Tanpa ponsel, Rion menciptakan dunianya sendiri. Dia menjadikan rumah sakit sebagai tempat berlibur terbaik yang dia jalani. Sejak tadi, Bella memperhatikan Rion berjalan keluar dari ruangannya, tersenyum sambil tetap mendorong tiang infusnya.
“Itu pasti diplesternya lagi,” kata Bella.
Rion menarik napas panjang, menghela lewat mulutnya. Mengirup dalam-dalam aroma kebebasan. Setiap bertemu pasien di sekitar, dia tersenyum dan mengangguk sopan. Duduk di kursi, lalu pergi ke taman. Entah berapa kali Bella melihat Rion mondar-mandir di lorong.
“Bel, itu beneran Pak Rion nggak CT-Scan? Atau MRI sekalian? Mana tau otaknya agak geser,” canda perawat di samping Bella.
Bella tertawa kecil, memeriksa laporan medis dari pasien yang harus dia tangani pagi ini. “Dia kayak baru keluar dari gua. Lucu banget.”
“Apaan, sih? Si Ganteng dari Gua Hantu?”
“Ya liat aja, deh! Yang ada tuh, orang suntuk kalau di rumah sakit, dia malah seneng. Malah minta pindah ke kamar yang fasilitasnya lebih bagus lagi.”
Satu jam setelah senggang dengan tugasnya, Bella menghampiri ruang rawat Rion. Pria itu tengah bersantai, berbaring sambil mengangkat satu kaki dan menyilangkannya sambil menonton kartun di pagi itu.
Bella menghampiri pria itu, berdiri tak jauh dari kasur. “Everything’s oke, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?”
Rion tak menjawab, segera memposisikan berbaring lebih sopan. Teringat dirinya akan kejadian malam itu. Meski dadanya berdebar-debar karena perawat ini, mana mungkin dia merebut istri orang? Begitulah batinnya.
“Kamu senggang? Kalau iya, duduk di sini aja. Aku bayar jam kerja kamu hari ini,” pinta Rion, mengecilkan volume televisi.
“Apa ada yang ingin Bapak bicarakan?”
“Rion! Just call me Rion. Nggak usah manggil bapak juga. Aku belum nikah.”
Bella terdiam. ‘Apa hubungannya, manggil bapak sama status pernikahan?’
Rion hanya ingin menarik pembicaraan tentang status wanita ini. Dari mana harus memulainya? Berpikir bahwa yang dimaksud Bella kemarin adalah anaknya, Rion masih mengira-ngira benar adanya wanita ini adalah seorang ibu.
“Kamu kalau kerja gini, siapa yang jagain baby kamu?”
“Pertanyaannya random banget, Pak,” kekeh Bella karena berpikir, pria ini memulai topik dengan menanyakan kucingnya itu.
“Ngapain tanya si bebi kalau memang mau tanya-tanya tentang saya?” lanjutnya lagi.
Rion mengalihkan wajah, menyadari niatnya mengajak berkenalan mungkin terlihat sekali. Perawat itu duduk di sofa sebelah, menyamankan punggung untuk diskusi manis ini.
“Bapak mau tau tentang saya, kan? Nama saya Bella Callista, umur 28 tahun. Profesi saya seperti yang Bapak lihat. Ada lagi yang ingin Bapak tanyakan?”
Rion bungkam. Bukan itu yang ingin dia ketahui, melainkan status Bella agar dia bisa melangkah maju atau mungkin melupakan mimpi untuk mendekati wanita ini.
“Makasih untuk dua hari ini, Bel. Nanti beneran, kok, saya bakal ngasih uang tips buat kamu. Buat bantu-bantu beli s**u sama popoknya.”
Bella terkejut, lalu beranjak mendekati kasur pria ini. “s**u buat siapa, Pak? Trus, popok?”
“Kalau kamu sampe kerja gini padahal masih ada baby yang kamu tinggalin di rumah, sampe harus nyetok ASI segala, itu pasti ada tiga alasan.”
Bella melongo, terbodoh. Luar biasa imajinasi pria ini, pikirnya.
“Pertama, pengen ngejar karir. Kedua, finansial keluarga kamu nggak mencukupi sampai harus bantu suami kamu kerja, atau mungkin yang ketiga, kamu single parent.”
Bella merasa kepalanya sangat gatal, ingin menggaruk dan mengacak sanggul serta topi perawat itu karena pria ini benar-benar terlihat sangat aneh. Bella menjauh lebih dulu, menaikkan satu alisnya sambil menatap wajah cuek Rion.
‘Beneran, deh, otaknya rada geser. Ini dia bisa ngambil kesimpulan gitu, mikirnya gimana, sih? Kelewat pinter atau polos banget?’ batin Bella.
Tak ada sahutan lagi, Bella masih memikirkan pertanyaan Rion. Sebentar dia mengambil ponsel di atas meja yang telah sekarat itu. Rion tak menyalakannya hanya untuk mencari tau apakah masih berfungsi atau tidak.
“Eh tunggu!”
Tersadar, Bella segera berbalik. Akhirnya dia menemukan benang penghubung dari miskomunikasi mereka.
“Tadi bapak tanya baby, maksudnya apa? Saya punya anak?”
Rion mengangguk, mengambil apel di atas meja dan pisau kecil itu. “Ya iya. Memangnya anak siapa lagi? Kan, kemarin kamu nggak mau nemenin saya karena harus pulang buat nyusuin baby kamu.”
“Allahu akbar!”
Bella terkekeh geli saat mulai mengerti pria ini. Tawa cantiknya itu menghipnotis Rion. Terburu dia kembali melihat irisan kulit itu saat ujung jarinya terkena sabetan kecil.
“Kamu gila, ya? Ketawa tiba-tiba!”
“Yang gila itu Bapak! Aku dari kemarin mikir, Bapak ini beneran kayak alien. Nggak normal banget. Nggak ngerti, aku. Ternyata bener. Masa Bapak mikir aku netekin si bebi, sih!”
Bella lebih mendekat pada Rion. “Bebi itu nama kucingku, Pak. Ya Allah, jahat banget. Masih gadis gini, masa nyusuin anak meong, sih!”
Angin segar meski wajah Rion membias malu. Rion bersyukur saat mendengar status perawat cantik ini. Hening mengisi detik dengan detak cinta. Lantas, Bella terjatuh ke atas d**a Rion saat pria itu menarik lengannya untuk lebih dekat. Wanita itu meneguk ludah, hanya berhadapan beberapa inchi saja dari hidung dan bibir pria tampan ini.
“Ini drama apa lagi, Pak?”
“Kamu mau nikah sama saya?”
“Eh?”
Sontak, Bella menjauh saat Rion mengajukan pertanyaan tanpa di-filter itu. Rion tampak gugup, sementara Bella terhenyuh melihat bias kejujuran pria itu. Tanpa manipulasi. Mungkin karena Rion tak banyak bergaul dengan berbagai macam karakter orang, dirinya terbentuk memiliki pribadi yang transparan dan apa adanya dia. Pun sebab dia harus menjadi sosok sempurna sebagai pelindung sang adik.
“Saya nggak tau caranya melamar kamu. Apa gini aja cukup? Seenggaknya kamu harus tau kalau saya tertarik sama kamu. Selanjutnya apa?”
Bella terburu kabur sebab pria ini begitu antusias. Rion pun turun dari kasur untuk mengejar Bella. Tiang infus itu sampai jatuh ke lantai. Terburu dia melepas plester bohongan itu agar bisa memburu targetnya kali ini. Gebetan baru setelah tiga tahun pasca meninggalnya Fira.
“Bella! Tunggu!”
Bella berlari dari kejaran Rion, melintasi lorong karena takut dengan lamaran dadakan pria itu. Napas Bella naik-turun, lalu berlari menuju taman rumah sakit.
“Tuh orang kenapa, sih? Walaupun ganteng, tajir, ya kaget, lah, langsung dilamar gitu.”
Bella duduk di kursi taman, melonggarkan rasa panik dan lelahnya. Tak sadar, Rion sudah menyusul dan duduk di sampingnya.
“Ya ampun!” Bella menepuk dadanya, terkejut.
“Ya kenapa kamu lari? Memangnya ada yang salah dengan pertanyaan saya? Apa kamu udah punya pacar?”
“Ya nggak gitu, Pak! Bapak juga nyeremin banget. Kenal nggak sampe 48 jam, tapi udah ngajak saya nikah aja.”
“Kamu nggak mau?”
Bella terhenti. Heran kenapa kepala dan lidahnya tak bisa langsung memberi jawaban penolakan. ‘Gue gila kalo nolak cowok tajir dan ganteng gini. Tapi masa iya, cinlok di rumah sakit kurang dari dua hari? Cinlok, wajar! Lah, ini? Malah diajak merit.’
“Ngelamun apaan, sih?” gerutu Rion. “Jadi harusnya gimana? Ini mumpung otak saya agak normal sedikit makanya saya jadi egois dan memikirkan kebahagiaan saya sendiri.”
Perlahan, kecemasan Bella menghilang, tak mengerti apa maksud permintaan pria tadi. Rion beranjak dari duduknya, menatap Bella dengan serius.
Egois hanyalah caranya untuk bahagia. Sebab selama ini, Keluarga Kharisma menyetirnya untuk semua hal di dalam hidupnya. Dia tak ingat kapan terakhir kali melakukan apa yang dia inginkan. Semua demi Naina. Meski sangat menyayangi adiknya itu, tapi ada kalanya dia jengah dengan semua aturan yang tak bisa dia langgar.
“Rumah sakit ini dunia kamu, makanya aku coba untuk tetap ada di sini. Tapi saat aku pulang nanti, bahkan hati dan diriku bukan milikku lagi.”
Bella bungkam.
“Ya udah! Lupain aja yang tadi. Anggap aja kamu benar, otakku agak terbentur karena kecelakaan itu.”
Bella tergugu, menatap punggung Rion yang berlalu dari hadapannya. Jemarinya bermain, lalu menyentuh dadanya yang berdebar kencang.
‘Apa karena dia setulus dan sejujur itu, makanya aku jadi tersanjung gini? Padahal dari kemarin, aku masih nganggap dia cowok nggak normal. Tapi tadi kenapa dia tiba-tiba jadi mellow, sih?’ batin Bella.
Rion kembali berbaring di kamarnya. Sejak dibanting kemarin, Rion belum memeriksa apakah ponsel itu masih menyala. Masih ragu haruskah dia menghubungi atau membaca nada interogasi yang masuk ke ponsel-nya.
‘Nggak, Rion! Nikmati kebebasan lo! Satu hari lagi aja. Nggak, atau lo bisa liburan seminggu. Setelah itu, terserah lo mau gimana caranya bebas dari mereka.’
Rion menunda untuk menghubungi orang rumah. Walau dia khawatir pada Naina, tetap saja dia ingin egois kali ini saja.
“Semoga Nai baik-baik aja, ya! Abang istirahat satu hari lagi. Jangan bandel juga, jangan genit!”
Di pintu ruangan, Rion berbaring nyaman sambil menutup rapat badannya dengan selimut. Membuka mata sejenak, dia teringat terakhir kali pertengkaran dengan Naina.
‘Nai nggak kangen abang? Abang bukan superman, Nai. Bisa sakit juga. Abang kangen. Semoga Nai terus hati-hati di sana, ya!’
Bella tak ingin mengganggu lagi. Duduk di kursi panjang, membuka aplikasi ponsel-nya. Berselancar di peramban berbentuk globe dan rubah itu, lalu mencari informasi.
Foto Rion muncul di layar ketika dia mengetikkan nama perusahaan advertising terkenal itu.
"Beneran, anaknya Pak Wisnu. Tapi ini ... kenapa nggak ada satu pun yang jenguk, ya? Apa memang nggak mau dia kabarin? Atau karena HP-nya rusak itu?"
Bella terburu bangkit saat melihat suster kepala itu kembali ke stasiun perawat untuk mendisiplinkan mereka.
'Sial! Karena si ganteng itu, aku bisa kena tegur lagi, nih!' gumam Bella, lalu lari terburu ke bangsal Mawar.
*
"Aku khawatir sama Bang Rion, Ma!"
Naina duduk di sofa tepat di samping mamanya. Meski sudah berdandan cantik karena harus menemui Yudha, dia tetap tak tenang memikirkan keberadaan Rion.
"Tapi HP-nya beneran nggak aktif, Ma. Rion nggak pernah segininya," sambung Wisnu.
Ranti memutar bola mata, malas. Dia menyamankan kembali pundaknya sambil menyesapi kopi.
"Udahlah, Pa! Dia juga bukan anak kecil. Kalau perlu, nggak usah pulang, sekalian!"
"Mama, ih! Jangan gitu!" Naina menggerutu kesal.
"Lagian dia, sih! Mama masih sebel aja sama kelakuan dia. Gimana kalau sampai Yudha batalin rencana pernikahan Naina?"
Keluarga Kharisma sudah termakan bujuk rayu Yudha dan siasat Ferry.
Setelah berpamitan, Naina pergi untuk menemui Yudha di Clara Hotel seperti yang dipesankan pria itu. Naina hanya berkata pada orangtuanya bahwa dia diajak jalan.
Kedua orangtua itu tak ambil pusing karena berharap menggelar resepsi pernikahan putrinya akan segera terlaksana.
Mobil berhenti di depan pelataran. Seorang pria juga tengah turun dari taksi dengan membawa koper hitam di tangannya.
"Bang Ferry?" sapa Naina, sungkan.
Meski mengenal, tapi Naina memang jarang menegur pria ini. Apalagi setelah kematian Fira. Namun, pria tampan itu menyambut ramah sapaan Naina.
"Nai? Kenapa ada di sini?"
"Aku mau ketemu temen. Abang ngapain ke hotel? Kupikir Abang masih di Jepang."
Senyum getir Ferry terurai. Naina merasa tak enak hati dan ikut berjalan beriringan dengan Ferry untuk masuk ke hotel tersebut.
"Bicara sebentar yuk, Nai!"
Mereka duduk di sudut. Senyum manis pria ini membuat Naina berpikir bahwa mungkin dia telah menghapus ingatan lama tentang kematian sang adik.