Rion tak menjawab. Perawat itu pun membawanya ke ruangan untuk mendapatkan penanganan medis. Walaupun belum terlihat lukanya, jelas tampak bias tak sehat di raut wajahnya yang pucat.
Rion berbaring tanpa kata, lalu ponsel di sakunya berdering. Panggilan dari mamanya. Tak ingin menjawab, dia menon-aktifkan ponsel-nya.
“Saya habis kecelakaan kemarin, tolong bantuannya, Sus.”
“Baik, Mas.”
Setidaknya Rion bisa beristirahat lebih tenang di sini. Menjauh dari para anggota keluarga yang egois, di mana mereka selalu mengikatnya saat membutuhkan bantuan, tapi bahkan suara dan pendapatnya pun tak pernah mau mereka dengarkan.
*
Naina memandang ponsel dengan cemas. Sudah sesore ini, abangnya itu masih tak bisa dihubungi. Dia mengingat saat kemeja Rion penuh dengan noda darah. Pagi tadi pun, Rion terlihat pucat. Kemarahannya pada Rion itu menepis rasa khawatir Naina padanya.
“Ini kenapa Bang Rion nggak mau ngangkat telepon, sih? Biasanya kalau aku ngambek, dia bujuk aku sampai luluh. Ini kenapa jadi dia yang marah, sih?!”
Naina menggerutu, kesal. Dia melemparkan boneka teddy ke atas meja hingga menjatuhkan foto Rion di sana. Tak lama, Ranti masuk untuk melihat putrinya itu. Memperhatikannya dan apakah dia telah meminum obat rutinnya.
“Minggu ini, nggak jalan sama Yudha?” tanya Ranti, duduk di tepi kasur.
“Chat aku nggak dibalas, Ma. Apa dia beneran marah, ya?” Naina tampak menyesal.
Sejak kejadian kemarin, Yudha tak sekali pun memberi respon meski membaca pesan Naina. Teleponnya pun ditolak. Menciptakan awan mendung di hati Naina.
“Ini semua karena si Rion. Dia apa-apaan, sih?! Apa dia nggak senang kalau kamu dekat sama cowok? Apa dia iri karena kamu nantinya duluan nikah dan dia dilangkahi?” gerutu Ranti, meremas guling di sisinya.
“Ma, nggak gitu. Itu mungkin Bang Rion cuma lagi sensitif aja. Kan, ini pertama kalinya aku jauh dari dia, nyuekin dan nggak dengerin dia.”
“Ya tapi tetap aja, dia nggak boleh otoriter gitu. Gimana kalau nanti Yudha ngeluh sama papanya dan rencana pernikahan kalian batal?”
“Itu-” Naina sedikit ragu, memegang tangan mamanya dengan perasaan gugup, tak menentu. “Apa beneran, hubungan aku sama Yudha udah dibicarakan lebih jauh ke papanya, Ma?”
Ranti tersenyum, lalu mengecup sekilas puncak kepala putri tersayangnya itu. “Udah, dong! Dua hari lagi, kita akan undang Yudha dan keluarganya untuk makan malam, ya! Sekalian bahas tanggal pernikahan kalian.”
Kesedihan Naina mendadak hilang. Pernikahan. Jika sudah pada kesepakatan itu, mungkin masih ada kesempatan baginya dan Yudha kembali bersama.
“Beneran, Ma? Aku pikir dia bakalan ilfeel dan mutusin aku.”
“Nggak gitu.” Ranti tersenyum sambil mengusap pipi putrinya itu. “Tadi pagi papa udah nelepon Pak Wirya, dan beliau bilang, semua tergantung Yudha. Jadi selanjutnya papa telepon Yudha dan minta maaf sama dia soal kelakuan Rion yang mengacaukan pestanya. Dia nggak marah, kok, cuma masih mikir aja. Takut kalau nanti nikah, Rion masih suka ikut campur.”
“Kadang-kadang Bang Rion memang kelewat posesif. Sebel!” gerutu Naina.
Setelahnya, Ranti keluar kamar. Naina menarik napas dalam dan menghelanya lega. Berbaring kembali ke kasur, lalu menatap ponsel untuk mengirim chat lagi pada kekasihnya itu.
[Sayang, please. Maafin Bang Rion, ya! Dia memang gitu, sayang banget sama aku. Tapi nanti aku janji, dia nggak akan ikut campur lagi, ya! Memang dari kecil, dia selalu protektif dan ngikutin aku mulu. Kadang juga aku risih. Ya?!]
Naina harap-harap cemas, menanti Yudha membalas pesannya. Centang dua. Dua jam berlalu hingga hari gelap, pesan balasan akhirnya masuk.
[Jangan mau diatur-atur sama dia, Nai! Nanti gimana kalau kita udah nikah? Ya udah, sebagai ganti pestaku yang dirusak abang kamu, temui aku besok malam di Clara Hotel. Kita rayain berdua aja. Ya?]
Telanjur senang pesannya dibalas, Naina tak menyadari jebakan apa yang dilancarkan Yudha kali ini. Pesan masuk lagi singgah di WA-nya.
[Sebentar lagi kita akan menikah, papa kamu udah bilang, kan? Jadi, jangan takut atau canggung sama aku, ya! Sebentar lagi kamu akan jadi milikku, Cantik!]
Naina mulai kasmaran. Dia keluar kamar untuk menyampaikan kabar bahagia itu pada papa dan mamanya. Hari sudah gelap. Rion masih belum pulang dari kantor. Padahal ini hari minggu. Dia sengaja pergi hanya agar menenangkan pikiran dari masalah yang ditimbulkan.
“Pa-Ma, kayaknya Yudha beneran serius sama aku. Dia baik banget, ya!” kata Naina, menyendokkan nasi ke piringnya.
“Iya. Sopan juga kalau nelepon papa. Nggak tau, kenapa Rion keliatan hati-hati banget sama Yudha,” tandas Wisnu.
“Udah mama bilang, Rion itu mungkin nggak suka kalau Nai mulai dewasa dan punya sandaran baru. Padahal selama ini, kan, dia yang risih banget ditempelin sama Nai. Giliran Nai udah mau bebas, dia sibuk ngatur-ngatur,” keluh wanita berambut sebahu itu.
Makan malam dilanjutkan tanpa Rion. Wisnu melirik jam dinding, lalu menoleh ke pintu depan. “Padahal ini hari minggu, dia ngapain ke kantor, sih?”
“Biarin aja, lah, Pa! Biar dia merenung dan tau apa salahnya. Nggak seneng banget liat adeknya bahagia,” oceh Ranti.
Bertahun-tahun menempel dan mengikat kebebasan Rion, Naina justru melupakan semua itu karena telanjur kasmaran. Padahal dia tahu abangnya mengalami kecelakaan, tapi dia tak memberitahukan pada keluarganya.
‘Udahlah, paling cuma lecet doang. Tadi pagi dia juga masih bisa jalan, kan? Aku aja yang terlalu cemas. Iya! Aku, kan, lagi ngambek sama dia. Biar dia tau kalau dia udah harus mulai jaga jarak dariku. Nanti yang ada, Yudha nggak nyaman sama aku,’ gerutunya.
Haruskah ini semua salah Rion?
Di tempat berbeda, di rumah sakit, Rion masih berbaring di kasur. Lebam dan cedera pada sisi bahu dan pinggangnya sudah ditangani. Luka di lengannya juga sudah dijahit dan kini berbalut perban. Masih ada botol infus yang menggantung di sisi kasurnya.
Seorang perawat cantik itu berada di sofa. Dia membuka dompet yang ditemukan di saku jas pria ini.
“Orion Narendra Kharisma,” katanya, sambil membaca KTP itu. “Apa dia anak Pak Wisnu, pemilik Kharisma Advertising itu?”
“Bella!”
Seorang perawat lain masuk. Bella, begitu nama panggilannya. Terburu, Bella memasukkan kembali dompet itu dan merapikannya di punggung sofa.
“Itu kalau udah habis infusnya, pasien boleh pulang.”
“Tapi dia dari tadi tidur aja.”
“Udah waktunya makan malam.”
Petugas gizi itu mengantarkan makanan ke ruangan Rion. Jam makan malam sudah tiba. Bella berinisiatif mengambil tanggung jawab untuk perawatan pasien ini sejak siang tadi. Dia pun meletakkan piringan stainless steel itu ke atas meja.
Selanjutnya, Bella mendekati kasur, berniat membangunkan pasiennya ini.
“Bapak masih tidur? Udah lama banget!”
Rion mendengar suara perawat itu. Sebenarnya dia malas beraktifitas, hanya tak ingin melakukan apa pun. Demi dirinya sendiri, beristirahat dari kegaduhan di rumah dan aturan yang mengikatnya. Dia membuka mata, menatap Bella, intens.
“Bapak harus makan. Ini sudah waktunya jam makan malam.”
Perawat itu menekan tombol kasur untuk menaikkan bantalannya. Meja portable itu pun digeser untuk dihadapkan pada kasur Rion agar mudah meletakkan piring.
“Dimakan dulu. Kalau sekiranya Bapak sudah enakan, bisa pulang, kok. Tubuh Bapak cepat sekali stabilnya.”
“Apa saya terlihat setua itu?” tanya Rion, bernada dingin.
Bella terkejut, merasa tak enak hati dan bangkit dari kursi. “Eh, itu⎻”
“Kenapa panggil ‘bapak’ terus? Sebelumnya panggil ‘mas’.”
Tawa kecil dari bibir merah itu membuat da’da Rion berdebar. Cantik sekali. Perawat itu tersenyum, menggaruk tengkuknya karena malu.
“Maaf, tadi kurang sopan. Karena Bapak pasien, sekarang biar lebih sopan saja.”
Rion tak menjawab lagi. Menghadapi makanan rumah sakit ini, tentu dia sangat tak berselera.
‘Dih, makanan ini lagi. Enek banget, aku!’ gumamnya.
Seumur-umur, dia sudah mual dengan bau rumah sakit karena Naina yang berulang kali harus pengobatan atau sekadar check up. Pun terlalu sering mencicipi makanan lembek itu karena harus membantu Naina menghabiskan makanannya agat tak ditegur sang ibunda.
“Saya nggak mau makan ini. Bisa saya pesan siomay atau lontong sayur?”
Bella tersenyum keki. Dia berjalan ke sisi kiri untuk mengatur tekanan cairan infus pada pasien ini. “Apa kita perlu lakukan CT-Scan, Pak? Sepertinya kepala Bapak juga terbentur. Apa rumah sakit ini terlihat seperti warteg, sampai Bapak harus request makanan segala?”
Lelucon garing itu membuat kekeh Rion terdengar. Ah, kenapa pria ini sangat manis saat tertawa? Bella terpesona dengan paras tampan kebulean pria ini. Pun ditambah senyumnya yang manis, menampilkan deretan gigi putih dan lesung pipinya. Pelet sempurna, sampai Bella tak sengaja menyempitkan aliran infus hingga darah Rion tersedot dan naik ke atas.
“Argh!” ringis pria itu.
Tersadar, Bella segera memperbaiki kelalaiannya. Merasa tak enak karena hampir saja mencelakakan pasiennya ini.
“Maaf, Anda baik-baik saja?” tanya Bella, sedikit mendekat pada Rion.
Rion tak menjawab, mengalihkan wajahnya dari tatapan Bella karena dia pun merasa aneh dan canggung dengan perasaannya saat ini. Bella hanya tak mengerti bahwa pria tampan ini justru sangat jarang bicara dan bergaul dengan wanita hanya karena harus mengurusi adiknya. Rion mendorong meja portable itu untuk berbaring sempurna memunggunginya.
“Saya nggak mau makan, nanti saja. Jauhkan itu!”
“Tapi-”
Dering ponsel terdengar di saku jas Rion yang berada di sofa.
“Kenapa hp saya bunyi?” tanya Rion. “Tadi sudah saya non-aktifkan!”
Bella tak enak hati, lantas mendekati jas itu untuk mengambil ponsel sang pasien. Diserahkannya ponsel pada sang pemilik. Kontak papanya muncul di layar.
“Tadinya saya mau nelepon orang rumah Bapak, biar datang ke sini untuk menjaga Bapak. Tapi saya lupa nelepon pas mau ganti pakaian Bapak.”
Rion menautkan alis, lalu menyadari seragam pasien yang dia kenakan, apakah wanita ini yang menggantinya? Memikirkannya saja dia malu, padahal itu hanya salah satu tugas seorang perawat. Wajahnya bersemu merah.
Ditolaknya panggilan itu. Lalu memeriksa pesan dan riwayat panggilan yang lain. Ada banyak telepon masuk dan pesan.
[Kamu di mana? Kenapa jam segini belum pulang? Kamu keluyuran? Hari ini ke kantor cuma alasan, kan? Kamu nongkrong di mana? Ngambek? Nggak perlu pulang sekalian!]
Pesan dari mamanya itu membuat kepalanya pusing. Bella terkejut saat Rion melemparkan ponsel itu ke dinding dengan keras. Bisa dipastikan layar itu retak dan entah jika masih berfungsi.
“Pak, kenapa?”
“Apa saya harus pulang setelah infus habis?” tanya Rion.
“Iya, Pak. Bapak udah sehat. Itu luka juga sudah membaik. Apa orang rumah mencari Bapak?”
Rion menggerutu kesal. Bella justru tersenyum melihat sikap kekanakan pria ini. Dia menarik selimut tinggi-tinggi sebatas leher, ingin kembali tidur.
“Bisa tambahkan jam menginap saya menjadi 72 jam? Saya belum mau pulang.”
Bella menggaruk dahinya, pasiennya ini berulah lagi. Dia pun berjalan ke sisi jendela, mengutip ponsel yang dibanting pria tampan ini. “Kali ini, apa Anda menganggap rumah sakit ini komputer warnet? Atau hotel? Seenaknya saja menambah durasi jam menginap?”
“Bisa turuti aja?” gerutu Rion. “Saya bayar uang sewa kamarnya seminggu full. Saya cuma nggak mau pulang. Ribet banget! Izin nginep di sini, sih! Bawel! Nanti saya kasih kamu uang tips.”
“Bapak beneran bikin saya kayak room service, ya!”
Tak ingin meladeni lagi, Rion tidur memunggungi perawat itu. Bella tersenyum tipis, menaikkan suhu penghangat ruangan karena di luar sedang turun hujan yang sangat deras.
‘Manis banget! Apa dia lagi berantem sama pacarnya? Imut banget ngambek gini,’ gumam Bella, lalu dia pergi.
Tengah malam, Rion terbangun dan merasa tak nyaman untuk tidur. Mungkin tadi Bella sudah melepas jarum infusnya. Bukan karena sakit, Rion menggeliat ke sana kemari karena perutnya terasa lapar.
‘Laper banget! Ini nunggu sampai pagi, apa bisa tahan?’
Segera dia duduk, menyingkap selimut. “Ah, pesan go-fud aja!”
Rion kembali melongo. Baru dia ingat ponsel-nya tadi tengah sekarat karena dilemparnya. Tak punya kendali lagi untuk mengisi perut.
Rion meringkuk untuk menahan lapar. Di depan pintu, Bella memperhatikan Rion dan merasa kasihan. Dia sudah memegang sekantong plastik makanan yang bisa disajikan untuk pria ini.
“Eh?”
Sebab lapar, hidung Rion menjadi lebih sensitif. Dia menoleh saat mencium aroma lezat itu. Bella duduk di samping kasurnya, menarik meja portable dan meletakkan bungkusan lontong sayur. Ada kantin sehat di rumah sakit yang menyediakan makanan 24 jam untuk para petugas medis jika harus ambil sift malam.
“Lapar, kan?”
Rion mengangguk cepat. Bella dengan sigap meletakkan mangkuk dan menuangkan lontong yang menggugah selera itu. Sejak tadi dia melihat Rion menarik ludah saking selera dan kelaparan.
“Aku jadi bandel gini, nggak tega sama kamunya. Makan!”
Rion menyantap dengan lahap. Bella bersyukur bisa membantu pria ini. Saat hendak pergi, Rion menarik tangannya. “Bisa tunggu di sini aja?”
Pria itu canggung saat memegang tangan Bella, lantas dilepaskannya. Perawat itu sudah tak memakai pakaian dinasnya, mungkin memang dia ingin pulang.
“Nggak bisa, Pak. Saya harus pulang sekarang. Ini hujan dari tadi deras banget. Kasian si bebi. Tadi siang aku ngasih stock susunya sedikit. Sampai adekku nyusul ke sini bawa si bebi karena nggak ngerti bikin susunya.”
Rion terhenyak. Dia berhenti menyendokkan suapan lontong itu. Spontan, Bella menyilangkan tangannya karena tiba-tiba, arah pandangan Rion menuju ke dadanya.
“Ngapain, ih?!”
Rion melengos, seperti ada jarum kecil yang menusuk jantungnya. Tatapannya tajam, lalu jarinya mengisyaratkan agar Bella cepat pergi meninggalkan ruangan.
“Selamat istirahat, Pak!”
Bella keluar dari ruang rawat itu, masih heran kenapa tiba-tiba Rion menjadi dingin. Perawat itu keluar, disambut seorang pria muda yang membawa kucing di tangannya. Dia menyembunyikan kucing itu dalam jaket tebal.
“Kamu nekat banget, ih! Nggak boleh bawa kucing ke rumah sakit,” gerutu Bella.
“Ya abisnya, aku nggak tau bikin susunya si bebi. Dari tadi dia heboh mulu, nyakarin aku!”
Segera, Bella berlari membawa kucing kesayangannya itu meninggalkan lorong rumah sakit. Sementara itu, Rion mendengkus kesal di kasur. Selesai sudah menyantap lontong sayur, hatinya masih merasa kesal.
‘Udah punya baby, ternyata. Padahal pengen pedekate. Eh tapi, apa dia punya suami? Atau udah janda? Cantik banget,’ gerutu batinnya.