Reiga Malik Al-Fathan

1469 Words
Pagi ini, Reiga sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Dia ingin menghindari ceramah Kakeknya. Sejak pembicaraan kemarin sore hingga makan malam sang Kakek terus saja membicarakan masalah pernikahan dan perjodohannya. Dalam perjalanan dia terus saja menguap. Tadi malam dia bahkan tidak bisa tidur mengingat ancaman sang Kakek yang ingin menjodohkannya jika dalam waktu tiga bulan belum menikah. Reiga melihat jam di tangannya, ternyata baru jam enam masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor. Kedai-kedai kopi pun masih banyak yang belum buka padahal dia ingin mampir beristirahat karena matanya makin lama terasa berat untuk menyetir. Beberapa saat kemudian dia menemukan Coffee Shop yang sudah buka di pagi hari. Saat mobil sudah terparkir Reiga segera turun dan masuk ke dalam. Memilih kursi sofa paling pojok, menghindari keramaian agar bisa istirahat sejenak. Sembari menunggu pesanannya Cappuccino latte dan Cheesecake. Saat pesanannya datang, ternyata Reiga sudah tertidur di sofa. Waiters yang takut terjadi apa-apa padanya kemudian memanggil managernya. "Pak, Pak, Bapak, bangun Pak ..." Reiga merasa ada yang memanggilnya tapi rasa kantuknya mengalahkan kesadarannya malah makin pulas. "Biarin aja dulu, Ka. Mungkin Bapaknya kecapekan. Kasihan kalau dipaksa bangun," ucap Hani sambil menggendong Embun. Hari ini Embun ikut dia bekerja karena Mbak Ika sedang di panti membantu acara Bunda Aisyah. "Tapi, Bapaknya gak papa ‘kan mbak? Duh ... Aku takut kalo kenapa-kenapa. Nanti kita yang disalahkan," jawab Raka dengan panik. "Udah gak papa, itu nafasnya aja teratur. Tandanya sedang tidur. Kamu bersihkan mejanya dulu, Ka. Nanti kalo udah bangun bawa lagi pesanannya." "Siap, Mbak." *** Entah sudah berapa lama Reiga tertidur di coffee shop. Perasaan tadi hanya ingin beristirahat sebentar. Melihat jam di dinding matanya langsung melotot. Ternyata sudah jam delapan, itu tandanya sudah dua jam dia tertidur. "Permisi, Pak. Ini air putih buat bapak." Raka datang membawakan minuman. "Maaf ya, Mas. Saya tadi ketiduran di sini." "Tidak apa-apa, Pak. Tadi saya mau bangunkan tapi tidak tega Bapak tidurnya nyenyak sekali." Reiga mengangguk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia malu sekali bisa-bisanya ketiduran di coffee shop. “Pesanan Bapak mau saya hidangkan sekarang atau gimana, Pak?” “Oh, iya. Maaf Mas misal dibungkus aja gak papa ya? Mau saya bawa ke kantor." “Tidak, apa-apa pak,” jawab Raka. “Terimakasih air putihnya mas," ucapnya, kemudian meminum air putih pemberian waiters di depannya. "Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya kembali ke dalam dulu mau menyiapkan pesanan." Setelah menghabiskan minumannya dan kesadarannya sudah kembali lagi Reiga memutuskan bergegas pergi ke kantor. Saat di kasir, Reiga merasakan ada sesuatu yang bergelayut di sebelah kakinya. "Yayah ... ndong, Yayah ndong!" Reiga melihat kebawah. Kaget melihat anak kecil memeluk kakinya. Dan, anak itu bilang 'Yayah' apa maksudnya Ayah? Sejak kapan dia punya anak? Berpacaran saja belum pernah, apa lagi menikah dan punya anak. "Yayah ... ndong, Mbun," ucap anak kecil itu lagi. Sekarang sudah mengulurkan tangannya kepadanya minta di gendong. Reiga menggendong Embun, batita itu tersenyum sangat cantik lalu memberi hadiah kecupan kedua pipi Reiga. “Ayang, Yayah.” Terdengar suara cekikikan dari Embun yang sedang mengalungkan kedua tangan pada leher Reiga. Reiga kembali dibuat kaget dengan serangan tiba-tiba dari anak kecil itu. Mendadak bingung, kenapa ada anak kecil yang memanggilnya Ayah? Ciuman pertama Reiga! Kedua bola matanya membulat karena ciuman pertamanya sudah diambil batita cantik dalam gendongannya saat ini. Meskipun hanya di pipi tapi itu sudah termasuk ciuman bukan? Reiga merasa otaknya mulai tidak waras gara-gara sang Kakek yang terus memaksanya untuk menikah. Mana bisa kecupan dari anak kecil bisa dianggap sebagai ciuman? Dia menoleh ketika mendengar suara perempuan di belakangnya. “Embun Sayang, turun Nak, sini sama Ibuk!” “Ndak au! Mbun cama Yayah aja!” Hani kaget saat Embun tidak ada di ruang kerjanya padahal dia hanya sebentar meninggalkan anaknya ke kamar mandi. Saat dia keluar untuk mencari Embun malah melihat anaknya sedang di gendong pria asing di depan meja kasir. “Maaf ya, Pak. Anak saya sudah merepotkan Bapak,” ucap Hani dengan sungkan pada pelanggannya. “Ini anak ibu? Tadi tiba-tiba datang minta gendong sama saya.” Reiga, menjelaskan karena tidak ingin di kira penculik anak kecil. “Iya, Pak. Anak saya, namanya Embun.” “Ayo, Nak. Gendong Ibuk ya Omnya mau pulang.” Bukannya menurut Embun malah mengeratkan pelukannya pada leher Reiga. “Ndak au! Mbun cama Yayah, ndong Yayah!” teriak anak itu, bahkan matanya mulai berkaca-kaca dengan bibir yang melengkung ke bawah tanda siap untuk menangis. Hani bingung kenapa anaknya seperti ini pada orang asing. Tiap kali membawa anaknya bekerja Embun tidak pernah mau digendong orang asing. Bahkan setiap ada yang gemas dan ingin mencubit pipinya Embun akan merajuk. “Gak papa Bu biar saya gendong sebentar. Siapa tadi namanya anak cantik?” “Ama aku Mbun, Yayah,” jawab Embun dengan pelafalan yang tidak jelas. “Oke, Embun cantik gak boleh nangis ya 'kan udah digendong sama Om?” Seketika Embun tersenyum dan lagi-lagi mencuri kecupan di pipi Reiga. Ah, dasar anak ini. Reiga dengan gemas balik mencium pipi Embun. Anak itu tersenyum dengan lebar hingga menampilkan kedua lesung pipinya. *** Ketika sampai kantor Reiga tidak bisa fokus bekerja. Pikirannya sedang dipenuhi wajah cantik seorang Ibu muda dan anaknya. Hanifa Arsy nama Ibu muda yang baru saja bertemu dengannya tadi pagi. Wajah cantik dengan mata bulat, bulu mata lentik dan lesung di kedua pipinya. Wajah yang dia rasa 100% diturunkannya pada Embun. Anak kecil yang memanggilnya dengan sebutan 'Ayah' sempat menangis tidak mau diturunkan dalam gendongannya. Sampai di iming-imingi sang Ibu dengan banyak mainan saja masih terus menangis. Hingga akhirnya, dia tertidur di gendongan Reiga. Ya, Embun merengek minta gendong dengan gendongannya. Gendongan warna pink dengan motif hello kitty. Mau tidak mau Reiga melakukannya. Memberikan s**u dari dodot nya sampai dia tertidur. “Sekali lagi saya minta maaf ya, Pak. Anak saya sudah merepotkan Pak Reiga!" Hani mengantarkan Reiga menuju parkiran. Dia merasa tidak enak karena sampai satu jam lebih Reiga menggendong Embun. “Tidak apa-apa, Bu. Saya tidak merasa keberatan. Saya malah senang bisa bertemu dengan Embun. Dia anak yang manis. kalau begitu, saya pamit dulu ya, Bu." Hani mengangguk mengucapkan terima kasih sekali lagi padanya. Kemudian Reiga masuk ke dalam mobil dan pergi menuju kantornya. Saking seriusnya Reiga melamun sampai sekretarisnya masuk kedalam ruangan saja dia tidak tau. Sekretaris yang sekaligus sahabatnya itu merasa heran tidak biasanya bosnya tak fokus pada pekerjaan. Saat rapat tadi siang saja kelakuan bosnya sangat ajaib. Bisa-bisanya bosnya senyam-senyum sendiri ketika manager menerangkan tentang masalah yang terjadi pada proyek barunya. Sampai akhirnya, bosnya mengakhiri rapat secara mendadak dengan alasan sedang tidak enak badan. “Hehhhhh, kamu ngapain pegang-pegang aku?!” Seru Reiga. Kaget saat ada tangan berada di keningnya. “Kamu itu yang kenapa? Dari tadi masuk kantor udah aneh aja kelakuanmu?" Tanya Galang. Galang ikut duduk di sofa dan memberikan dokumen-dokumen yang harus di tanda tangani bosnya. “Apa gara-gara dikejar deadline nikah kamu jadi gila, Rei?” “Kurang ajar banget kamu ya! bos mu sendiri kamu katai gila.” “Habisnya waktu rapat tadi ngapain kamu senyum-senyum sendiri?” “Aku lagi inget film lucu aja!” “Sejak kapan kamu suka nonton film?” Galang memicingkan mata. Curiga telah terjadi sesuatu dengan sahabatnya. “Bawel banget sih kamu! Kepo juga sama masalah orang.” Galang kaget dengan jawaban Reiga. Baru kali ini sahabatnya itu menyembunyikan sesuatu darinya. Padahal baru semalam sahabat sekaligus bosnya curhat persoalan permintaan sang kakek agar dia segera menikah. “Lang, menurutmu kalau suka sama istri orang itu dosa apa ngak?” Plak … “Aduh, kamu kenapa memukul kepalaku dengan buku sih?! Mau aku pecat sekarang juga?!” Reiga kaget tiba-tiba Galang memukulnya dengan buku yang ada di atas nakas. “Lebih baik aku dipecat! Dari pada bekerja dengan bos yang PEBINOR ... PEBINOR!” Galang sengaja menekankan kata itu di depan Reiga. “Apa itu pebinor?” “PEREBUT BINI ORANG!” Reiga membanting berkas-berkas yang diberikan oleh Galang. “Sembarangan kamu ya! Siapa yang mau merebut bini orang?” “Kamu tadi, ngapain nanya dosa apa enggak suka sama istri orang? Kalau bukan mau jadi pebinor apa namanya?” “Aku kan cuma nanya aja bukan berarti mau rebut istri orang. Dasar sekretaris gila,” jawab Reiga sambil mendengkus ke arah sahabatnya. “Kenapa sih, Ga? Tumben main rahasia-rahasia segala. Jangan sampai aku adukan ke Kakek Hanan ya kalau kamu mau jadi pebinor gara-gara dikejar deadline kawin!” “Ceritanya panjang. Besok-besok ajalah aku cerita yang pasti aku bukan pebinor seperti yang kamu bilang! Kerjaan lagi banyak malah kamu bikin kepalaku tambah pusing, sana pergi!” Reiga mengibaskan tangannya menyuruh Gilang untuk pergi. Reiga merasa hari ini, Galang berubah menjadi emak-emak bermulut lemes. Membuat kepalanya semakin pusing! Tapi apa benar yang dikatakan oleh sahabatnya itu? Apa dia akan menjadi pebinor? Tapi, dia ‘kan hanya mengagumi Hanifa. Hanya kagum tidak lebih! Gumamnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD