Tak membuang waktu lagi, Rion menginjak gas untuk menuju lokasi di mana Naina berada sekarang. Tak mengetahui siapa yang mengirimkan foto itu, hati Rion terbakar hebat melihat adiknya dalam bahaya.
Tiba di persimpangan jalan komplek, Rion terkejut saat beberapa rombongan sepeda motornya mengejarnya.
"Apaan, sih?"
Salah seorang pria berkendara itu adalah Ferry. Mereka melakukan teror kebut-kebutan hingga Rion hilang kendali dengan stirnya.
Mengarahkan laju motor mereka memepet mobil Rion, hingga akhirnya, Rion membanting stir ke kiri hingga menghantam keras dinding beton di sana.
Gelak Ferry terdengar. Tak puas dengan itu, Ferry mendekati sisi kemudi, lalu memecahkan kaca dengan tongkat besi itu sampai sebagiannya hancur. Rion berlindung pada sisi lengannya, setidaknya hanya lengannya saja yang terluka. Lantas, sepeda motor itu meraung meninggalkan lokasi kejadian.
Perlahan, Rion membuka mata. Setidaknya benturan hanya berada di bagian kap kiri mobilnya. Dia melepas jas dark brown itu sebab merasa gerah. Beberapa bagian badannya terasa nyeri sebab benturan. Jantungnya masih berdegup kencang karena teror mengerikan itu.
"Naina."
Hanya Naina yang dia pikirkan. Adiknya itu justru tak sadar bahwa Yudha bukanlah pria yang baik. Bar, alkohol, dan para wanita seksi ini, itu saja sudah menunjukkan bahwa dunia pria itu sangat berbeda dari Naina.
"Ini!"
Bartender itu menyajikan long island ice tea yang memabukkan itu pada Naina. Garis bibir Yudha tertarik, berharap gadis ini mabuk dan dia bebas menyentuhnya.
"Cheers!"
Saat Nina menyesap pelan minuman itu, dahinya tertaut. Segera mengasingkan minuman yang terasa getir dan aneh di lidahnya.
"Aku nggak mau, Yud. Apaan, sih, ini?" kesalnya, lalu memandang kembali bartender. "Aku minta jus aja! Jangan pake alkohol!"
Yudha menggerutu, lalu menatap ponsel saat terdengar pesan masuk. Nama Ferry muncul di layar.
[Lakukan sebisanya saja. Aku cuma mau Naina mulai nggak nyaman dengan keberadaan Rion. Pelan-pelan dia harus kehilangan adiknya ini. Selanjutnya, biar itu jadi urusanku.]
Yudha menyimpan kembali ponsel-nya, lalu meletakkan lengannya di bahu Naina.
"Makasih, ya, udah dateng. Tapi by the way, kapan kamu siap nikah?"
Pertanyaan yang membuat Naina melayang. Menikah. Itu adalah angan terbesarnya. Wajahnya memerah walau dia tak mabuk. Pria itu mengusap lembut kepalanya, berusaha sopan agar menarik perhatian Naina lagi.
Sementara itu, Rion akhirnya tiba di depan bar. Tak peduli dengan badannya yang terasa remuk, dia harus menyelamatkan adiknya dari cengkraman Yudha.
"Nai, kamu di mana?" gumamnya sambil terus menghubungi Naina.
Tak ada respon sebab Naina mengabaikan panggilannya. Rion berkeliling untuk mencari Naina di antara pengunjung bar. Tak peduli dengan lukanya, Rion hanya ingin menyelamatkan Naina.
"Nai?"
Akhirnya dia menemukan adiknya itu di depan meja bar. Dia bahkan tak percaya bahwa itu adiknya. Tampilan yang dikirimkan melalui foto, kini tampak nyata di depannya. Keduanya begitu dekat, Yudha bersiap mencium bibir Naina itu ketika memegang ujung dagunya.
Rion segera mendekati untuk memisahkan Nina dari Yudha yang bertindak kurang ajar itu. Naina terkejut melihat abangnya menyusulnya sampai ke tempat ini.
“Bang?”
Rion melayangkan tinju untuk melepaskan geram kemarahan. Yudha menatap sinis, membalas serupa hingga terjadi keributan. Naina takut abangnya itu dikeroyok karena dialah yang datang membuat onar.
“Bang, udah!” pekik Naina, melerai. Lantas, dia menarik lengan Yudha sebelum membungkuk melindungi Rion. “Please, Yudh. Maafin Bang Rion.”
Yudha meninggalkan mereka, kembali melanjutkan pestanya. Naina menatap kesal pada Rion yang ikut campur dan mempermalukannya di hadapan Yudha. Dia segera pergi, disusul Rion meninggalkan ruangan pesta itu.
“Nai!” panggil Rion, lantas menahan pegangan Naina. “Kamu mau pulang dengan pakaian begini?”
Naina masih sangat marah pada Rion. Kakaknya itu pasti kesal melihat tampilannya sekarang. Akan tetapi, Naina masih memikirkan acara malam minggunya yang gagal sebab ulah Rion. Pria itu melepas kemejanya untuk dipakaikan pada Naina. Gadis itu pun diseret keluar untuk menghentikan taksi.
“Nai.”
Tak ada sahutan saat Rion memegang lengannya untuk mengajaknya bicara. Si supir itu pun mungkin hanya heran melihat pria ini tanpa bajunya, lalu perempuan ini yang seperti merajuk pada teman kencannya.
“Kenapa malah kamu yang marah? Ini harusnya abang yang marah dulu sama kamu. Apa itu? Kenapa pakaian kamu begini?”
Naina tak menggubris, masih menatap ke arah luar lewat jendela. “Aku pikir Abang terlalu mencampuri urusanku. Jangan bicara padaku!”
Apa serius Naina tengah marah saat ini? Sesampainya di rumah, Rion tetap menahan tangannya lebih dulu di ruang tengah. Si kecilnya ini tengah ngambek. Tak ada siapa pun, mungkin kedua orangtuanya sudah masuk ke kamar.
“Kamu marah kenapa? Liat! Dia itu punya niat jahat sama kamu! Pakaian kamu sampai jadi gini! Kamu ini sadar nggak, sih?”
“Apaan, sih! Selama ini aku nyaman dengan perhatiaan Abang. Tapi kali ini, Abang di luar batasan. Tolong! Jangan campuri lagi urusanku!”
Naina menghentak tangannya agar terlepas dari Rion. Terburu dia masuk ke kamar dan enggan bicara pada abangnya itu lagi.
Sebenarnya Rion saja masih lemas karena terburu meninggalkan mobilnya yang tadi ringsek karena kecelakaan. Dia masuk ke kamar dan duduk di tepi kasur, mengambil kotak obat di laci untuk digunakan mengobati lukanya. Saat menatap cermin, dia melihat luka gores yang cukup lebar di sisi lengannya. Darah tadi mengering sudah dan bersyukur, tak banyak luka yang dia dapat.
“Nai, kenapa kamu jadi gini? Keras kepala banget.”
Rion mengambil waktu untuk menutup luka itu dengan kapas dan betadine. Tentu setelah membersihkan dengan air dan ethanol.
Di tempat yang berbeda, Naina masih menggerutu kesal dengan sikap Rion yang dianggap otoriter. Hari pertama berkencan di malam minggu itu batal. Dia sangat malu pada kekasihnya.
“Apaan, sih, Bang Rion? Ini gimana kalau Yudha sampai marah sama aku?”
Naina hanya memikirkan bagaimana tanggapan Yudha padanya. Dia mengambil ponsel untuk menelepon kekasihnya itu. Nihil, tak diangkat. Pesan chat menjadi tujuannya.
[Yudh, maafin Bang Rion, ya! Kamu nggak marah, kan?]
Meskipun centang dua, tak ada balasan dari Yudha. Naina hendak melepas kemeja yang dipakaikan Rion tadi padanya. Dia terkejut saat melihat lengan sebelah kanan dipenuhi noda darah dan sedikit robek.
“Ini Bang Rion kenapa?”
Awalnya khawatir, hendak pergi menuju kamar Rion. Namun, gengsi mematahkan perhatiannya. Naina tak peduli, masuk saja ke toilet untuk membersihkan diri.
Keesokan harinya, di ruang makan, Rion pun mengadu tentang kejadian malam itu. Sejak tadi, Naina memperhatikan apa mungkin benar ada luka di balik kemeja abangnya ini. Luka yang mungkin bersarang di tubuhnya sebab kecelakaan.
“Pokoknya aku nggak setuju Nai jalan lagi sama si Yudha itu. Dia pengaruh buruk buat Nai, Pa!” kekeuh Rion.
“Jangan ngatur, kamu! Tanya anaknya, dong! Dia mau nurut atau enggak. Jangan berlebihan ikut campur!” sela Ranti, menghardik putranya.
Naina tak bicara. Saat Rion memegang tangannya, segera ditepis. Dia sedang mengambek pada kakaknya ini.
“Pokoknya kalau aku sampai putus sama Yudha, aku nggak akan maafin abang!”
Naina sangat keras kepala. DItinggalkannya saja suasana meja makan itu. Rion seorang diri yang menentang hubungan Yudha dan Naina, kedua orangtua ini tampak cuek karena mungkin memang, hubungan Naina dan Yudha sudah sampai pada tahap persetujuan kedua keluarga.
“Sudahlah, Rion! Mungkin ini saatnya kamu untuk nggak mencampuri urusan adikmu. Dia sudah dewasa.”
Perkataan papanya juga enggan digubris, Rion pergi meninggalkan ruang makan untuk pergi saja ke kantor. Walau badannya masih sakit dan lemas karena kecelakaan itu, sikap Naina justru membuatnya lebih pusing.
*
Seharian di kantor, Rion tak fokus mengerjakan tugasnya. Sesekali dia melihat ponsel untuk menunggu balasan dari Naina. Adiknya itu benar marah padanya.
“Nai, kamu serius marah sama abang?”
Bekerja pun tak bersemangat. Rion memijat dahinya, lalu merasakan badannya menghangat karena tabrakan kemarin yang belum ditangani dengan benar. Ada banyak lebam yang tertinggal di badannya. Luka terbuka di lengannya itu pun hanya dibalut sederhana tanpa perawatan. Terasa mulai bengkak hingga susah digerakkan.
“Kayaknya aku harus ke rumah sakit.”
Rion memutuskan pergi ke rumah sakit, setidaknya dia harus menyembuhkan dirinya dulu.
Setibanya di sana, berjalan tertatih adalah hal yang bisa dia lakukan. Badannya terasa sakit, mungkin luka di lengannya juga mulai infeksi hingga membengkak.
Tepat ketika berjalan di lobi, Rion jatuh ke lantai. Seorang perawat mendekat, lalu menarik lengannya untuk bangkit.
Bias cantik dengan senyum khawatir itu menenangkan hati Rion sejenak.
"Mas baik-baik aja? Ada yang sakit?"