9. Investigate

2152 Words
"Bagaimana Fabio, apa kau sudah mendapatkan apa yang aku minta?" Suara itu terdengar tenang, tapi tetap saja dipenuhi dengan aura ketegasan yang mendebarkan jantung. Membuat hawa di dalam ruangan seketika menegang. Oliver, tampak menyandarkan kedua sikunya pada meja kerja. Pandangan pria itu lurus nan tajam ke arah pria lain yang kini tengah berdiri tegap di depannya. Menunggu dengan sangat, laporan penting apa yang bisa ia dapat hari ini. "Apa yang Anda pinta sudah saya rangkum dalam satu dokumen, Tuan. Silakan dibaca dan diperiksa terlebih dahulu." Pria bernama Fabio itu secepat kilat langsung beranjak untuk melangkah maju, lalu menyerahkan satu map berwarna cokelat kepada Oliver. Jangan ditanya, bagaimana susahnya ia mengumpulkan semua dokumen ini demi memuaskan hati sang Tuan. "Lalu, bagaimana dengan Raymond Adeliade? Apa kau sudah dapatkan juga?" Sekali lagi Oliver bertanya sembari meraih dokumen pemberian dari orang kepercayaannya itu. "Ya, Tuan," sahutnya cepat. "Semuanya sudah saya lampirkan dalam satu map yang saat ini sedang Anda pegang." Oliver mengangguk seraya tersenyum. Pelan-pelan mulai mengarahkan matanya untuk membaca lembaran yang baru saja Fabio berikan. Meneliti dengan seksama, apakah ada informasi penting yang bisa ia pergunakan untuk menunjang segala rencana yang tengah ia susun. Fabio Saramossa sendiri adalah pria keturunan Italia yang mengabdikan dirinya lebih dari 20 tahun kepada Oliver. Sebagai tangan kanan atau orang kepercayaan, Fabio sudah begitu banyak menjalankan tugas dari yang biasa sampai yang berbahaya sekali pun. Baginya, ucapan Oliver adalah titah. Haram hukumnya membantah, apalagi sampai gagal menjalankan perintah. Beberapa tahun terakhir, semenjak Arsene menyandang status yatim piatu, Fabio bahkan ditugaskan oleh Oliver untuk memperhatikan, mengikuti, lalu melaporkan segala kegiatan yang pria muda itu lakukan di luar sana. Tidak satu pun gerak geriknya yang lolos dari pengawasan Fabio. Pun soal kedekatannya dengan Olivia baru-baru ini. Hal terkecil sekali pun, Fabio bahkan mengetahuinya. "Jadi, semalam Arsene kembali bertandang ke rumah gadis itu?" Dalam posisi masih membaca berkas di tangannya, Oliver kembali melayangkan pertanyaan. Lalu tak lama ia mendongak. Ekpresinya menggambarkan seolah ia tengah mengingat sesuatu hal penting untuk kemudian ditanyakan. "Omong-omong soal alat penyadap yang ingin kau pasang di kediaman gadis itu, apa sudah kau lakukan?" Fabio mengangguk. "Sudah saya lakukan seminggu yang lalu, Tuan. Saya sengaja menyamar menjadi petugas kebersihan, lalu memasang alat tersebut di beberapa sudut ruangan apartemen. Itu sebabnya, saya tahu kalau semalam Tuan Arsene dan nona Olivia menghabiskan waktu untuk makan malam dan saling berbincang." Oliver mengetatkan rahangnya. Semua ekspresi wajah Fabio tidak luput sedikit pun dari pandangannya. "Lalu apa yang mereka bicarakan." "Hanya sekedar basa-basi layaknya pasangan yang sedang pendekatan," jawab Fabio hati-hati. "Tapi, saya juga dengar kalau akhir pekan nanti, Tuan Arsene akan mengajak Nona Olivia untuk makan malam bersama." Mata Oliver langsung menyipit. "Maksudmu mereka akan berkencan?" Fabio menganggukkan kepala. Membenarkan tebakan Oliver. "Sepertinya Tuan Arsene memang sedang bergerilya untuk mendapatkan hati nona Olivia secepatnya." "Olivia yang malang." Oliver tampak tersenyum kasihan. "Harusnya kau tidak menjadi korban atas perbuatan ayahmu." Ada jeda sebelum Oliver melanjutkan obrolan. Menyandarkan bahu pada kursi, pria bermata elang itu membawa tangan kirinya untuk mengusap lembut dagunya. Sementara tangan kanannya masih sibuk memegang berkas laporan pemberian Fabio. Pria itu tampak sekali tengah berpikir. Atau mungkin saja tengah menyusun starategi, rencana apalagi yang harus ia lakukan setelah ini. "Kau awasi saja terus mereka berdua. Kalau ada yang mencurigakan, segera kabari aku secepatnya. Aku tidak ingin Arsene melakukan hal bodoh di luar sana!" Lalu pria itu kembali membaca berkas di tangannya pelan-pelan. Mencerna satu per satu laporan beserta gambar yang tertera di sana. Sampai tak berapa lama, ia menemukan sesuatu yang mengganjal hatinya. "Apa informasi kepulangan Raymond Adelaide ke Inggris kali ini bisa dipertanggung jawabkan? Kau tahu sendiri, aku paling benci sesuatu yang tidak pasti apalagi sampai meleset." Pertanyaan menohok itu menggaung di udara, membuat keheningan seketika melanda. Nada pertanyaan ini sebenarnya biasa saja bahkan tidak mengubah sedikit pun ekspresi Oliver. Hanya saja, Fabio tidak menduga kalau Tuannya melontarkan pertanyaan seperti itu. Seolah ragu dengan apa yang baru saja ia baca. Fabio tahu, sudah lama Oliver menunggu momen ini. Alih-alih mengejar atau mendesak Raymond untuk kembali ke Inggris, ia membiarkan semua prosesnya berjalan senatural mungkin. "Tentu saja, Tuan. Dari sumber yang dipercaya, Raymond akan datang ke London awal bulan depan. Ada bisnis fantastis yang memaksanya untuk kembali menginjakkan kaki ke London," sahut Fabio mengurai rasa sangsi yang memenuhi otak Oliver. Sejenak Oliver terdiam. Matanya sibuk mengawasi ekspresi Fabio, seolah hendak meyakinkan dirinya. "Aku penasaran, bagaimana reaksinya nanti bila bertemu dengan Arsene," gumam Oliver kemudian. "Bukannya Raymond Adelaide tidak pernah sekali pun bertemu dengan Arsene?" Oliver mengangguk lalu tersenyum sinis. "Tidak pernah, Fabio. Setelah kecelakaan yang menimpa Andrew Geraldo, Raymond menghilang begitu saja. Kau sendiri bahkan sampai sulit menemukan keberadaannya, kan? Selain pintar memanipulasi, tikus itu juga pintar menyembunyikan keberadannya." "Benar, Tuan," sahut Fabio. "Entah kenapa, aku sangat yakin begitu Raymond tahu siapa Arsene, ia akan bersusah payah untuk meyakinkan kalau dirinya merasa tidak enak atas kematian Andrew," tebak Oliver. Sudah lama ia menganalisis kejadian ini. Segala upaya juga sudah jauh-jauh hari Olivier perhitungkan agar dirinya tidak sedikit pun salah mengambil langkah. "Sungguh, Fabio. Aku tidak ingin Arsene terhasut lalu berubah meragu apalagi sampai menyangsikan semua cerita yang sudah ku sampaikan. Itu sebabnya, ia harus selalu di bawah kontrolku." Sekali lagi Fabio mengangguk setuju dengan apa yang Tuannya ungkapkan. Ia tahu benar segala rencana yang selama ini sudah Oliver persiapkan. "Saya akan melakukan apa saja untuk melancarkan semua rencana yang sudah Tuan susun," ujarnya dalam satu tarikan napas. Begitu yakin. Tidak sedikit pun nampak keraguan di sana. Seiring dengan selesainya ucapan Fabio, Oliver lantas menyeringai. Senyumnya yang khas membuat siapa pun pasti sulit menebak apa yang tengah ia pikirkan. "Kalau begitu, kau harus bekerja ekstra cepat, Fabio. Segera temukan memori dash camera dari mobil milik Raymond yang sampai detik ini hilang entah ke mana. Jangan sampai pria itu yang memukan lebih dulu atau tamatlah riwayat kita semua." "Baik, Tuan," sahut Fabio dengan tegas lalu menyingkir dari hadapan Oliver. *** Arsene dan Kimora tampak sibuk memperhatikan presentasi salah satu kontraktor di ruang pertemuan. Keduanya dibuat takjub dengan penjelasan soal master plan proyek pembangunan smart city yang akan running beberapa bulan ke depan. Exon corporation sebagai perusahaan kontruksi ternama, terpilih untuk melakukan joint venture* dengan perusahaan besar lainnya. Sudah bisa dibayangkan, ada banyak keuntungan yang akan Arsene dapatkan setelah proyek bergengsi ini selesai dikerjakan. "Karena kesepakatan sudah mencapai final, maka peletakan batu pertama akan dimulai bulan depan. Sebagai perusahaan nomor satu yang tengah naik daun, kami mengundang secara resmi Mr. Arsene Tobias Geraldo untuk memimpin acara peresmian nantinya," ucap pria yang tengah berdiri tak jauh dari papan presentasi. Mendengar namanya disebut, Arsene dengan sopan langsung berdiri. Membungkukkan sedikit tubuhnya. Mengucap terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Sebagai seorang juniorr yang masih baru berkecimpung di dunia bisnis, ia berhasil menarik perhatian orang banyak atas gagasan serta ide-ide briliant yang ia punya. "Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Selaku pemimpin Exon Corporation sekaligus bagian dari proyek fantastis ini, saya berharap bisa memberikan kontribusi terbaik hingga kedepannya mampu bekerja sama serta membantu perusahaan lainnya untuk meuwujudkan mimpi besar ini menjadi kenyataan." Semua langsung memberikan tepuk tangan. Tidak terkeculi Kimora. Ia tampak memandang kagum pria yang di gadang-gadang akan menjadi suaminya tersebut. Arsene, memanglah sosok sempurna yang pantas menjadi idaman para wanita di luar sana. "Aku senang melihatmu percaya diri seperti ini, Arsene. Aura kepemimpinanmu memang jelas terlihat," ungkap Kimora saat mereka berdua tengah melangkah santai meninggalkan ruang pertemuan. "Aku begini karena ayahmu, Kimora. Segala pelajaran yang sudah Uncle Oliver berikan, benar-benar berguna untuk hidupku sekarang. Entah, jadi apa diriku bila tidak bertemu kalian berdua," ucap Arsene dengan bangga. Tidak dipungkiri, sedikit banyak keberhasilan yang ia dapat karena campur tangan Oliver sebelumnya. "Tidak perlu sungkan." Kimora tersenyum. "Kau memang pantas mendapatkannya. Lagi pula, kemampuanmu sendiri memang tidak perlu diragukan. Papa hanya mengasah bakatmu agar lebih terlihat." Di sela perbincangan keduanya, ponsel Arsene terdengar berdering. Buru-buru pria itu meraih benda pintar tersebut lalu menerima panggilan dari seseorang di seberang sana. "Halo, Olivia." Mendengar nama Olivia disebut, Kimora langsung menoleh. Menajamkan pendengaran, ia berusaha untuk mencuri-curi dengar apa yang sedang Arsene bicarakan di telponnya. "Arsene, maaf aku tiba-tiba menghubungimu. Apa kau sedang sibuk?" tanya Olivia. "Tidak, aku baru saja menyelesaikan pekerjaan. Saat ini sedang istirahat. Ada apa? Kau perlu bantuanku?" Arsene tampak ingin tahu. "Sebenarnya ... " Olivia tampak menjeda sebentar ucapannya. Yang mana semakin membuat Arsene penasaran. "Iya, Olivia. Sebenarnya apa?" "Sebenarnya ... aku ingin mengajakmu makan siang. Apa kau bersedia?" "Oh, Astaga." Arsene refleks berseru. Tak lama kemudian pria itu tertawa. "Ku pikir ada apa. Tentu saja aku bersedia. Jelas tidak mungkin kalau aku menolak ajakan wanita cantik sepertimu, Olivia," goda Arsene. "Ah, dasar penggoda. Kalau begitu, apa kau juga bersedia menjemputku di tempat kerja? Setelah itu kita pergi ke restoran bersama-sama," pinta Olivia dengan sopan. "Baiklah. Kau tunggu sebentar. Sekarang juga aku akan menjemputmu." "Sampai jumpa, Arsene." Lalu panggilan itu ditutup begitu saja. Kimora yang melihat Arsene hendak beranjak pergi, buru-buru menahan langkah pria itu sejenak. Paling tidak, ia ingin tahu secara langsung apa yang akan Arsene lakukan setelah ini. "Mau ke mana?" tanyanya tanpa basa-basi. "Aku harus menjemput Olivia sekarang juga, Kimora. Dia mengajakku untuk menyantap makan siang bersama." "Dan kau meninggalkanku begitu saja?" Suara Kimora merendah tetapi ada makna dalam yang terselip di sana. Sorot matanya yang berubah sendu mengisyaratkan seolah-olah ia tidak rela kalau Arsene pergi meninggalkannya demi wanita lain. Itu sebabnya, Arsene memutar badan. Menangkup kedua pipi Kimora lalu berkata-kata lirih. "Aku harus melakukan ini Kimora. Tidak perlu ku jelaskan lagi apa tujuanku mendekati wanita itu, kan?" Kimora mengangguk pelan. Tangannya terulur menyingkirkan kedua tangan Arsene dari wajahnya. "Aku tahu. Tidak perlu ku jelaskan juga kalau aku takut kau benar-benar jatuh ---" "Kimora, Stop!" potong Arsene. "Yang kau khawatirkan tidak akan pernah terjadi. Untuk itu, berhenti berpikiran buruk." "Tapi, Arsene! Kalau sikapmu terus manis seperti ini, aku yakin suatu saat nanti kau akan benar-benar menyukai Olivia lalu melupakanku begitu saja." "Tidak akan, Kimora!" bantah Arsene sekali lagi. "Arsne, kali ku mohon. Hentikan bermain-main seperti ini," ucap Kimora dengan lirih. Namun, Arsene tidak perduli. Belum lagi selesai kalimat yang Kimora sampaikan, pria itu buru-buru pergi. Meninggalkan Kimora begitu saja yang terdiam karena tidak bisa melakukan apa-apa. Sesampainya di tempat kerja Olivia, Arsene langsung mempersilakan wanita itu untuk masuk. Lalu setelahnya mereka pergi ke salah satu restoran Asia yang menjadi langganann Olivia selama ini. Sambil sibuk memilih menu, keduanya saling melempar percakapan. Yang tidak biasa, Olivia nampak terus-terusan menyunggingkan senyum ke arah Arsene. Entah apa yang tengah ia pikirkan. Yang jelas, hal ini membuat pria di depannya sampai keheranan. "Kenapa kau memandangiku seperti itu, Olivia? Aku tahu kalau wajahku memang tampan. Tapi dipandangi terus-terusan seperti ini, bisa membuatku salah tingkah juga," ungkap Arsene sambil melempar senyum. Olivia tentu saja langsung terkekeh. Sambil menggeleng, ia menjawab rasa keingintahuan Arsene sedari tadi. "Entahlah, aku merasa senang saja melihatmu." "Bilang saja kau sedang jatuh cinta padaku," celetuk Arsene tanpa basa basi lagi. "Oh, Ya ampun, Arsene. Kau memang percaya diri sekali," protes Olivia seraya berdecak. Tapi tak lama ia tersenyum lagi. Gemas sekali melihat ekspresi wajah yang Arsene tunjukkan. "Percaya diri memang perlu, Olivia. Sebagai pemimpin, kau harus terlihat percaya diri agar bisa meyakinkan rekan kerja atau rival yang sedang kau hadapi." Olivia mengangguk setuju. "Kau benar. Apa pun itu, kita memang harus percaya diri." Olivia lantas menyedot orange juice dari sedotan stainless di gelasnya. Membahasi tenggorokan yang kering sebelum kembali berbincang. "Dari semalam, aku terpikirkan sesuatu." Arsene mengangkat wajah. Ditatapnya lekat-lekat manik biru milik Olivia. Lalu tak lama ikut bertanya. "Memikirkan apa maksudmu?" "Aku bermaksud ingin mengenalkanmu pada orang tuaku." Kalimat itu meluncur bebas dari bibir Olivia. Seolah tidak ada beban. Seakan memang sudah ia persiapkan dari sebelumnya. "Kemarin kau sudah mengajakku untuk berkenalan dengan keluargamu. Jadi, tidak ada salahnya giliran aku yang mengenalkanmu pada orang tuaku. Lagi pula, kau tidak keberatan, kan?" Arsene tanpa banyak berpikir lagi langsung mengangguk setuju. Memang momen ini yang sedari dulu ia tunggu. Kapan lagi dirinya bisa bertatapan langsung dengan pria yang sudah menghancurkan keluarganya. Susah payah mencari, sekarang Tuhan mempertemukan dengan mudah. Tentu saja Arsene tidak ingin melewatkan kesempatan berharga ini. "Tentu saja aku tidak keberatan, Olivia. Aku malah senang nantinya bisa berkenalan langsung dengan mereka. Tapi omong-omong, kapan itu terlaksana?" "Mungkin awal bulan depan. Orang tuaku sudah berjanji akan merayakan Valentine bersama. Lagi pula, ada satu bisnis yang Papa tangani di sini. Kemungkinan mereka akan lama berada di London." Arsene mengangguk paham. Ekspresi wajahnya tampak senang. Benar-benar senang karena tidak sabar untuk sampai di momen itu. "Aku tunggu undanganmu. Yang pasti, sebelum bertemu mereka, kau harus mempersiapkan diri dulu karena besok kita akan makan malam bersama." "Jangan takut. Aku tidak akan lupa dengan yang satu itu. Ku harap kau tidak terlambat menjemputku nantinya." Arsene kembali tersenyum. Keduanya lantas memilih untuk menikmati makanan yang sudah terhidang di meja. . . ===Pengetahuan Umum=== *Join Venture : Sebuah kesatuan perusahaan atau korporasi yang dibentuk antara 2 pihak atau lebih dengan tujuan menyatukan sumber daya untuk menjalankan aktivitas ekonomi atau proyek tertentu secara bersama-sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD