Obrolan Mereka

1333 Words
Sudah malam baru mencari makan sudah tentu pilihannya terbatas, resto masih buka tapi sudah menjelang tutup, vibesnya sudah tidak enak untuk disambangi. Walau agak jauh dari Pasar Minggu, setidaknya Milan cafe menjadi pilihan yang bagus, pilihan makanannya banyak dan yang pasti tidak akan ada kata habis, soalnya paling tidak enak pas mau pesan makanan terus dibilang habis, kesannya pilihannya hanya sisa - sisa saja. Cafe milik uwak nya ini memang cukup terkenal dan selalu ramai, bahkan cabang - cabangnya di kota besar lainnya, karena dikelola profesional. "Meeting apa tadi sampe kamu telat makan siang?" tanya Kana tidak sabar mencari tahu, padahal mereka masih melihat menu makanan, memesan pun belum. Ana tidak langsung menjawab, dia keburu menemukan makanan yang dia inginkan. "Aku mau nyobain nasi Bali ini, minumnya air putih aja," tunjuk Ana ke foto Nasi Bali pada buku menu. Kana langsung memesan dua nasi bali dan dua air mineral, sepertinya dia malas mikir. "Kamu meeting apa," ulang Kana lagi. "Aku nggak meeting," jawab Ana sambil mengambil tisu basah untuk membersihkan tangannya yang sebenarnya sudah dia cuci waktu masuk ke Milan tadi, Kana kebagian disodorkan juga dan mengambil sehelai. "Kata dokter Febri tadi kalian habis meeting makanya telat makan siang." "Yang bilang habis meeting kan dia, aku nggak bilang apa - apa. Kami cuma ketemu waktu sama - sama mau ke Cafetaria, dia baru keluar dari lift dan aku dari Poli, tadi pagi pasien ku banyak, makanya aku telat selesai." Tidak tahu kenapa Kana jadi lega, padahal kan cerita barusan bukan beban, kenapa kok plong rasanya. "Oowh, aku kira ada meeting mau giat apa gitu sampai semua dokter ikutan." Pintar sekali Kana berkelit, urusan apa juga dia sampai kepo maksimal soal giat rumah sakit, kalaupun ada paling mereka kebagian tensi pasien saja. "Iya mau ada giat, dugaan kamu benar. Tapi nggak di rumah sakit tapi di kecamatan mana gitu ya ...masih dekat rumah sakit juga. Kata dokter Febri tadi mau ada kerjasama dengan perusahaan farmasi untuk distribusi vitamin A sama pemeriksaan katarak ...jadi memang bidangnya sih," jelas Ana lagi. Double lega! Perasaan yang aneh tapi nyata. Minuman pesanan mereka datang. "Besok jadi nginap di Sahid?" "Iya jadi, aku jemput Ayah ke Bandara." "Sayang banget aku nggak bisa nemenin," ucap Kana seperti penyesalan, padahal dia tidak diminta bantuan untuk menemani. "Besok malam aku jaga di bangsal," "Jaga malam?" "Iya." "Owh, selamat begadang." "Makasih lho ya, aku cosplay satpam di rumah." "Kamu punya Satpam di rumah?" "Di komplek." "Owh kirain." "Kamu nggak lapar ya makannya telat tadi siang?" tanya Kana random mengingat soal di Cafetaria lagi. "Owh makasih banget untuk nasi kuning yang kamu bawa tadi pagi, aku baru sempat makan jam delapan, sepuluh menit sebelum praktek pagi, itu ngebantu banget lho ... kenyangnya maksimal. Semoga kucing mbak Nur panjang umur ya." Kana ngakak. "Nggak ... nggak ada kucing di rumah, aku ngarang aja. Nur yang nyiapin nasi kuning, nggak perlu acara, suka - suka yang masak aja." "Jadi selain nggak ada kucing, bukan Nur juga yang masak?" "Yang masak lain, Nur itu multi talenta, dari ngoceh, beberes sampai menyiapkan masakan yang udah jadi." Geleng - geleng juga Ana mendengar penjelasan soal Nur ART berbakat itu. Akhirnya nasi bali pesanan mereka datang juga. "Selamat makan," ucap Ana yang ingin segera menghabiskan nasi Balinya yang terlihat menggugah selera, atau dia yang sangat lapar? "Skala satu sampai sepuluh, menurut kamu makanannya mau dikasih nilai berapa?" tanya Kana ketika mereka sudah menikmati beberapa suap nasi Bali ini. "Sembilan." "Kenapa nggak sepuluh?" "Harganya mahal, kalo murah aku kasih sepuluh." Kana tersenyum," Nanti aku bilang sama yang punya." "Kamu kenal?" "Uwak ku yang punya, tapi sekarang anaknya yang mengelola." "Uwak itu om ya?" "Iya, kakak papa." "Owwh ... di Medan juga ada Uwak ... kalau kamu pakai bahasa mana itu?" "Sunda." "Kamu Sunda aslinya?" "Udah campur kayak nasi padang, semua ada. Kamu dari Medan marganya apa? Aku nggak pernah tahu kamu pakai Marga." "Memang aku bukan asli sana, Ayahku Padang, Ibu half Padang dan Medan melayu, jadi kami bukan suku batak." "Dari pihak mama juga ada Padang, porsinya sama dengan Sunda di pihak papa, tapi yang mendominasi Jawa." "Owh gitu. Cuma Medan itu kayak kampung halaman ke dua sih, soalnya keluarga ibu memang sudah lama tinggal di Medan, ibuku lahir di sana. Tapi tetap Padang yang pertama karena dua - duanya juga padang, orangtuaku itu nikah perjodohan." "Masih saudara?" "Nggak, cuma kakek Nenek mereka satu kampung di Padang, kayaknya udah niat jodoh - jodohin cucunya gitu." "Tapi kamu sama adik - adik nggak kena tradisi jodoh - jodohan kan?" Hampir saja Ana tersedak, tapi dia bisa menahannya. Ana mengambil gelas airnya lalu meneguknya dua kali. "Nggak lah, adik - adikku menikah dengan pacarnya, pilihan mereka sendiri." Kalau kamu? Kana masih menahan pertanyaan yang tidak sopan menurutnya. "Lagian mana ada perjodohan di zaman sekarang, kalo dikenal - kenalin mungkin masih banyak," Kana malah meralat ucapannya sendiri. "Itu percomblangan namanya. Usia kamu tuh lagi lucu - lucunya jadi sasaran percomblangan." "Emang percomblangan ada batasan umur ya? Umur lima puluh aja mungkin masih ada yang comblangin kalau memang masih sendiri," jawab Kana. "Ah kalau umur lima puluh masih sendiri mungkin udah nggak kepingin juga kali ... mungkin itu memang pilihan ingin menikmati hidup sendiri." Kalau seumur kamu? Lagi - lagi pikiran Kana ke sana, tapi tetap tidak terucap. "Apa enaknya ya hidup sendiri?" "Kamu ngomong kayak yang sudah pernah hidup berdua aja." "Ya kalau sekarang memang belum, tapi kalau jangka panjang kayaknya aku nggak mau sendirian." "Asli ini nasi Bali bakal jadi favorit aku," tiba - tiba Ana membelokkan pembicaraan setelah mengangguki ucapan Kana tadi tanda dia sudah menyimak. "Kamu bisa ke sini tiap hari, ini bisa juga pesan antar kok." "Cabangnya di mana aja?" "Di Bali, Bandung, Surabaya ...dengar - dengar mau ke Medan juga." "Serius?" "Nggak." "Dodol!" *** Ana masuk ke apartemennya, Kana mengantarkannya hingga lobby tanpa mampir karena memang sudah malam. Besok Kana akan menjemputnya setengah tujuh pagi, tapi dia memaksa, katanya konsekuensi sudah membawanya pulang dan meninggalkan mobilnya di parkiran rumah sakit, padahal Ana sudah bilang dia naik taksi saja, lagi pula Kana jaga malam besok, dia tidak perlu ke rumah sakit pagi. Lagi - lagi harus menurut, kalau kana sudah ngotot, Ana hanya bisa bilang 'oke'. Hilang jiwa super woman Ana karena Kana. Ana menjatuhkan diri di sofa empuk miliknya. Badan nya letih, perutnya kenyang ...dua kombinasi yang bagus menjadi alasan kuat untuk segera tidur. Tapi dia belum mandi. Ana mengingat lagi pembicaraan tadi. Dia tidak tahu apakah Kana penasaran dengan status single nya yang awet sampai usia sekarang. Tapi Ana meletakkan poin yang tinggi untuk Kana yang tidak menyinggung hal itu, walau dia tidak keberatan menjawab kalau di tanya, tapi dengan Kana tidak kepo membuatnya merasa nyaman. Bukan dia tidak tertarik lawan jenis, kalau tidak tertarik tidak mungkin dia menghabiskan waktu pacaran dengan si bodat itu dulu, sampai tunangan malah. Kan sekarang lain cerita, tapi dia masih punya ketertarikan dengan lawan jenis kok, seleranya tidak 'belok', tapi dia hanya takut ... takut kecewa lagi. Kecewa dan hancurnya waktu gagal nikah itu berat sekali buat Ana ... tidak semudah teori orang bilang 'Berarti itu nggak jodoh kamu An, Allah menunjukkan siapa dia sebelum kamu terlanjur jadi istrinya, coba kalau sudah menikah ... apa kamu nggak jadi janda muda dibuatnya?', segampang itu kalimat yang keluar dari mulut orang - orang yang menghiburnya dulu, tapi tetap saja Ana menangis tujuh hari tujuh malam kayak pesta pernikahan anak Sultan Brunei. Ana mendesah, dia memanjangkan badannya menghilangkan pegal di pinggangnya. Pikiran Ana kini ke Kana, masalah kedekatan mereka. Kana itu juga akan menjadi hal yang menakutkan kalau sampai dia jatuh hati, Kana itu jauh lebih muda dari mantan, wajahnya juga tiga poin lebih ganteng, semua itu bisa jadi alasan buat dia jatuh hati, apalagi perhatian Kana itu sulit dikelompokkan sebagai perhatian seorang bestie. Akan menjadi petaka kalau dia sampai jatuh hati pada laki - laki yang usianya sepuluh tahun lebih muda ini. Salah, mungkin bukan petaka seperti malin kundang yang disumpah jadi batu oleh ibunya, bisa jadi lebih ... kiamat kecil mungkin?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD