Bab 1. (Zulian yang Mirip Orang Korea)
Kabut pagi terlihat masih menyelimuti pegunungan di Priangan bagian timur, di Propinsi Jawa Barat. Sehingga membuat hawa dingin masih sangat terasa, menusuk tulang sumsum, bagi penduduk yang tinggal di daerah itu. Walaupun sebenarnya mereka sudah terbiasa, hidup dengan hawa dingin seperti itu. Akan tetapi tetap saja udara dingin itu masih terasa mempengaruhi tubuh mereka.
Tampak Matahari baru keluar dari peraduannya di langit timur. Sinarannya masih terlalu lemah. Untuk menghangatkan Bumi, diawal pagi itu. Akan tetapi hal itu tak menyurutkan niat Zulian, untuk mengunjungi pusara ibunya. Yang berada pada sebuah bukit di pinggiran Desa Cikoneng. Dengan hanya berjarak 200 meter, dari rumah neneknya, yang telah mengasuh dirinya sejak ia berumur 5 tahunan. Hingga kini Zulian berusia 22 tahunan, usia yang telah cukup matang untuk menikah, bagi ukuran desanya. Tetapi tidak untuk ukuran Jakarta, di mana usia seperti itu adalah. Usia yang dihabiskan untuk bersenang-senang. Atau paling tidak, di usia seperti itu, adalah usia untuk mewujudkan obsesi-obsesinya yang melayang-layang di langit impian mereka, yang masih muda.
Dan Zulian adalah tipe orang yang seperti itu, ia ingin mewujudkan obsesinya di Jakarta. Kota yang sangat diimpikan oleh para kaum urban dari segala pelosok Indonesia. Kota yang konon tak pernah mati. Hidup di siang maupun malamnya Bumi. Kota yang merupakan jantungnya Indonesia. Yang dipenuhi oleh gelora kehidupan manusia.
Sebenarnya Zulian bukanlah, pertama kali ini akan ke Jakarta. Beberapa tahun yang lalu. Ia pernah bersekolah di sebuah SMA di Jakarta, selama 1 tahun. Akan tetapi setelah lulus SMA, Zulian lalu kembali ke desanya. Untuk menemani neneknya. Yang sering sakit-sakitan, hingga hari ini. Baginya nenek dari pihak ibunya itu, merupakan harta yang paling berharga dalam hidupnya, yang ia miliki hingga saat ini. Namun demi obsesinya, pemuda itu pun mengambil sebuah keputusan untuk meninggalkan neneknya dan desanya. Ia ingin ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, demi masa depannya. Yang belum menentu sama sekali. Di dalam gambaran pikirannya.
Di Jakarta ia akan ikut dengan Kakaknya, yang sudah menjadi penduduk resmi Jakarta. Dan telah berkeluarga, sejak beberapa tahun yang lalu. Dengan seorang perempuan yang sebenarnya tak direstui oleh keluarga Zulian. Hanya saja kakaknya Zulian bersikeras tetap menikahi perempuan pujaan hatinya. Walaupun keluarga besarnya tetap tak menyetujuinya. Baginya perempuan pilihannya itu, adalah yang terbaik baginya untuk saat itu. Walaupun saat ini, dirinya mulai goyah dengan keyakinan hatinya itu. Cinta istrinya dipertanyakan oleh nuraninya, dengan sikapnya yang sudah tak seperti dulu lagi. Tak semanis saat diawal pernikahan mereka.
Setelah berjalan dan mendaki Bukit Astana, yang memiliki arti Bukit Makam dalam bahasa Indonesia. Karena memang bukit itu merupakan tempat pemakaman bagi penduduk Cikoneng, yang rata-rata memiliki kulit kuning mulus. Tetapi tak bermata kecil, seperti mata yang dimiliki oleh Zulian. Yang sering dipanggil Korea oleh penduduk setempat. karena memiliki karakter mirip aktor korea. Yang sering dilihat di film drama Korea. Yang dilihat melalui Televisi Nasional, dengan tangkapan parabola yang mereka miliki. Atau lewat YouTube di smartphone mereka. Hingga desa itu pun sudah seperti bagian dari pinggiran kota Jakarta saja. Semuanya sudah tersedia dengan sangat mudah. Akses ke segala arah pun sudah begitu mudah untuk dijangkau dengan berbagai kendaraan.
Ya, Walaupun desa itu berada di pegunungan. Akan tetapi teknologi seluler sudah merambah desa itu sejak lama. Hingga desa itu pun melek teknologi dan update berita terkini, yang sedang terjadi di seluruh dunia.
Akhirnya Zulian tiba di pusara ibunya, yang berada di bagian tengah bukit itu. Setelah melewati beberapa makam lainnya. Ia lalu duduk di samping pusara ibunya, yang tampak bersih dan terawat dengan baik. Matanya yang kecil, menatap ke arah nisan ibunya. Lalu menatap bunga mawar merah, yang tumbuh di tengah pusara ibunya, dengan tatapan mata yang penuh dengan kerinduan yang mendalam terhadap sosok ibunya. Yang sudah wafat sejak dirinya masih kecil. Hingga pemuda berwajah Korea itu. Hanya mengenal ibunya sebentar saja di dalam hidupnya. Yang bisa dibilang dipenuhi oleh nestapa. Yang harus ia lalui dengan penuh ketabahannya.
Sedangkan wajah ayahnya, Zulian tidak pernah mengetahuinya sama sekali seperti apa. Karena saat mengandung dirinya, ayah Zulian pergi ke luar negeri dan tak pernah kembali hingga saat ini.
"Ibu, aku akan ke Jakarta. Restui aku, agar aku bisa sukses di Jakarta. Aku ingin membuktikan pada dunia, bahwa aku bisa sukses dan menaklukan Jakarta," ucap Zulian lirih, seakan ia sedang berbicara dengan ibunya. Yang berada di dalam pusaranya.
"Ibu, kalau ibu masih hidup. Pasti ibu sangat menyayangiku. Sama seperti nini yang menyayangiku. Aku masih ingat, saat aku masih kecil. ibu selalu menggendong diriku. Hingga ibu tiada, tanpa aku mengerti. Kalau ibu telah pergi, meninggalkan diriku untuk selama-lamanya ...," tutur Zulian, berusaha untuk menahan segala kepedihannya, yang berkecamuk di dalam hatinya dengan sangat hebatnya. Tetapi air matanya tetap saja menetes yang membasahi wajah bertipe Koreanya. Tergerus oleh kepedihan yang sangat dalam.
Dan tiba-tiba saja ponsel Zulian bergetar lalu berdering, mengeluarkan nada panggil di ponsel android tipe lawasnya. Pemuda tampan itu, tampak sedikit terkejut dibuatnya dengan dana dering dan getaran dari ponselnya itu. Akan tetapi pemuda berkulit kuning itu, lalu mengambil ponsel androidnya dari dalam saku celana pendeknya. Ia lihat di layar ponsel layar sentuh 4 incinya itu, tertera nama 'A Rudy', nama dari Kakak kandungnya. Ia lalu menyentuh tanda menerima telepon pada ponsel dengan tangan kanannya. Lalu menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
Zulian hanya terdiam, menunggu reaksi dari kakaknya. Dan akhirnya Kakaknya pun angkat bicara terlebih dahulu. Di dalam hubungan seluler antar saudara kandung. Yang sering dipertanyakan kebenarannya. Jika mereka bersaudara kandung. Karena fisik dsn wajah kakak-beradik itu yang sangat berbeda. Oleh penduduk desa itu. Apalagi ayah mereka berdua tidak pernah pulang ke desa mereka selama ini. Karena sebenarnya ibunya Zulian dan Rudy lahir di Jakarta. Hanya nenek mereka yang merupakan asli kelahiran desa di pegunungan itu.
"Lian! kamu lagi di mana?" tanyanya dengan nada kesal. Memanggil nama panggilan Zulian.
"Lagi di makam ibu, A," jawab Zulian apa adanya, dengan nada yang lembut.Seakan anak kecil yang sangat penurut dengan kakaknya.
"Sebenarnya kamu niat tidak sih, ikut Aa ke Jakarta?" tanya Rudy dengan penuh kekesalannya, karena sudah menunggu Zulian sejak dari tadi. Padahal adik semata wayangnya itu, izin hanya sebentar saja pergi ke kuburan ibu mereka berdua. Tanpa ia berniat sama sekali untuk ikut menziarahi makam ibu kandungnya itu.
"Ya, niatlah A ...," timpal Zulian.
"Ya sudah, kalau kamu memang niat mau ikut ke Jakarta, cepat kamu pulang. Atau Aa akan tinggal!" ucap Rudy dengan tegasnya. Hingga membuat Zulian harus mengikuti kemauan kakaknya. Karena kalau tidak diikuti kemauan dari Rudy, Zulian takut benar-benar ditinggal pergi ke Jakarta oleh kakak kandungnya itu. Bisa saja di masa depan nanti, tidak akan ada lagi kesempatan kedua. Di mana Rudy bersedia untuk menampungnya tinggal di Jakarta dengan cuma-cuma alias gratis.
Bukannya pemuda berwajah Korea tidak berani pergi ke Jakarta seorang diri. Akan tetapi ia takut neneknya khawatir terhadap dirinya. Kalau dirinya pergi seorang diri ke Jakarta. Yang dikenalnya kejam dan keras, saat dirinya pernah tinggal di Jakarta di masa mudanya bersama keluarganya. Neneknya Zulian terlalu berpikiran yang berlebih-lebihan hingga menimbulkan kekhawatiran yang begitu besar terhadap cucu kesayangannya itu.
"Iya A, ini Lian mau pulang," sahut Zulian.
"Ya sudah cepat pulang, Aa tidak mau mendengar alasan kamu lagi." Rudy pun lalu menutup teleponnya tanpa berbasa-basi lagi. Seakan dirinya sudah benar-benar kesal terhadap adik semata wayangnya itu.
Setelah hubungan telepon seluler itu berakhir, Zulian lalu memasukan ponselnya kembali ke dalam saku celana pendeknya. Dan ia pun tetap duduk di samping pusara ibunya. Seakan enggan beranjak dari pusara ibu kandungnya. Karena dirinya sangat menyayangi ibunya itu. Tak ingin pergi meninggalkan pusara ibunya secepat ini.
"Ibu, mungkin aku akan lama meninggalkan dirimu. Dan tidak bisa lagi menemui mu untuk melihat Matahari terbit atau tenggelam di sini. Doakan saja aku ibu. Agar aku bisa meraih sukses di Jakarta. Sampai jumpa lagi, ibuku tercinta."
Zulian lalu berdiri dan melangkahkan kakinya, meninggalkan pemakaman di atas Bukit Astana. Dengan membawa segala kerinduannya terhadap sosok ibunya selama ini. Sosok yang hanya sebentar saja menemaninya hidup. Sosok yang sangat dirindukan dan diharapkan benar-benar ada di dalam hidupnya. Tapi paling tidak sosok ibunya pernah mengisi hari-hari di masa kecilnya. Dibandingkan sosok ayahnya yang tidak ia ketahui sama sekali, seperti apa wajah dan fisiknya itu.