Embun Savier Hanafi

1410 Words
Waktu berjalan begitu cepatnya.Tanpa terasa, sudah dua tahun belahan jiwaku yang selalu memberi kehidupan dan kebahagiaan untuk ku pergi untuk selama-lamanya. Senyum hangat yang selalu aku tunggu setiap kedatangannya sudah tidak ada lagi, pundak ternyaman yang biasa aku jadikan tempat bermanja ketika melepas lelah pun sudah tidak ada lagi. “Buk ... bukk. Aem buk.” Suara cadel putri kecilku, dia menarik-menarik tanganku. Membawa piring makannya yang berbentuk kepala kelinci. Aku tersenyum, mengangkatnya di pangkuanku. Dan seperti biasa, dia akan membalas menangkup kedua pipiku dengan tangan-tangan mungilnya lalu memberi ciuman sebagai tanda terima kasih. “Anak cantiknya Ibuk laper ya?” “Bun aem buk ... aem,” jawabnya dengan pelafalan yang tidak jelas. Dia menyusul ke ruang keluarga saat aku tengah menyelesaikan sedikit pekerjaan yang akan dijadikan bahan meeting nanti siang. Ya ... Dia putriku, permata hatiku. Hadiah terindah dari Mas Agam, 'Embun Savier Hanafi' nama yang sudah aku dan Mas Agam persiapkan jika anak kami perempuan. “Iya, Sayang. Embun mau disuapin Ibuk? Pinter banget anak ibuk. Ini tadi diambilkan makan Mbak Ika?” Embun mengangguk. “Nak nak buk, bun uka,” jawabnya sambil mengacungkan jempol. Mbak Ika orang yang membantuku mengurus Embun setiap aku pergi bekerja. Aku tidak tega membawanya pergi ke toko kue meskipun Tante Dean membuatkan ruangan khusus untuk Embun tidur dan bermain. Embun termasuk anak pintar, ceria dan aktif. Setiap hari dia selalu main kejar-kejaran dengan kucing kesayangannya. Setiap sore minta naik sepeda roda tiganya dan masih banyak lagi kegiatannya. Seakan tidak pernah merasa lelah, meskipun aktif bermain seharian. Namun, kini aku membatasi kegiatan bermainnya. Karena, kondisi Embun yang bisa dibilang tidak dalam keadaan baik. Sekarang dia mudah kelelahan dan sakit. Oleh karena itu aku makin over protective kepadanya. “Embun sayang kenapa nak?” Tanyaku ketika melihat Embun menangis di kamar. Sekarang dia sedang ikut aku bekerja. “Yut bun atit, hiks ... Hiks ... Hiks,” jawabnya disela isakan tangisnya sambil memegangi perutnya. Wajahnya tampak pucat dan penuh dengan keringat. “Kenapa cucu Oma tiba-tiba nangis?” Tanya Tante Dean. Sejak tadi pagi Tante Dean yang menemani Embun bermain. Beliau kaget ketika melihat Embun menangis. “Embun bilang perutnya sakit, Tan. Wajahnya juga pucat. Gak tau kenapa kok tiba-tiba padahal dari tadi juga aktif main terus.” “Kita langsung bawa ke rumah sakit sekarang ya Nak! Tante takut Embun kenapa-napa." Aku dan Tante Dean langsung membawa Embun pergi ke rumah sakit. Melihat Embun tiba-tiba sakit perasaanku menjadi tak karuan. Tidak pernah dia sakit seperti ini. Biasanya jika kelelahan bermain dia hanya mengeluh badannya pegel-pegel atau batuk kalau terlalu banyak makan es krim. “Hiks ... hiks, atit yut bun atit!” Embun masih saja merengek di mobil menuju ke rumah sakit. “Iya, Sayang. Kita ke rumah sakit ya biar perutnya Embun di obati Pak Dokter,” jawabku sambil mengusap perutnya dengan minyak telon. Aku terus mendekap Embun sambil mengelus-elus perutnya. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku tidak tega dan takut melihat Embun kesakitan seperti ini. Sesampainya di rumah sakit, Embun langsung di bawa ke IGD. Dia tertidur setelah dipasang infus dan di beri obat oleh dokter jaga. “Aku titip Embun dulu ya,Tan. Mau urus pendaftaran biar Embun cepat dipindah ke kamar rawat inap.” “Iya, Nak. Biar Tante yang jagain Embun. Sedih banget lihat dia kayak gini,” jawab Tante Dean. Tangannya mengelus kepala Embun. *** Malam harinya, Grizelle dan Bunda Aisyah datang menjenguk Embun. Anak itu sekarang sudah aktif lagi seperti sebelumnya. Dia juga sudah melakukan beberapa pemeriksaan besok tinggal menunggu hasilnya. “Bun ndak uka angan mbun da ni!” Dari tadi dia protes minta dilepas infusnya karena tidak bisa lari-lari. Dia juga minta di bawa kan sepeda. Katanya bosan mau sepedaan. “Iya, Sayang. Nanti kalo udah sembuh ini dicopot kok dan Embun bisa main sepedaan lagi,” jawab Bunda Aisyah. Beliau sedang memangku Embun. “Una wa sini Ante! Bun angen una,” rengeknya lagi. Sekarang dia merengek pada Grizelle meminta luna di bawa kesini. Oh, iya. Luna itu kucing kesayangan Embun. “Siap, cantik. Nanti kalo Embun udah sembuh Aunty bawa luna kesini,” jawab Grizelle. Dia sedang mengupas buah untuk Embun. “Aunty janji deh kalo Embun udah sembuh nanti Aunty kasih hadiah," ucapnya lagi. Dasar anak itu, selalu saja memanjakan Embun. Membelikan barang-barang yang jelas-jelas Embun sudah punya banyak dirumah. Bukannya aku pelit atau perhitungan pada Embun tapi aku selalu mengajari Embun untuk bersyukur dan menghargai semua barang yang dia punya. Aku memang memanjakan Embun tapi aku juga membatasi membelikan sesuatu yang dia sudah punya. “Acikkk, nel ya Ante gak oleh oong,” jawab Embun dengan penuh semangat sambil memakan anggur yang sudah dikupas oleh Grizelle. Pagi hari … Setelah Dokter datang dan membacakan hasil pemeriksaan Embun seketika aku tertunduk lesu dan air mataku sudah mengalir deras. “Tolong beri pengobatan yang terbaik buat anak saya, Dok. Dia masih sangat kecil kenapa harus sakit gagal ginjal?” “Kami akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Embun, Bu Hani,” jawab Dokter Faisal. Saat ini aku seperti merasakan apa yang aku rasakan dua tahun yang lalu. Perasaan takut kehilangan orang tercintaku, perasaan takut ditinggalkan, perasaan takut sendirian berkecamuk dalam hatiku. “Kamu harus tetap kuat Han! jangan menunjukkan ekspresi sedih saat di depan Embun. Aku tau ini sangat sulit buat kamu tapi kamu harus kuat demi Embun!” Aku bingung kenapa Embun bisa sakit parah seperti ini. Aku merasa sudah memberikan yang terbaik untuknya selama ini. Bahkan tidak semua makanan boleh dia makan. Embun hanya boleh makan makanan sehat saja. “Biarkan aku menangis kali ini saja Zelle setelah Embun bangun aku janji tidak akan menangis lagi,” ucapku terbata-bata di tengah tangisanku. Grizelle masih mengusap punggungku dan terus memberikan dukungan agar aku kuat dan tabah menghadapi cobaan ini. “Kamu harus ingat Han! kamu punya Aku, Mami, dan Bunda. Jangan merasa sendirian dan ingat satu hal, jangan pernah sungkan untuk meminta bantuan pada kami, apapun itu. Kamu harus janji Han!” Aku kembali memperbaiki dudukku dan mengangguk. “Iya, aku janji. Hanya kalian yang aku dan Embun punya Zelle!” *** Sedangkan di lain tempat, seorang pria tampan dan mapan sedang duduk di ruang keluarganya. Dia sedang memijat keningnya dengan wajah yang tampak lelah. “Kakek ngak mau tau dalam tiga bulan kamu harus sudah menikah! kalau tidak kakek akan menjodohkanmu dengan anak dari teman Kakek!" Hanan Al-Fathan adalah pemilik rumah sakit besar di Yogyakarta 'Rumah Sakit Al-Fathan Medical Center'. Dia meminta cucu satu-satunya untuk menikah dan mengambil alih rumah sakit miliknya. Karena, dia memang sudah memasuki masa pensiun. “Aku tidak akan menikah, Kek. Kakek tidak perlu menjodoh-jodohkan aku dengan perempuan manapun!” Reiga Malik Al-Fathan, pria matang berusia 32 tahun. Seorang CEO Perusahaan Digital. Dia merintis perusahaannya sendiri mulai dari remaja. Sekarang sudah menjadi perusahaan besar hasil dari kerja kerasnya sendiri tanpa bantuan sang Kakek. “Kamu mau Kakek mati cepat, ha? Dasar cucu baik. Bisa tidak sekali saja kamu turuti kemauan Kakekmu ini?" “Kakek ngomong apa sih?! Setiap ngomong sama Reiga ngomongin mati terus. Ngak baik, Kek." “Makanya kalo mau Kakek panjang umur kamu cepet nikah. Kamu pasti tau 'kan Kakek ini sudah tua. Sudah saatnya istirahat dirumah sambil ngemong cucu,” jawab Kakek Hanan dengan wajah sedih. Dia memulai lagi drama agar cucunya mengikuti apa yang dia mau. “Tapi nikah itu bukan perkara mudah, Kek. Seenaknya aja Kakek ngasih waktu tiga bulan. Dapat dari mana aku calon istri dalam waktu secepat itu?” keluh Reiga dengan wajah memelas. “Kalau kamu bingung cari calon istri, Bagaimana kalo Kakek kenalkan kamu dengan anak teman Kakek? selain cantik dia juga sopan dan baik. Kalau kamu nikah sama dia, kamu bakal dapat bonus!” “Apa-apaan kakek ini! Memangnya kita lagi beli makanan buy one get one free. Yang bener dong, Kek. Kakek kira Reiga ini gak laku apa?” “Haha ... haha, kamu itu memang tidak laku. Sudah umur 32 tahun saja belum menikah. Katanya CEO tampan dan kaya raya mana buktinya?” Reiga hanya mendengkus dan tidak menjawab perkataan kakeknya lagi. Dia sudah pusing dengan masalah di kantornya. Ini ditambah lagi Kakeknya yang selalu memintanya untuk segera menikah. Haruskah dia mulai mencari calon istri? Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah menjalin hubungan dengan gadis manapun. Bahkan, sudah memutuskan untuk tidak menikah selamanya. Bagaimana dengan permintaan Kakeknya? Jika tidak dituruti pasti sang Kakek akan terus memaksanya untuk menikah. Paling parahnya lagi dia hanya diberi waktu selama tiga bulan dan mengancamnya akan dijodohkan dengan perempuan pilihan Kakeknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD