tidak tahu siapa Evan sebenarnya. Seseorang yang bisa membuat waktu terhenti tentunya bukan pria biasa. "Ctik!" Pria itu menjentikkan jemari tangannya, dan tubuh Irna terasa terkunci. Tidak bisa bergerak sama sekali. "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku Evan!" Teriakannya tidak bisa di dengar olehnya, Irna bisa membuka bibirnya tapi tidak bisa mengeluarkan suara. "Aku sudah lama menantikan ini Dokter Kaila. Apa lagi?" "Tenang saja, hari ini aku hanya akan menyentuhnya. Tapi mungkin lain hari aku akan masuk ke sini." Menyentuh sisi bawah tubuhnya. "Pria brengseek! Kamu hanya menyentuh patung! Aku tidak akan pernah mau melayani mu! Kamu hanyalah pria pengecut yang mengambil kesempatan di balik kelemahan seseorang!" "Ctik!" Pria itu menjentikkan jemari tangannya, dan waktu kembali berjalan seperti semula. Irna hampir jatuh terhuyung-huyung akibat lantai lift tiba-tiba mulai bergerak naik. Evan Herlands tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menangkap pinggangnya. Sengaja membuat suasana romantis antara mereka berdua. "Kamu pasti tahu siapa aku! Jika tidak kamu tidak mungkin gila seperti ini!" Geram Irna sambil mendorong tubuh Evan menjauh dari tubuhnya. "Tentu saja, aroma tubuh dari wanita berdarah pemikat seperti dirimu terasa berbeda dan sangat nikmat! Dan juga membuatku ingin sekali untuk mencicipinya suatu hari." Ujarnya santai sambil berlalu mendahuluinya keluar dari dalam lift, saat pintu telah terbuka. "Sialan! Kenapa jadi begini! Kekuatanku belum kembali! Tapi musuh sudah berada di depan mataku! Keterlaluan sekali!" Geram Irna sambil meremas kepalan jemari tangannya. Dia tidak tahu sampai kapan kekuatannya akan terus tersegel. Dia sangat membutuhkan kekuatan di saat-saat seperti ini. Melihat dirinya sendiri ditindas sesuka hati membuatnya begitu geram. Gadis itu melangkah keluar lift sambil menghentakkan kakinya dengan gemas, dan kesal. Dia tidak mungkin bisa melawan Evan Herlands sekarang! Tidak bisa! Irna berharap kekuatan bunga kristal es di dalam dirinya kembali aktif. Dia ingin sekali menggunakan kekuatan itu untuk melumpuhkan jiwa para musuh-musuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD