Arsene baru saja menyelesaikan rapat dengan salah satu klien hingga sore hari. Ketika hendak kembali ke ruangan, tanpa sengaja dirinya berpapasan dengan Kimora yang hendak bersiap untuk pulang.
"Kimora, pekerjaanmu sudah selesai?"
Mendengar namanya dipanggil, Kimora langsung menoleh. Menyunggingkan senyum, wanita itu menjawab dengan ramah.
"Sudah selesai. Itu sebabnya aku sudah bersiap-siap untuk pulang."
Arsene mengangguk paham. Mengarahkan tangannya ke udara, memberikan isyarat kepada Kimora agar tidak beranjak kemana pun.
"Kalau begitu, kau tunggu di sini sebentar. Biar aku ambil tas kerja terlebih dahulu, lalu kita pulang sama-sama sore ini."
Kimora tidak menolak. Wanita itu mengiyakan saja ajakan Arsene. Ia bahkan senang kalau setiap harinya bisa pulang pergi bersama layaknya pasangan kebanyakan. Anggap saja latihan sebelum menjadi istri sesungguhnya.
"Ayo, kita ke mobil," pinta Arsene setelah kembali membawa tas kerja yang ia ambil sebelumnya.
Belum lagi mobil yang dikendarai Arsene beranjak pergi meninggalkan areal parkir VIP, ponsel pria itu berdering. Tampak sebuah panggilan dari seseorang memaksa untuk segera diangkat. Melirik siapa penelponnya, buru-buru Arsene menerima panggilan itu. Jangan sampai kesempatan baik ini hilang karena ia ceroboh mengabaikan.
"Halo, nona Olivia," sahut Arsene dengan lembut. Bahkan terkesan manis.
Demi Tuhan, siapa pun yang mendengar suara pria itu pasti akan terbuai. Kimora yang duduk di sebelahnya bahkan sampai menoleh karena heran dengan sikap yang Arsene tunjukkan.
"Hai ... kau ada di mana? Apa masih di kantor?" tanya Olivia ingin tahu.
"Aku baru saja selesai kerja dan berencana untuk pulang. Kau sendiri bagaimana?"
"Well, aku sedang menunggu supir untuk menjemput. Itu sebabnya, demi menghilangkan rasa bosan, aku memilih untuk menelponmu."
"Ah, begitu rupanya," gumam Arsene. Lalu satu ide muncul di kepalanya. "Bagaimana kalau kau ku antarkan pulang saja sekalian?" tawar pria itu sungguh-sungguh.
"Tidak, Arsene. Tidak perlu repot-repot. Lagi pula, supir sedang dalam perjalanan menjemputku."
"Tidak apa-apa, Olivia," bujuk Arsene sekali lagi. "Tentu saja ini sama sekali tidak merepotkan. Apa kau lupa kantorku hanya beda berapa blok saja dari gedung tempatmu melakukan pemotretan?"
"Ya, aku tahu," jawab wanita di seberang sana. "Tapi ---"
"Tidak perlu sungkan Olivia. Kau seperti orang yang baru mengenalku saja."
Hening sejenak. Lalu tak lama Olivia menyetujui ajakan Arsene. "Kalau begitu aku akan menelpon supir agar tidak perlu menjemputku."
Sambil memegangi ponselnya, tanpa terasa Arsene tersenyum. Entah senyum tulus atau ada makna lain yang tersirat di sana. "Baiklah. Kau tunggu saja sebentar. Lima sampai sepuluh menit lagi aku akan sampai di sana."
Selepas mengakhiri panggilan, Arsene langsung mengarahkan mobilnya menuju tempat di mana Olivia bekerja. Ikut mendengar serta memperhatikan gerak gerik Arsene sedari tadi, Kimora yang kini tengah menatap jalanan sekitar, memberanikan diri untuk bertanya pada pria itu.
"Are you seriously, Arsene? Kau ingin menjemput Olivia sekarang juga?"
Sambil fokus dengan jalanan di depannya, Arsene terlihat mengangguk. Tentu saja ia serius dengan keputusan ini.
"Iya, Kimora. Aku akan menjemput lalu mengantarkannya pulang. Kau pasti tahu apa yang menjadi alasannya. Maka dari itu, aku tidak boleh melewatkan sedikit pun kesempatan ini."
"Kau benar-benar ingin menarik perhatian Olivia?" Sekali lagi Kimora memastikan.
"Tentu saja. Aku ingin membuatnya terkesan dengan segala perhatian yang ku berikan. Kalau perlu, Olivia harus tergila-gila padaku."
Kimora langsung menoleh ke arah Arsene. Entah kenapa, mendengar pria itu ingin memberikan seluruh perhatian bahkan berniat untuk membuat Olivia tergila-gila membuatnya sedikit tidak rela. Perasaan cemburu langsung menyergap. Bisikan dalam batin Kimora kentara terdengar. Ia tidak ingin pria yang ia sayang dan cinta berbagi perhatian pada wanita lain.
"Sejujurnya, aku tidak rela kau melakukan rencana ini, Arsene," gumam Kimora dengan lirih.
"Kenapa? Kalau ini tidak ku lakukan, bagaimana caranya aku mendapatkan hati Olivia?"
Kimora menghela napasnya dalam-dalam. Menggeleng pelan, wanita itu membalas ucapan Arsene.
"Aku hanya takut, pada akhirnya kau benar-benar jatuh cinta pada wanita itu."
Terdengar tawa berderai dari bibir Arsene setelah Kimora menyelesaikan kalimatnya. Padahal tidak ada sedikit pun yang lucu dari apa yang wanita itu ungkapkan.
"Mana mungkin aku jatuh cinta pada putri yang ayahnya jelas-jelas menghancurkan keluargaku, Kimora."
Tawa dibibir Arsene seketika lenyap. Tergantikan begitu saja dengan aura kebencian yang sudah tidak terbendung. Kedua tangan pria itu bahkan tampak mencengkram stir kemudi begitu erat. Sampai-sampai buku jarinya memutih keseluruhan.
"Tujuan hidupku saat ini memang satu," lanjut Arsene. "Mendapatkan wanita itu lalu membuatnya menderita. Setelah puas, giliran keluarga Adelaide lainnya yang akan mendapatkan pembalasan."
Kimora mengamati wajah Arsene lekat-lekat. Melihat bagaimana wajah yang biasa menampilkan kesan hangat itu berubah dingin seketika. Arsene layaknya pria dengan dua kepribadian berbeda. Di satu sisi, ia bisa terlihat begitu jahat layaknya iblis tanpa belas kasih. Tapi di sisi lain, ia bisa berubah begitu manis seperti malaikat di cerita-cerita dongeng yang sering kita baca.
Terbukti, ketika mobil yang Arsene kemudikan sampai di gedung tempat Olivia bekerja, raut wajah pria itu langsung berubah santai. Senyum bahkan kembali terpulas di bibirnya. Pun ketika menegur Olivia, seolah tidak ada rasa benci sedikit pun pada wanita itu.
"Hai ... " Arsene sengaja keluar dari mobil demi menyusuli Olivia yang berdiri menunggu di depan gedung. "Ayo kita ke mobil," tunjuk Arsene pada mobil hitam miliknya yang terparkir rapi di pelataran gedung.
Tanpa ragu, wanita itu mengekori langkah Arsene. Mengikuti arahan untuk duduk di kursi penumpang yang ada di belakang. Setelah duduk dengan nyaman, Olivia dibuat terkesiap ketika mendapati keberadaan Kimora. Dari sini ia tahu kenapa Arsene memintanya untuk duduk di belakang.
"Hai Olivia," sapa Kimora dengan ramah. Ia bahkan sampai menoleh ke arah belakang demi melihat secara langsung wajah Olivia. "Senang bisa bertemu denganmu lagi."
"Hai ... " balas Olivia. Walau merasa sedikit tidak enak, tetap saja ia harus memasang wajah tak kalah ramah. "Jadi sedari tadi kau bersama Arsene?"
Kimora mengangguk. Tapi belum sempat menyahut, Arsene yang sudah masuk ke mobil, mengambil alih perbincangan. "Kimora, karena jarak rumah kita lebih dekat, aku antar kau terlebih dulu pulang ke rumah, setelah itu akan mengantarkan Olivia."
"Baiklah. Kau atur saja bagaimana enaknya."
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, ketiganya tampak berbincang santai. Sesekali Kimora melempar pertanyaan kepada Olivia seolah ingin terlihat akrab dengan wanita itu. Pun Olivia juga melakukan hal yang sama hingga mobil yang Arsene kendarai berhenti tepat di depan kediaman pria itu.
"Aku turun dulu," pamit Kimora kepada Arsene. Lalu tanpa canggung ia mendekatkan wajahnya. Detik kemudian mengecup singkat pipi kanan Arsene seolah hal itu adalah kegiatan wajar yang sering mereka berdua lakukan. "Kalian berdua hati-hati di jalan."
Olivia dari kursi belakang hanya diam memerhatikan. Ketika mobil Arsene kembali melaju membelah jalanan kota London, dihinggapi rasa penasaran ia langsung melayangkan pertanyaan pada pria itu.
"Maaf kalau pertanyaanku sedikit mengarah ke privacy. Tapi kalau ku lihat-lihat Kimora benar-benar dekat denganmu."
Arsene mengintip wajah Olivia dari balik kaca spion yang ada di tengah. Memperhatikan wanita itu lalu menanggapi pertanyaannya.
"Seperti yang pernah ku ceritakan sebelumnya, aku dan Kimora memang dekat seperti saudara kandung. Aku bahkan sudah menganggapnya seperti adik sendiri."
Olivia mengangguk-angguk.
"Ku pikir kalian memiliki hubungan spesial. Tapi sebagai wanita, aku merasa Kimora memiliki perasaan lebih padamu. Terlihat dari gesture dan caranya memandang, aku yakin dia menganggapmu lebih dari saudara."
"Benarkah?" Arsene terkekeh pelan. "Lalu bagaimana?"
Olivia terperangah kemudian mengerjap.
"Bagaimana apanya?" tanyanya sedikit bingung.
"Iya." Arsene kali ini mengangguk. Masih fokus dengan jalan di depannya, pria itu kembali bertanya. "Kalau Kimora memiliki perasaan padaku, apa kau tidak cemburu sedikit pun?"
"A-aku?" tanya Olivia tergugu. Lebih ke arah syok sebenarnya. Mana ia menyangka kalau tiba-tiba Arsene melayangkan pertanyaan seperti itu.
"Iya. Tapi mau Kimora suka padaku sekali pun, tetap saja percuma. Karena pada kenyataannya aku lebih menyukaimu, Olivia."
"Arsene ... "
Olivia langsung tebengong. Wajahnya seketika bersemu merah. Mungkin karena malu, kegirangan atau entahlah karena apa. Yang pasti perasaannya langsung tidak karuan setelah mendengar kalimat Arsene yang lagi-lagi sengaja menggodanya.
"Kita sudah sampai, Olivia."
Ucapan Arsene langsung menyadarkan Olivia yang pikirannya sempat melayang ke mana-mana. Mengerjapkan mata berulang kali, Olivia meraih tas yang ia bawa. Sebelum keluar dari mobil, ia berinisiatif untuk mengajak pria itu singgah ke kediamannya.
"Kau tidak ingin singgah dulu?"
Arsene menoleh ke belakang. Lalu menatap wajah Olivia dengan tatapan menggoda.
"Apa ini semacam ajakan untuk makan malam bersama?" Arsene kemudian melirik Jaeger-LeCoultre hitam yang melilit di pergelangan tangannya sambil berkata-kata lagi. "Sekarang sudah waktunya untuk makan malam, kan?"
"Kalau kau mau, aku bisa memasak sesuatu untuk kita santap bersama malam ini."
"Baiklah kalau kau memaksa." Arsene mengangguk. "Lagi pula, rugi sekali menolak ajakan wanita cantik sepertimu."
Olivia langsung tertawa. Ya, Tuhan. Kenapa ada pria semanis ini.
"Dasar gombal!"
Keduanya kemudian sama-sama turun dan langsung memasuki apartemen milik Olivia. Sementara wanita itu menyiapkan makan malam, Arsene memilih untuk melihat-lihat majalah dari berbagai macam brand yang modelnya sendiri adalah Olivia.
Senyum terus Arsene sunggingkan. Entah apa maksud dari senyum ini. Yang pasti ia begitu menikmati perannya ketika berada di kediaman Olivia.
"Arsene, kemari," panggil Olivia meminta Arsene untuk menghampirinya di meja makan. "Makan malamnya sudah bisa disantap."
Arsene mengangguk kemudian bangkit dari duduk. Berjalan mendekati meja makan, aroma masakan sudah menguar tajam memanjakan indra penciumannya. Begitu Arsene duduk di kursi makan, Olivia langsung menyodorkan sepiring makanan yang belum pernah ia coba sebelumnya.
"Ini namanya beef bulgogi. Ini makanan khas Korea. Aku memasaknya spesial untukmu dan ku harap kau mau mencoba dan menyukainya," jelas Olivia kemudian menyodorkan sendok ke arah Arsene. Meminta pria itu untuk menyantap apa yang baru saja ia masak.
Pelan-pelan Arsene menyedok beef belly di piringnya lalu mengarahkan ke mulut kemudian mengunyahnya dengan sangat hati-hati. Berusaha sekali mencecap, merasakan pelan-pelan sensasi berbagai rasa yang timbul di mulutnya.
"Astaga, ini enak," ucapnya jujur, sambil terus menyendok beef bulgogi tersebut ke mulutnya. Tampak sekali Arsene memang menikmati makanan Asia yang sebelumnya memang tidak pernah ia makan. "Kau memiliki skill memasak juga? Aku tidak berlebihan, tapi makanan ini memang enak," ungkapnya.
Olivia tersenyum lalu mengangguk. Merasa tersanjung dengan pujian yang Arsene berikan. Terkesan tulus tidak berlebihan atau dibuat-buat. Terlihat dari cara pria itu menikmati tiap suapan yang masuk ke mulutnya.
"Aku memang suka masakan Asia. Asal kau tahu, sebelum terjun ke dunia model, aku bercita-cita menjadi seorang Chef internasional," cerita Olivia.
"Lalu, kenapa kau tidak melanjutkan mimpimu?"
Olivia kemudian menggeleng. Wajahnya tiba-tiba mengelam, seolah teringat kejadian buruk di masa lalu.
"Dulu, aku pernah mengikuti kontes memasak dengan skala internasional. Salah satu juri menghina masakanku. Dan kejadian itu benar-benar membuatku patah hati. Itu sebabnya, aku tidak melanjutkan lagi keinginanku untuk menjadi seorang Chef."
"Ya Tuhan." Arsene berseru tidak percaya. "Harusnya, pengalaman itu kau jadikan pelajaran untuk bangkit dan buktikan kepada mereka yang pernah menjatuhkanmu kalau kau bisa lebih bersinar dari pada mereka."
"Ya, kau benar," kata Olivia seraya tersenyum tipis. "Harusnya aku tidak menyerah kala itu. Memang hatiku saja yang terlalu lemah. Tapi sekarang, aku sudah banyak belajar. Tidak ada lagi yang boleh meremehkan segala kemanpuanku."
Arsene tersenyum lalu kembali melanjutkan makannya. Setelah sepiring beef bulgogi habis disantap, keduanya berpindah ke ruang televisi. Bersantai sejenak sambil kembali bertukar cerita satu sama lain.
"Pasti sangat sepi tinggal sendiri di sini," kata Arsene sambil mengedarkan tatapannya ke seluruh sudut ruangan. "Apartemenmu cukup besar untuk ukuran wanita yang tinggal sendiri."
"Kau benar." Olivia setuju dengan tebakan pria di sebelahnya. "Dulu awal-awal pindah, aku sempat merasa sepi. Tapi sekarang tidak lagi. Ada banyak orang baik yang ku kenal bahkan mau menjadi temanku termasuk dirimu."
Arsene tersenyum tulus. Menyudahi perbincangan, pria itu bermaksud untuk pamit.
"Olivia, sudah malam, sepertinya aku harus pulang. Lagi pula aku belum mandi. Malu sekali kalau kau mencium aroma tubuhku yang tidak enak ini," seloroh Arsene sambil tertawa.
"Tentu saja tidak. Aku bahkan suka aroma citrus bercampur woody yang kau kenakan. Pasti merknya Christian Dior Eau Sauvage, kan?" tebak Olivia begitu yakin.
"Astaga. Kau benar sekali. Itu memang merk parfum yang selalu aku kenakan. Bagaimana bisa kau tahu?" tanya Arsene dengan mimik kagum.
"Asal kau tahu juga. Itu adalah salah satu parfum favoritku. Itu sebabnya aku bisa hapal aroma yang kau kenakan."
Arsene masih tersenyum. Raut penuh kagum itu tidak sedikit pun enyah dari wajah tampannya. Padahal, dari Mario sang asisten ia tahu kalau Olivia memang menyukai parfum dengan aroma ini.
"Kalau ku pikir-pikir, kita memiliki banyak sekali kesamaan."
"Kau benar." Olivia menimpali. "Aku juga heran kenapa merasa sangat cocok denganmu."
"Sudah ku katakan kita sepertinya memang jodoh, Olivia," sahut Arsene seraya mengerlingkan mata dengan genit. Sengaja sekali menggoda Olivia hingga wanita itu salah tingkah.
"Ku mohon Arsene, jangan suka menggodaku. Nanti kalau aku benar-benar menyukaimu, bagimana?"
"Ya kita teruskan saja hubungan ini," jawab Arsene sekenanya. Yang mana kembali membuat Olivia terperangah. Kenapa pria ini suka sekali mempermainkan kinerja jantungnya!
"Astaga. Sepertinya kita harus menyudahi pertemuan hari ini. Aku bisa benar-benar gila kalau begini terus."
Tawa berderai dari bibir keduanya. Beranjak berdiri, Arsene bermaksud untuk pamit. Ketika dirinya sudah keluar apartemen dan siap untuk melangkah menuju mobil, sekali lagi Arsene mengajak Olivia berbicara. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
"Olivia, aku tidak tahu kau mau atau tidak menerima ajakanku ini. Tapi sejujurnya, aku ingin mengajakmu makan malam bersama di akhir pekan nanti."
"Kau ingin mengajakku berkencan?" tebak Olivia. Sebenarnya ia hanya bercanda, tapi Arsene malah mengiyakan pertanyaan yang terlontar dari bibirnya.
"Anggap saja aku memang mengajakmu berkencan. Itu sebabnya, ku harap kau mau menerima ajakanku kali ini."
Lagi, detak jantung yang seperti menabuh genderang membuat Olivia sulit bernapas. Sepasang netra birunya bahkan tidak berpaling sedikit pun. Segala sikap manis, canda, serta godaan yang Arsene layangkan membuatnya semakin kesulitan mengontrol perasaan yang hinggap. Yang Olivia yakini, Arsene memang serius dengan ajakannya kali ini. Itu sebabnya tanpa banyak berpikir ia refleks mengangguk sebagai tanda setuju.
"Oke, aku akan bersiap-siap akhir pekan nanti. Kabari saja jam berapa kau akan menjemputku."
Setelah bayangan Arsene menghilang dari pandangan, buru-buru Olivia menutup pintu apartemen. Sambil memegangi dadanya yang masih bergedup tidak karuan, ia terus merapalkan kalimat syukur karena tidak pingsan di depan pria itu.
.
.
(Bersambung)
.
====Pengetahuan Umum===
Beef Bulgogi : adalah olahan daging asal Korea. Daging yang digunakan antara lain daging sirloin atau bagian daging sapi pilihan. Bumbu bulgogi adalah campuran kecap asin dan gula ditambah rempah lain bergantung pada resep dan daerah di Korea. Makanan ini juga hits banget di indonesia.