Mobil yang dikemudikan oleh Marisa terus melaju di jalanan Jakarta dengan kecepatan sedang. Hingga tiba di tempat wisata di utara Jakarta. Setelah melewati gerbang dan membeli tiket masuk ke tempat wisata itu. Marisa lalu memasukan mobilnya, ke tempat parkir yang ada di tempat wisata itu. Setelah itu mereka berdua berjalan menuju ke arah pantai, dengan jalan pikiran mereka masing-masing.
Langit yang tadinya terik, terlihat berubah menjadi berawan. Matahari tertutup oleh awan putih yang besar, yang membuat pancaran sinarnya berkurang. Tidak segahar tadi. Seakan ingin memberi mereka restu untuk berwisata di tempat itu. Untuk berdamai dengan hidup mereka.
Sesudah berjalan cukup lama, akhirnya mereka tiba pada sebuah tanggul yang ada di pantai itu. Mereka berdua lalu duduk di tepi pantai itu, dengan kaki menjulur ke bawah. Yang sedikit tergapai oleh riak-riak ombak kecil. Yang datang dari tengah laut. Yang seakan ingin menyapa kehadiran mereka berdua dengan cara mereka sendiri.
"Apakah rasa jenuh mu itu sudah sedikit berkurang, sekarang?" tanya Marisa, sambil memandang hamparan laut di depannya.
"Enggak, rasa jenuh itu masih dan tetap ada di hati, jiwa dan pikiranku ini ...," sahut Ketrien, sambil memandang hamparan laut di depan penglihatannya.
"Sepertinya, masalah yang membuat dirimu jenuh, itu adalah masalah yang sangat besar dan rumit. Hingga membuat dirimu menjadi seperti ini?" ujar Marisa mencoba menebak pikiran Ketrien. Yang sebenarnya tak ingin membahas beban pikirannya dengan Marisa untuk saat ini. Karena ia yakin, pasti akan menimbulkan keributan di antara mereka berdua.
"Ya, seperti itu memangnya," timpal Ketrien, sambil membuka ikatan ekor kudanya. Hingga membuat rambutnya tergerai, terhembus oleh angin laut. Sedangkan ikat rambut yang ia kenakan tadi. Ia masukan ke pergelangan tangan kirinya.
"Berbagilah, dan ceritakan semua masalahmu itu kepadaku, percayalah kepadaku ...," ucap Marisa, berusaha menyakinkan Ketrien, agar ia mau bercerita kepadanya.
Tampak Ketrien masih ragu untuk bercerita kepada Marisa, kekasih wanitanya itu. Karena ia takut Marisa akan marah terhadap dirinya.
"Kalau aku cerita kepadamu, aku takut hal itu akan membuat dirimu marah ...," jawab Ketrien, agak terbata-bata mengatakannya dengan nada yang lirih.
"Kalaupun aku marah, itu hanyalah sejenak. Tapi aku rasa lebih baik kamu cerita, sepahit dan sepedih apapun kenyataan itu. Aku akan berusaha untuk menerimanya ...," kata Marisa, lalu menatap Ketrien dari arah samping, dengan penuh kasih sayangnya.
"Kamu masih ingat dengan Zulian, kekasih semasa SMA ku itu?" tanya Ketrien, mulai menceritakan masalahnya kepada Marisa.
"Ya, aku masih ingat dengan lelaki berwajah Korea itu. Memang ada apa dengan dirinya? Apakah kamu sudah menemukan dirinya?" tanya Marisa dengan penuh selidik. Dan rasa cemburunya kepada Zulian yang begitu besar.
"Aku belum menemukannya, tapi aku sudah menemukan jejak dirinya. Dia sekarang sudah kembali ke Jakarta," timpal Ketrien dengan jujurnya.
Sesudah mengatakan hal itu. Ketrien pun tersenyum dengan wajah yang berseri-seri. Sedang Marisa tampak tersenyum kecut, mendengar ucapan dari Ketrien itu. Marisa sangat kecewa mendengar penuturan dari Ketrien. Namun perempuan itu berusaha untuk memendamnya di dalam hatinya. Walaupun pada akhirnya, ia pun tak bisa melakukannya.
"Kalau ia sudah kembali ke Jakarta, kenapa kamu enggak menemuinya dan meminta kepastian dari dirinya. Biar semuanya menjadi jelas dan pasti!" ucap Marisa dengan sedikit ketus.
"Masalahnya itu, aku sudah menemukannya. Tapi di tempat dan waktu yang kurang tepat. Hingga aku dan dirinya, enggak bisa bertemu secara langsung. Dia juga enggak menyadarinya, kalau aku sudah melihat dirinya itu," jelas Ketrien. Sambil membayangkan kejadian di mana ia melihat Zulian sebanyak dua kali.
"Kalau menurut pemikiran ku sih, dia itu sudah melupakan dirimu. Kalau ia masih mencintai dirimu, enggak perlu waktu 5 tahun. Dia menggantung dirimu seperti ini. Dia akan mencari mu, walaupun dia sudah berada di luar Jakarta, sejak lama," kata Marisa, mencoba mempengaruhi jalan pikiran Ketrien.
"Aku percaya sama dirinya, cintanya itu hanya untukku. Mungkin dia memiliki alasan, hingga belum pernah menghubungiku selama ini," tutur Ketrien dengan riangnya. Tak terpengaruh sama sekali oleh perkataan Marisa.
"Itu namanya naif!" ucap Marisa, dengan tajamnya ke arah Ketrien.
"Biarkan saja aku naif, yang penting aku enggak posesif!" timpal Ketrien, seakan ingin menyindir sikap Marisa kepada dirinya selama ini.
"Kamu sedang menyindir diriku?" ucap Marisa, dengan tatapan tajamnya.
"Kamu merasa juga, ternyata ...," timpal Ketrien.
Marisa lalu terdiam. Tetapi sesaat kemudian ia pun bicara kembali, dengan topik pembicaraan yang lain. Tapi masih berhubungan dengan Zulian.
"Kalau suatu saat nanti, kamu berada dalam dua pilihan. Mana yang akan kamu pilih, diriku atau dirinya?" pertanyaan dari Marisa itu membuat Ketrien kesulitan untuk menjawab.
"Aku enggak tahu ...," timpal Ketrien lirih, dengan menundukkan wajahnya ke bawah. Tak berani menatap mata Marisa.
"Kamu harus memilihnya, aku atau dirinya?" tegas Marisa, yang seakan ingin meminta kepastian dari Ketrien, sesegera mungkin.
"Aku mau kamu dan dirinya, yang menjadi kekasihku." sahut Ketrien dengan penuh kebimbangannya yang tersirat dari ucapannya itu.
"Kamu harus memilih satu di antara kami berdua?" ujar Marisa dengan suara yang lebih tegas.
"Aku pilih Zulian," jawab Ketrien dengan tegasnya, yang membuat Marisa kecewa mendengarnya.
"Aku kecewa mendengar jawabanmu itu, Ket. Aku merasa apa yang kita jalani selama ini, itu adalah sebuah kesia-sian belaka ...," ujar Marisa, sambil mengepal telapak tangan kanannya.
"Aku rasa enggak begitu, kita sudah saling mengisi selama ini. Tapi kita pun harus menyadari dengan kenyataan di negara kita, kalau hubungan kita ini abnormal dan terlarang di mata masyarakat. Dan agama manapun yang dianut oleh negara kita," jelas Ketrein, sambil menatap ke arah laut bernaungan langit kelabu di depannya.
"Dengan kata lain, lebih baik kita akhiri hubungan kita ini?" tanya Marisa dengan nada keras.
"Bukan begitu, tapi kita harus dapat menerima semua kenyataan itu. Aku ingin memiliki pasangan resmi seorang lelaki, aku harap juga dengan dirimu. Memiliki pasangan resmi seorang lelaki," tutur Ketrien, berusaha memberi pengertian kepada Marisa. Yang tampak bangkit dari duduknya dan berjalan menjauhi Ketrien, lalu melompat ke pasir di bawah tanggul setinggi 1 meteran itu.
"Aku benci lelaki! semua lelaki itu b******n ...!" teriak Marisa, yang menggema di udara.
"Enggak semua lelaki seperti itu," timpal Ketrien, yang masih duduk di tanggul itu.
"Lebih baik, kamu tetap di sini. Aku ingin menenangkan diri. Menyusuri pantai ini. Jangan ikuti aku, karena aku yang akan menghampiri dirimu. Di saat keadaanku sudah tenang kembali ...," Marisa pun melangkahkan kakinya menyusuri tepian pantai itu. Dengan perasaan kacau balau nya itu.
"Oh Tuhan, apakah aku telah menyakiti hatinya?" tanya Ketrien di dalam hatinya itu
.
"Tetapi aku rasa, lebih baik jujur saat ini. Daripada nanti, di saat semuanya sudah terlambat ...," ujar Ketrien masih di dalam hatinya.
Katrien lalu mengganti posisi duduknya menghadap ke pantai, di mana terlihat Marisa yang semakin menjauhi dirinya. Dengan perasaan pedihnya. Yang begitu mengiris-iris hatinya