Ketemu di Cafetaria

1347 Words
Sebenarnya mereka jarang sekali bisa makan siang bersama kalau sedang berada di rumah sakit, karena yang namanya istirahat itu bisa saja akan terjadi perbedaaan waktu seperti pembagian wilayah waktu di Indonesia. Memang normalnya istirahat siang itu jam dua belas teng, tapi Ana kadang belum selesai prakteknya atau justru sedang di ruang bersalin karena tiba - tiba ada pasien yang hendak melahirkan, begitu juga Kana yang harus mengikuti kegiatan dokter pembimbing yang sedang dalam stasenya, bisa saja dia sedang di poli, atau baru keluar dari ruang operasi tapi kadang justru on time. Kalau dulu masih di stase kebidanan, mereka memang sering makan siang bersama, maksudnya satu grup, kan mereka juga belum sedekat sekarang, waktu itu saja Kana masih memanggil Ana dengan panggilan 'dok'. Tadi Ana sudah di hubungi Kana, tapi tidak dijawab, fix Ana sedang ada pekerjaan yang tidak bisa diganggu, dan itu berarti lagi - lagi Kana makan siang bersama teman - temannya. Mereka saja baru istirahat hampir setengah satu siang, itu gara - gara Emir sama Dean tidak bisa menjawab pertanyaan dr. Timoty dan yang kena ya satu grup. Walau tidak boleh membantu, mereka juga tidak boleh pergi dari ruangan itu. Maksudnya solidaritas kali ya. Fina si gadis Ambis saja sudah melotot kesal melihat kedua temannya yang tadi mungkin tidak menyimak waktu dr.Timoty menjelaskan soal kasus penyakit, tapi tetap tidak pengaruh apa - apa, disuruh menunggu ya menunggu. "Bagus gue nggak pingsan gara - gara lo berdua," gerutu Fina ketika mereka sudah berada di cafetaria, mereka sudah bertemu grup Loli cs yang sudah duluan di sini dan tentu saja sudah selesai makan. "Maaf deh ... maaf, gue tuh nggak nyangka bakal ditanyain istilah - istilah gitu, mana banyak banget," jawab Dean yang agak merasa bersalah juga. "Fin, kalo maag lo sampe kambuh karena telat makan, minta penggantian pengobatan sama mereka berdua," sahut Kana sambil terkekeh. "Kalo gue minta penggantian soto betawi aja ya, gue lagi pengen banget makan itu malah kehabisan gara - gara telat istirahat," sahut Lutfi yang akhirnya sekarang makan soto Bandung. Mungkin dia pecinta soto Nusantara. "Yaelah, kan lo masih dapat soto Bandung, masih wilayah Indonesia juga gantinya. Kalo dapatnya Soto Belanda ... baru komplen." "Woy .. lo paham nggak konsep soto - soto itu beda banget njirr," sahut Denny yang menyimak percakapan Dean dengan Lutfi. Tentu saja percakapan absurd para pemuda pemudi harapan bangsa yang sedang kelaparan itu menjadi bahan tertawaan teman - temannya yang lain. "Eh, dokter Ariana sama dokter Febri tuh," Irsal lebih dulu melihat kedatangan keduanya di Cafetaria. "Selamat siang dok," sapa mereka bergantian ketika dr. Ariana dan dr. Febri sudah dekat dari tempat mereka duduk, bukan seperti anak SD yang mengucapkan salam pada gurunya ya, kan mereka sudah dewasa. "Selamat siang," dr Febriansyah yang menyahut lebih dulu. Dr. Febri ini dokter Spesialis mata, grup co-ass ini juga pernah bekerja sama dengan dokter Febri, walau tidak lama karena termasuk stase Minor, tapi mereka cukup akrab. "Baru makan dok?" tanya Fina. Kana tadi menoleh waktu Irsal menyebut nama Ariana, tapi sekarang dia sok fokus dengan makanannya setelah ikut menyapa kedua dokter yang datang bersamaan itu. "Iya nih, habis ada meeting sebentar. Kalian masih istirahat?" tanyanya sambil melihat ke arah jam tangannya yang menunjukkan pukul satu lewat sedikit, berarti sudah lewat jam istirahat. "Tadi abis tugas sama dokter Timoty dok, baru selesai setengah jam yang lalu, jadi memang sudah telat keluarnya," jawab Fina lagi. "Owh oke, selamat makan semua ya, saya ke sana dulu," ucap dr. Febri sambil menunjuk satu meja dengan dua kursi. "Makasih dok, selamat makan juga." Ariana hanya diam dan ikut senyum - senyum saja selama percakapan singkat itu sampai mereka duduk berdua tidak jauh dari meja anak - anak co-ass. Dean tidak melepaskan perhatiannya melihat sikap Kana seperti tidak acuh kepada kedua dokter tadi. Buat yang lain sikap Kana tidak ada yang aneh karena Lutfi juga tetap sambil makan. Tapi buat Dean sikap Kana bisa jadi pertanyaan, kok katanya teman tapi seperti tidak tertarik ketika bertemu teman sendiri? "Kalau menurut kalian, dokter Febri cocok nggak sama dokter Ariana?" tanya Farhan tiba - tiba. Entah atas dorongan apa dia mau bergosip tentang kedua dokter tadi. "Cocok - cocok aja, kan mereka masih lajang juga, kecuali binor atau lakor," jawab Emir. Mereka bergosip tentu saja dengan suara pelan, orang yang dibicarakan hanya berjarak dua meja dari tempat mereka duduk. "Bukannya lebih tua dokter Ariana daripada dokter Febri ya?" Fina ikut memnyumbang pertanyaan. "Aelah Fin, timbang setahun aja jadi perkara," sahut Emir lagi. "Ya nggak sih, kan gue cuma berpikir normalnya aja, cowok tuh lebih tua dari ceweknya," jelas Fina. Tumben - tumben cewek Ambis model Fina mau membicarakan hal receh seperti ini. "Emangnya kalo cewek lebih tua nggak normal ya Fin?" tanya Dean, matanya menatap lurus ke Fina, dia tidak menoleh walau terasa ada yang memandang tajam dari arah sebelah kanannya. "Gue nggak bilang nggak normal lho ya, itu lo yang ngomong," tolak Fina. "Bukannya lo bilang normalnya cowok lebih tua, trus kalo kejadian sebaliknya berarti nggak normal kan?" ucap Dean mengutip lagi kalimat Fina tadi. "Gitu aja ribut sih, kalo gue bisa ngegebet dokter Ariana, gue sih nggak mikir umur deh, mau dibilang nggak normal juga nggak apa - apa, cakep ini orangnya ... perkara keluarga gampang lah, kalo nggak disetujui gue ajak aja kawin lari, ntar juga kalau udah punya cucu bakal diterima lagi sama kakek neneknya," sahut Emir. "Masalahnya satu aja ... dia nggak bakal mau sama gue," lanjut Emir lalu tertawa dan diikuti yang lain. Memang kocak tidak jelas si Emir ini. "Bagus deh lo tahu diri," ucap Loli. Dimulai dari membicarakan dr. Ariana dan dr.Febri lalu berlanjut ke soal umur dan dengan perkara normal atau tidak normal, sampai ke Emir yang memproklamirkan diri sebagai laki - laki yang bersedia menikahi dr. Ariana walau tidak ada restu. Mereka ini seperti sedang membicarakan hal penting padahal hanya ghibahan tidak bermutu yang membuat Kana merasa seperti sedang diserang brutal, padahal tidak ada yang tahu soal kedekatannya sama Ana kecuali Dean, dia saja yang baper sendirian. Dalam perjalanan pulang .... "Kenapa lo tadi ketemu dokter Ariana kayak cuek gitu, katanya teman?" Jangan tanyakan nada bicara Dean, pastinya mengejek. Seburuk apa sih sikapnya tadi sampai - sampai Dean bertanya dengan nada seperti mengejek itu? Maksudnya mau mempertegas kalau dia sudah berbohong soal hubungannya dengan Ana? Perasaan tadi tidak semua orang berbicara sama kedua orang itu, terus kenapa dia harus bicara juga? Kenapa cuma sikapnya yang dipertanyakan? Memang sih sekarang mereka cuma berdua di mobil, tapi kan tadi di ruang kumpul ramai, kenapa Lutfi tidak ditanya, kenapa Emir juga tidak diinterogasi? Kenapa Dean seperti mengincar momen ini untuk menekan dirinya? Mereka tadi malah membahas soal umur. "Emang ada yang bicara sama dokter Ariana tadi? Perasaan dokter Febri aja yang bacot." Nah kan, mulut julidnya tidak bisa ditahan juga. Ini sebenarnya siapa sih yang bikin kesal, Dean apa dr. Febri? **** Hari ini Ana melanjutkan praktek hingga malam, cukup lelah memang karena dari pagi dia tidak pulang ke apartemen. "Terimakasih Sus ... selamat istirahat ya," ucap Ana pada suster Maya yang memang bergantian dengan suster Dian. "Selamat istirahat juga dok," jawab suster Maya yang berjalan di belakang Ana lalu mematikan lampu ruang prakteknya. Ana langsung berjalan menuju parkiran, tubuhnya lelah, berendam di bathtub sepertinya akan sangat menyenangkan. Hari ini lumayan cepat selesai praktek karena mulainya juga jam empat sore, jadi jam sembilan dia sudah bisa meninggalkan ruang prakteknya. "Yuk naik." Ana baru sadar ada mobil Kana di depannya ketika dia turun dari tangga lobby. "Lho .. kamu dari mana?" Ana pasti kaget, tidak ada kabar berita tahu - tahu Kana muncul. "Dari rumah," jawab Kana. Ah iya, Ana baru sadar baju Kana sudah berganti, dia pakai baju kaos dan celana pendek, tidak mungkin dari tugas kan? "Mobil aku gimana?" "Biarin aja, besok kan kamu ke sini lagi." Enteng sekali Kana membuat rencana buat Ana. Walau bingung, Ana tetap nurut naik ke mobil Kana. Sebenarnya sangat kebetulan, dia letih sekali untuk menyetir pulang...tapi kepikiran juga soal mobilnya. "Besok aku jemput ke rumah sakit ... kamu lapar kan?" Kana seperti bisa menebak isi kepala Ana dan juga isi perutnya disaat bersamaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD