Malam itu, saat sedang duduk di depan meja rias sambil memakai serum dari produk skin care-nya, ponsel Naina berdering di atas meja. Chat masuk dari aplikasi hijau itu membiaskan senyum. Dari Yudha.
[Lagi apa, Nai? Besok ada waktu, nggak? Pengen ngobrol berdua. Apa aku harus izin Rion atau Pak Wisnu?]
Hati Naina berbunga-bunga. Urung memakai krim malam, dia langsung naik ke kasur, berbaring untuk menatap pesan itu. Diketiknya pesan balasan, lalu memegang dadanya yang berdebar kencang.
[Boleh. Di kantin kantor aja, ya! Nanti aku izin sama Bang Rion.]
Centang dua. Tak menunggu balasan, telepon masuk menghampirinya. Segera Naina menggeser ikon hijau itu untuk mengangkat panggilan.
“Nai, lagi apa? Boleh telepon, kan?” sahut Yudha dari dari seberang ponsel.
Naina tersenyum, lalu berkata, “Boleh, kok. Lagi senggang, ya? Tapi besok, memangnya nggak sibuk?”
“Ya kalau kerjaan, sih, ada aja. Cuma kita harus tau bagi waktu, kan? Cuma pengen ngobrol aja. Lagian aku baru pindah dari Jogja. Mau jalan-jalan, belum ada temen.”
Naina terkekeh pelan. Apakah itu rayuan? Tutur kata Yudha cukup sopan, mengundang hasrat Naina untuk terus bicara. Gadis 28 tahun ini tentulah wajar jika dia mendambakan seorang kekasih yang mencintainya. Pun ini sudah tepat di usia tepat dia mulai berpikir untuk menikah.
“Tapi ini, aku nelepon kamu, nggak ada yang marah, kan?”
Rayuan biasa seorang pria. Hanya saja, Naina yang tak familiar dengan aroma itu, justru merasa candu dengan pertanyaan-pertanyaan klise ala pendekatan seorang pria.
Apakah dia serius bertanya? Atau sekadar basa-basi. Nyatanya, Naina tenggelam sepenuhnya. Mungkin karena pria itu cukup tampan, sesuatu yang tak bisa dipungkiri sebab itulah kesan pertama yang dilihat.
“Yang marah? Bang Rion? Dia protektif banget, sih. Makanya akunya juga harus hati-hati.”
“Bukan yang itu, Nai. Ya ampun. Gemesin banget, sih, kamu. Bayangin wajah kamu ini pasti lucu banget. Polos gitu.”
Jantung Naina terus berdebar hingga merasa hampir lepas dari sarangnya. Alhasil, dia menggerak-gerakkan kaki, atau berguling-guling pada kasur untuk mengurangi debaran dan salah tingkahnya.
Di sisi pintu, Rion masih memperhatikan tingkah menggemaskan adiknya itu. Apakah dia norak? Tidak. Semua orang akan bisa menggila jika sedang kasmaran.
“Udah bucin banget. Gimana kalau nanti Yudha tau semuanya, trus dia mundur?”
Rion pun pergi ke ruang tengah di mana kedua orangtuanya sedang duduk santai di sana. Di masa tuanya ini, meski belum menyerahkan sepenuhnya kepemimpinan Kharisma Advertising, Wisnu lebih sering di rumah dan beristirahat. Dia mengambil duduk di sofa seberang kedua orangtuanya.
“Pa, itu kayaknya Nai beneran suka sama Yudha. Baru ketemu tadi, udah melehoy dia. Bucin banget,” tandas Rion, was-was.
“Yudha mana, Pa?” tanya Ranti setelah menyecapi teh hangat yang tersaji, kemudian meletakkan pada tatakan di atas meja.
“Yudha Arteza, anak bungsu Pak Wiryawan, Ma. Masih ingat?”
“Oh. Dia udah di sini, Pa? Dulu masih kecil banget pas mereka pindah ke Jogja. Nai aja baru umur setahun.”
Keduanya masih bicara santai, seakan mengingat lalu. Tentu dia tak mengetahui teman ayahnya itu. Dari antusias mereka, bisa dilihat bahwa keduanya senang jika ada hubungan baru yang terjalin nantinya.
“Kenapa Papa nggak bilang kalau anak Pak Wirya yang itu belum merit, sih? Kita bisa jodohkan sama Nai,” ujar Ranti, bersemangat.
“Ya, kan, udah lama juga lost contact. Dia kayaknya marah waktu papa ngajak dia ikut invest di perusahaan bodong waktu itu. Sama-sama ketipu dan bangkrut jadinya. Dua puluh delapan tahun nggak saling sapa. Padahal dulu muda, sohib banget.”
Bias wajah Wisnu sangat bahagia. Rion tak menyela, memperhatikan saja serial televisi sampai keduanya selesai dengan cengkerama mereka.
“Nanti papa coba hubungi Pak Wirya, tanya apa beliau mau besanan sama kita.”
Rion terkejut, menegakkan duduknya seolah tak menyangka, ayahnya secepat ini mengambil keputusan. “Pa, apaan, sih? Kita juga belum tau gimana anaknya, kan! Ini udah tiga tahun, aku nggak mau asal-asalan kayak kejadian lalu. Kasian si Nai.”
Ranti menatap tak suka dengan tegur Rion atas masa depan Naina. “Apa sekarang kita punya pilihan? Yang penting kita bilang soal keadaan Nai, dia mau apa nggak. Lagian, takut apa? Keluarganya udah kami kenal dengan baik dulunya.”
“Ma! Udah hampir tiga puluh tahun lost contact, kan?” bantah Rion.
“Dan kamu merasa berhak untuk masa depan adikmu?”
Tak ingin menyahut lagi sikap dingin mamanya, Rion pergi meninggalkan ruang tengah. Meski kedua orangtuanya ini terlihat yakin dengan niat perjodohan itu, Rion merasa aneh dengan firasatnya.
Dia kembali ke kamar Naina. Adiknya itu masih bercengkrama dengan ponsel.
‘Apa dia cowok yang baik? Apa dia nggak akan nolak? Atau pun kalau menerima, apa dia akan serius jalani itu?’
Dia merasa takut dan cemas karena adiknya yang polos itu terlalu bebas menerima orang baru yang akan masuk untuk memulai hubungan dengannya.
“Nai!”
Panggilan Rion menarik atensi Naina untuk duduk dari posisi berbaringnya. Melihat wajah serius abangnya itu, Naina pun mengurai maaf untuk mengakhiri pembicaraan.
“Nanti aku chat, ya!”
Naina meletakkan ponsel, menyisakan sedikit ruang pada sisi kasur agar Rion duduk di dekatnya.
“Kenapa, Bang?”
“Itu kamu beneran serius sama si Yudha, Nai?”
“Dari awal Nai nggak pernah main-main untuk cari pasangan, kan?”
Naina tersenyum, memegang tangan Rion untuk memudarkan cemasnya. “Nai selalu serius membuka hati. Tapi mereka aja yang nggak bisa terima Nai. Nai nggak mau jadi rendah diri cuma karena penyakit ini.”
Rion terhenyak.
“Nai punya hak yang sama untuk bahagia dan mencintai. Juga menikah. Karena itu Nai udah siap memulainya lagi.”
Naina begitu bersemangat, seolah yakin bahwa perasaannya ini benar. Rion bungkam, haruskah dia meyakini hati sang adik?
*
Naina sangat kasmaran untuk janji temu dengan Yudha Arteza
Sebelum jam makan siang, dia sudah sampai lebih dulu ke kantin kantor. Kali ini dia tak mengabari Rion akan datang. Hanya menunggu sampai pria tampan itu mendekati duduknya.
“Mau makan apa?” tanya Yudha.
“Apa aja, samain. Udah kelar kerjaannya?”
“Udah, kok,” kata Yudha, mengusap kepala Naina hingga gadis itu terhenyak.
Yudha memesan makan siang untuk dinikmati berdua. Naina terlihat santun, menjaga image agar pria ini tertarik padanya.
“Tadi papa kamu nelepon, tanya sama papaku, mereka mau besanan, nggak?” tanya Yudha, tersenyum kecil.
Wajah Naina memerah. Dia harus jawab apa? Sepertinya benar ada agenda khusus untuk kedatangan Yudha dari Jogja.
“Aku, sih, nggak nolak, ya. Kamunya juga cantik. Dijalani aja dulu.”
Rayuan gombal terus dilancarkan. Hati Naina lumer dengan wajah memerah. Akan tetapi, dia teringat untuk mengatakan kondisi sebenarnya agar Yudha tak ditipu sebelum memulai hubungan. Tepat seperti kejadian Agus yang lalu.
“Oh iya, aku sebenarnya sejak kecil, aku-”
“Kamu sakit?” sela Yudha, enteng.
Naina tertegun, belum berekspresi melihat bias santai Yudha.
“Papa kamu udah cerita soal penyakit asma kamu. Kupikir nggak masalah, sih, wong sugih gini, kan? Masih bisa ditangani, kan? Diobati terus? Kalau hati udah nyantol, mau bilang apa?”
Apakah pria ini baru saja menyatakan cinta? Naina terharu hingga menunduk malu, mengeratkan jemarinya di sisi lutut. Tak ada suara lagi sampai mereka menyelesaikan makan siangnya.
*
“Tadi kata Mbak Rika, kamu datang ke kantor. Kenapa nggak nemuin abang?” tanya Rion.
Naina hanya berdendang kecil, melafalkan lirik lagu sambil mencari pakaian dari lemarinya setelah dia membersihkan diri di sore itu.
“Nai!”
Rion menarik tangannya, memandang kesal pada adiknya itu. Lantas, Naina melepaskan pegangannya, hendak menenangkan.
“Yudha udah tau soal penyakit Nai, dan dia nggak keberatan, Bang. Papa juga udah bicara sama orangtuanya Yudha.”
Gadis itu memeluk bahunya erat, menyampaikan kebahagiaan yang membuncah di dadanya. “Adikmu ini akan mulai dewasa sebentar lagi. Udah pacaran juga sama Yudha. Tanggung jawab Bang Rion udah mulai berkurang sekarang.”
Rion tak ingin merusak kebahagiaan sang adik. Tapi jika kedua keluarga sudah mulai mengizinkan untuk menerima Yudha, bisakah dia menolak? Rion tersenyum getir, mengusap kepala Naina.
“Jangan dewasa dulu! Abang nggak mau lepasin Nai secepat ini.”
“Nai udah 28 tahun, Bang.”
“Tau, kok! Pokoknya jangan terlalu mandiri. Pokoknya apa-apa tetap harus bilang sama abang.”
Sungguh protektif. Naina tak bisa membantah lagi.
Tak hanya hari itu, hari-hari berikutnya, Naina mulai berjarak dengan Rion. Sering dia menghampiri kantor hanya untuk bertemu dengan Yudha, lalu kembali di sore hari tanpa sedikit pun membalas pesan Rion.
Saat Rion mengeluh akan sikap Naina yang mulai bebas, mamanya justru menentang sikapnya yang dinilai terlalu posesif. Naina pulang selepas senja, dan langsung menghadapi kekesalan kakaknya.
“Kalau adik kamu dikekepin gini terus, gimana dia bisa berkembang?! Jangan lebay, lah! Toh, dia cuma kencan aja,” bela Ranti, lalu membawa pergi Naina dari interogasi Rion.
Rion terhenyak, menggaruk sisi dahinya sebab bingung dengan tindakan yang diambil mamanya. Dia menoleh pada papanya yang terlihat cuek, hanya menyesap kopi sambil menonton berita malam.
“Mama apaan, sih, Pa? Aku, kan, khawatir kalau Nai kambuh kalau sering-sering pergi, kecapean gitu. Malah si Yudha itu perginya naik motor, Nai bisa sakit kalau sampai malem.”
“Jangan berlebihan, Rion! Yudha juga udah izin papa. Jaga batasanmu! Kamu memang bertugas menjaganya, tapi bukan mencampuri privasinya.”
Kepala Rion berdenyut sebab pusing dengan tingkah kedua orangtuanya ini. Dia pergi, masuk ke kamar dan membanting punggungnya di kasur. Perasaannya tak lega meski terus menenangkan diri.
‘Setelah semua ini, bahkan hidupku terikat sama Nai, gimana bisa mama bilang kalau aku berlebihan dan terlalu mencampuri urusannya? Yudha baik? Seyakin itu? Sekalipun bukan tentang dia, gimana kalau Nai-nya yang sakit saat aku nggak ada di samping dia?’ gumamnya.
Mengalah, pasrah. Bukan hanya karena kedua orangtuanya yang memang sejak dulu terfokus pada Naina, Rion juga seperti tak punya suara di rumahnya sendiri.
*
[Jam 7, ya! Mau aku jemput, nggak? Ini hari ulangtahunku. Aku mau kenalin pacar cantikku ke temen-temenku.]
Pesan itu masuk di ponsel-nya. Naina tersenyum. Ini weekend pertamanya memliki seorang kekasih. Yudha mengajaknya berkencan di sabtu malam ini.
[Nggak, deh, aku sendiri aja. Mau diem-diem perginya, nanti susah kalau minta izin sama Bang Rion. Dia lebih galak dari mama-papaku.]
Naina mencari pakaian di lemari. Dress lengan panjang berbahan satin maxmara jingga itu sangat cantik ketika dipadankan dengan rok plisket hitam. Sepatu flatshoes putih berada di ujung kakinya. Seharian ini dia melihat tutorial Tube untuk berdandan lebih maksimal.
Selesai.
Naina pergi meminta izin pada mama dan papanya dulu, lalu pergi diantarkan supir ke sebuah tempat yang dijanjikan. Lima menit berlalu, mobil itu berhenti di sebuah club malam.
“Beneran ke sini, Non?” tanya supir, ragu.
“Yudha bilang, Cassandra Music and Bar. Kayaknya beneran ini.”
“Non mau mabok, ya?”
“Nggak, Pak. Cuma acara ulang tahun temen.”
Naina sangat keras kepala, meminta supirnya itu untuk pulang saja. Dia pun menghubungi Yudha agar segera keluar menemuinya. Tentu ini pertama kalinya dia datang ke dunia hiburan malam seperti ini.
“Maaf. Telat, ya?”
Yudha belum bicara ketika menyambutnya. Wajahnya terlihat kecewa melihat tampilan Naina. Padahal gadis itu yakin sudah memberikan yang terbaik untuk kekasihnya ini.
“Kenapa? Aku jelek, ya?”
Yudha menggeleng, lalu berkata, “Nggak. Cantik banget. Cuma kayaknya salah kostum, deh. Alim banget.”
“Ya jadi gimana? Apa aku pulang dulu?”
Yudha pun mengajak Naina untuk masuk ke dalam bar itu, menemui seorang wanita kenalannya. Naina bergidik ngeri melihat pakaiannya yang terlalu seksi.
“Aku nggak mau pakai begituan, Yud,” tolak Naina, sopan.
“Nai, sekali ini aja. Ini acara ulang tahunku. Malu banget aku ngenalin pakaian kamu yang begini. Terlalu formal, nggak cocok sama konsep tema pestaku.”
Beberapa kali menolak, Yudha bersikukuh. Bias wajah kecewanya itu membuat Naina akhirnya tak enak hati.
“Ya udah, terserah kamu aja.”
Yudha melenggang pergi, meninggalkan Naina tanpa sepatah kata. Takut karena mengecewakan pacarnya di hari ulangtahunnya, Naina mengalah. Dia mendekati wanita tadi dan setuju untuk mengganti pakaiannya.
“Serius, mau?” tanya wanita itu, meyakinkan lagi.
Naina menuruti. Dia pun diajak ke sebuah ruangan sudut untuk mengganti pakaiannya. Duduk di sofa, Naina mengamati wanita bernama Cassie itu mengambil setelan pakaian yang tergantung di dinding.
“Ini hari ulangtahun Yudha. Katanya, dia udah beli ini buat kamu. Biar couple, sesuai tema.”
Naina menautkan alis. Tema apa? Bahkan baju itu hanya menampilkan sedikit kain hingga terlihat sangat seksi dengan menampilkan tubuhnya.
“Ganti, gih!”
Cassie memberikan pakaian itu, meminta Naina menggantinya. Gadis ini memang sudah sangat cantik. Hanya sepotong dress berwarna maroon yang kontras dengan kulit pucatnya. Atasannya yang hanya tali, menampilkan belahan d**a rendah hingga terlihat menggoda. Naina sangat malu, menyilangkan tangannya dengan bias gugup.
“Wuh! Montok, ya!” puji Cassie, lalu dia menarik Naina untuk memperbaiki make up nya.
Sepuluh menit berlalu, Naina berjalan ragu ke arena pesta. Begitu bingung saat mata para lelaki melihat ke arahnya. Entah mana yang harus dia tutupi. Bagian dadanya, atau menurunkan sedikit dress-nya yang menampilkan paha mulusnya.
“Sayang!”
Yudha tampak antusias, memindai Naina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dandanan Naina pun dipoles lebih memesona hingga bibirnya lebih merah. Rambutnya yang tadi tergerai indah lurus, kini sedikit dibuat bergelombang hingga menampilkan kesan wanita dewasa dan seksi.
“Cantik banget, kamu! Makasih, Sayang!” puji Yudha, sambil memeluk erat gadis itu.
Naina tersipu dengan pujian itu. Yudha merasa dia atas angin. Dia menguntai senyum sinis saat menikmati bagaimana d**a itu lebih menempel padanya. Sangat berhasrat.
“Yuk, aku kenalin ke temen-temenku!”
Yudha mengajak Naina untuk berpesta. Musik keras itu membuat Yudha jejingkrakan dan Naina hanya seperti orang bodoh dan terus menurunkan dress-nya. Sesekali dia merasa risih saat tangan Yudha mengusap sisi pahanya.
“Kenapa, Sayang?” tanya Yudha, sedikit menarik Naina ke pelukannya.
“Nggak apa-apa. Aku duduk di sana aja, ya. Suaranya berisik banget, aku nggak nyaman.”
Yudha mengangguk, sedikit menarik dagu Naina hanya untuk mencium bibir merah delimanya. Terkejut dengan tangan Yudha yang tiba-tiba memegang dadanya, Naina menunduk hingga kecup pria itu tertahan. Hidungnya terjedut dahi Naina.
“Kamu ini, bikin kaget aja,” kata Yudha.
“Jangan gitu lagi,” bisik Naina, malu saat Yudha meraba dadanya.
“Maaf.”
Yudha menuntun Naina untuk duduk di kursi bar. Pria itu meminta minuman pada bartender.
“Long Island Ice Tea-nya, dua,” kata Yudha.
Naina menggeleng, memegang lengan kekasihnya itu. “Aku nggak mau mabuk, Yud.”
“Mabuk apa, Sayang? Jelas-jelas itu Ice Tea. Teh manis dingin. Nggak apa-apa, kan?”
Bartender itu tersenyum sinis saat Naina mengangguk cepat. Polos sekali. Mungkin itulah pikirannya. Long Island Ice Tea tak lain merupakan minuman cocktail berbahan cola yang memabukkan sebab dicampur vodka dan bahan pelengkap lainnya.
Di tempat berbeda, Rion kebingungan karena tak menemukan Naina di mana pun. Seharian di kantor, pulang pun Naina tak di rumah. Tak ada satu pun pesan dan telepon yang dibalas adiknya itu.
“Pa, ini Nai ke mana, sih?” gerutu Rion.
“Tadi diajak pergi sama Yudha,” jawab Wisnu.
“Malam-malam gini?”
“Ya ini, kan, malam minggu. Kamu mau apa? Jangan gangguin adikmu pacaran!” sinis Ranti, lalu berjalan meninggalkan Rion. Dia mendekati rak buku di sudut lemari.
“Jomblo ya, jomblo aja. Jangan bising gitu, gangguin adikmu pacaran. Sekali-sekali biarin dia bahagia aja. Jangan banyak ngatur, kamunya!” lanjut wanita itu lagi.
Bergegas Rion keluar. Dia baru saja sampai ke rumah dan belum mengganti jas kerjanya. Adiknya ini membuatnya cemas.
Saat hendak mendekati mobil, supir tadi mendekatinya. “Den, tadi saya nganterin Non Nai ke Cassandra Bar.”
Rion terkejut. Naina akan semakin dalam bahaya jika berada di tempat mengerikan itu.
“Makasih, Pak!”
Rion menghidupkan mesin mobil, lalu pesan masuk menghampiri aplikasi hijau di layar Dari nomor asing. Foto Naina dengan pakaian yang seksi sedang berada di samping Yudha yang memeluknya erat.
“Apa-apaan ini?”