Pagi-pagi sekali, Arsene nampak berjalan sedikit tergesa ketika memasuki rumah sakit St. Thomas’ Hospital yang berada di Westminster Bridge Rd, London. Setelah mendapat kabar kalau ayah Edward sudah dipindahkan ke ruang perawatan, ia langsung bergegas pergi untuk menjenguk. Semalaman Arsene bahkan sampai susah tidur hanya karena memikirkan kondisi ayah dari sahabatnya tersebut.
Bukan berlebihan. Hanya saja, Arsene memang tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Alexander Edgar Cullen. Ia sungguh tidak rela kalau Edward harus merasakan nasib yang sama seperti apa yang dulu pernah ia rasakan. Cukuplah saja dirinya yang harus kehilangan sosok seorang ayah karena mengalami kecelakaan tragis.
"Edward ... " tegur Arsene ketika berdiri tepat di depan pintu ruang VIP. Sudah sejak subuh tadi, ayah dari sahabatnya itu berpindah tempat ke ruang perawatan VIP.
"Masuklah," pinta Edward seraya melambaikan tangannya. Di dalam ruangan, sudah ada Kenzie, Richard, bahkan Olivia. Mereka semua sudah lebih dulu datang untuk menjenguk.
"Bagaimana keadaan Uncle Alex?" bisik Arsene penuh hati-hati. Ia hanya takut kalau suaranya sampai menganggu ayah Edward yang tengah beristirahat tersebut.
"Kemarilah, kita berbicara di sofa saja."
Edward lantas menuntun Arsene untuk berpindah tempat. Mempersilakan duduk. Bergabung dengan teman lainnya yang sudah dari tadi berada di sana.
"Jadi bagaimana? Apa yang sebenarnya terjadi?" Arsene mengulang sekali lagi pertanyaannya. Raut khawatir belum sedikit pun beranjak dari wajah tampan pria itu.
"Semalam, mobil yang dikendarai Papa tanpa sengaja diserempet oleh salah satu pengguna mobil saat melintas di daerah Covent Garden. Kata supir peristiwa itu terjadi begitu cepat. Tahu-tahu, mobil yang mereka tumpangi sudah oleng hingga menabrak pembatas jalan."
"Astaga, Tuhan." Arsene langsung berseru sembari menggelengkan kepala. Ikut merasa ngeri membayangkan apa yang telah terjadi. "Tapi Papamu baik-baik saja, kan?"
Edward dengan serta merta mengangguk. Penuh syukur saat semalam ia sampai di rumah sakit, dokter mengabarkan kalau kondisi ayahnya tidaklah begitu serius. Bahkan masih sadar ketika mendapat penanganan dari tim medis.
"Papa baik-baik saja. Hanya mengalami lecet serta sedikit luka robek di bagian pelipis mata karena terkena pecahan kaca jendela."
Kening Arsene nampak berkerut dalam mendengar penjelasan Edward. Menderita luka robek tentulah bukan perkara kecil. Baru saja hendak membuka mulut karena ingin melayangkan protes, Edward yang sadar akan hal itu, buru-buru kembali bersuara.
"Tanang, Arsene. Kau tidak perlu khawatir. Papa sudah tertangani dengan baik. Tim dokter juga sudah menjahit bagian pelipis yang luka. Bahkan, orang yang menyerempetnya semalam sudah meminta maaf dan bertanggung jawab atas perbuatannya."
Arsene tampak bernapas lega. Walaupun rasa cemas tidak sepenuhnya beranjak, mendengar penjelasan Edward hatinya bisa sedikit tenang. Demi memastikan sendiri kondisi Alexander, ia sampai rela menunggu pria itu sadar terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk pamit pulang.
"Uncle baik-baik saja, Arsene," ucap Alexander pelan sesaat setelah terbangun dari tidur. "Kau tidak perlu khawatir."
Di sampingnya, ada Arsene yang dengan setia menunggu sembari menggenggam erat pergelangan tangan pria itu. Rasa hangat seketika mencuat di hati Arsene kala Alexander memastikan sendiri kondisinya memang tidak seburuk apa yang ia bayangkan sedari tadi.
Bagi Arsene, Alexander memiliki tempat tersendiri di hatinya. Sedari awal mengenal keluarga besar Cullen, Alex yang turut menguatkan hati Arsene untuk menjadi pribadi yang kuat. Memperhatikan juga menyayanginya seperti Edward. Jadi, tidak ada salahnya Arsene membalas perbuatan itu dengan memberikan perhatian lebih layaknya ayah sendiri. Dan perhatian yang sedari tadi ia berikan, tidak luput sedikit pun dari pengamatan Olivia.
"Syukurlah kalau Uncle dalam kondisi yang baik. Aku hanya khawatir terjadi sesuatu yang buruk," gumam Arsene dengan lirih. Tatapan matanya tidak sedikit pun beralih dari sosok Alexander.
"Asal Papa tahu ... " Edward menyela. "Aku merasa seperti anak yang tertukar. Atau jangan-jangan aku memang anak tiri di keluarga Cullen? Dilihat-lihat chemistry kalian berdua seperti benar-benar ayah dan anak kandung," tukasnya sambil menyipitkan mata.
"Kalau ku lihat-lihat dengan seksama, yang lebih pantas menjadi putra uncle Alex serta memiliki darah bangsawan itu Arsene, bukan kau Edward Cullen," seloroh Richard yang duduk tepat di sebelah Kenzie dan Olivia. Senang benar ia mengolok sahabatnya.
"Sialann!" umpat Edward, membuat semua orang langsung tertawa.
Karena tidak ingin mengganggu waktu istirahat Alexander, setelah berbincang-bincang, kesemua sahabat Edward termasuk Olivia memutuskan untuk pamit pulang. Tampak Arsene memeluk Alexander terlebih dahulu sebelum beranjak pergi meninggalkan ruangan.
"Uncle, aku pergi dulu. Aku doakan kondisi Uncle semakin membaik. Besok, aku akan datang lagi untuk menjenguk," pamit Arsene setelah mengurai pelukannya.
"Terima kasih Arsene, Richard, Kenzie dan Olivia. Uncle hargai perhatian yang luar biasa kalian berikan. Edward sangat beruntung dikelilingi sahabat yang baik seperti kalian semua," ucap Alexander dengan tulus. Senang sekali mendapati sang putra memiliki sahabat setia yang selalu ada di setiap momen baik susah dan senang.
Edward lantas mengantar para sahabatnya sampai keluar ruang perawatan. Detik kemudian ia mendekati Arsene, lalu menepuk halus pundak pria itu.
"Arsene, aku boleh minta tolong lagi padamu?"
Arsene menoleh, pria itu kemudian mengangguk.
"Sure. Kau mau minta tolong apa?"
"Tolong antarkan Olivia pulang ke apartemennya. Aku hanya khawatir kalau ia pulang sendiri."
Mendengar namanya disebut, Olivia langsung mendongak. Wanita itu buru-buru menginterupsi.
"Tidak perlu, Ed. Aku bisa datang sendiri dan tentu saja pulang pun bisa sendiri."
Edward menggeleng.
"Tidak, Olivia. Wanita cantik sepertimu jangan sering bepergian sendiri. Itu sangat berbahaya. Belum lagi akhir-akhir ini memang banyak tindak kejahatan yang korbannya adalah wanita. Akan lebih baik kalau Arsene yang mengantarkanmu pulang."
"Tapi ---"
"It's Ok, Olivia," potong Arsene sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya. "Dengan senang hati aku akan mengantarkanmu pulang."
Pandangan Arsene lantas kembali terfokus pada Edward. Melangkah dekat lalu memeluk sahabatnya itu sembari berpamitan.
"Aku pulang dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku segera."
"Terima kasih atas kunjunganmu. Aku titip Olivia," bisik Edward lalu mengurai pelukan.
Arsene lantas langsung menuntun Olivia menuju tempat di mana mobilnya terparkir. Di sepanjang perjalanan, keduanya memang terlibat perbincangan. Olivia yang sedari di dalam ruangan ingin bertanya langsung mengemukakan apa yang ia pendam dalam hatinya.
"Kalau ku lihat-lihat, kau begitu perhatian dengan Edward dan keluarganya. Kalian bahkan tampak seperti saudara kandung. Apa selama ini kalian memang sedekat itu?" tanya Olivia penasaran.
Sambil terus fokus mengendarai mobilnya, Arsene melirik sekilas. Pria itu menyunggingkan senyum, kemudian menanggapi.
"Dari semenjak pertama kenal, Uncle Alex beserta istrinya sudah menyayangiku yang seorang yatim piatu ini layaknya anak sendiri. Itu sebabnya, aku khawatir begitu tahu kalau beliau mengalami kecelakaan. Sama halnya dengan Edward. Kalau terjadi sesuatu padanya, aku juga pasti akan khawatir."
Tenggorokan Olivia tercekat. Tak lama berselang ia merutuki diri sendiri. Pertanyaannya barusan seolah membuka luka lama pada diri Arsene. Ia bahkan baru tahu kalau pria disebelahnya itu ternyata seorang yatim piatu.
"Arsene, maafkan atas pertanyaanku yang lancang. Aku tidak bermaksud ---"
"Tidak apa-apa, Olivia," potong pria itu. "Tidak perlu merasa bersalah. Santai saja."
Olivia mengangguk lega. Tapi tetap saja ada perasaan harap-harap cemas, takut Arsene tersinggung dengan pertanyaan sebelumnya. Untuk itu, demi mencairkan suasana yang sempat canggung, ia berusaha mencari topik lain untuk dibahas bersama.
"Setelah selesai mengantarku pulang, apa yang akan kau lakukan di hari minggu seperti ini?" tanya Olivia hati-hati. Ia hanya ingin tahu apa yang seorang CEO perusahaan besar lakukan di saat mereka libur bekerja.
"Tidak banyak. Biasanya di isi dengan bersantai. Berkumpul dengan teman-teman. Menghabiskan waktu dengan keluarga. Atau bahkan tetap mengerjakan pekerjaan kantor yang tertunda," jelas Arsene. "Tapi untuk hari ini, setelah mengantarmu, aku akan langsung menuju pantai untuk melakukan diving atau surfing. Dilanjut dengan pesta barbeque di rumah bersama keluarga inti."
"Apa kau bilang barusan?" Olivia terperanjat. Merasa tidak biasa mendengar apa yang baru saja Arsene jelaskan.
"Yang mana?" tanya Arsene seraya menoleh. "Pesta barbeque di rumah?"
Olivia dengan serta merta menggeleng. "Bukan itu. Tapi soal diving dan surfing. Kau suka olahraga laut juga?" tanyanya penuh ingin tahu.
"Iya. Aku memang suka diving dan surfing semenjak duduk dibangku kuliah. Hanya karena sekarang tidak banyak waktu luang saja hobi itu sampai terabaikan."
"Kau tahu? Aku pecinta olahraga diving," cerita Olivia.
"Bagaimana dengan surfing? Aku juga begitu menyukai olahraga ini. Ketimbang diving, aku lebih sering melakukan olahraga yang satu ini. Karena lebih menantang adrenaline."
Olivia mengangguk-angguk. Wajahnya berbinar senang. Raut penuh antusias itu tercetak jelas diwajah cantiknya. Ia merasa takjub sekaligus senang bisa menemukan orang yang memiliki hobi sama dengan dirinya.
"Asal kau tahu, aku begitu tergila-gila dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut. Aku bahkan tidak pernah menyangka kalau kita memiliki hobi yang sama. Secara olahraga ini memang terbilang cukup menantang."
Arsene turut mengangguk sambil terus fokus mengemudikan mobilnya.
"Ya, mungkin saja kita jodoh," celetuknya tanpa dosa. Membuat Olivia yang tadinya masih tertawa, tiba-tiba terdiam sejenak. Lama ia mencerna kalimat itu. Tapi setelah menyadari Arsene yang menoleh lalu melempar tatapan penuh tanya, buru-buru Olivia kembali berbicara.
"Kalau kau tidak keberatan, aku ingin ikut bersamamu hari ini."
Karena permintaan inilah, Arsene pada akhirnya memutar kemudi. Berbelok dari jalanan menuju apartemen, berganti arah menuju pantai untuk bermain surfing.
Namun, sebelum benar-benar pergi jauh, sekali lagi ia memastikan keputusan wanita di sebelahnya.
"Kau yakin ingin ikut bersamaku?" sekali lagi Arsene memastikan keputusan Olivia. Paling tidak, kalau wanita itu berubah pikiran, ia akan segera mengantarkannya pulang ke apartemen.
"Astaga, kau meragukan keputusanku?" Olivia menoleh lalu menatap manik biru Arsene lekat-lekat.
"Baiklah kalau kau memang sudah begitu yakin untuk ikut. Kalau begitu kita pergi ke pantai sekarang juga."
***
Olivia tidak henti-hentinya bercerita di sepanjang perjalanan pulang. Ia terus saja mengulas soal pengalaman pertamanya diving serta bermain surfing bersama Arsene.
"Aku benar-benar senang sekaligus menikmati perjalanan kita hari ini."
Arsene tersenyum tipis, pria itu kemudian menyahut.
"Kalau kau mau, kita bisa mengagendakan kegiatan olahraga ini di setiap minggu atau bulannya."
"Tentu." Olivia menoleh demi menatap langsung wajah Arsene. Wanita itu dengan serta merta langsung mengangguk. "Aku sangat setuju kalau seminggu atau dua minggu sekali kita pergi diving dan surfing bersama-sama. Aku sangat senang memiliki partner olahraga sepertimu."
"Aku juga menyukaimu Olivia. Sangat menyukaimu," gumam Arsene dengan senyum hambar. Air wajahnya sulit sekali untuk ditebak. Yang mana malah membuat Olivia kelimpungan.
"Apa kau katakan barusan?"
Arsene melirik kemudian menggeleng.
"Tidak ada. Aku hanya mengatakan kalau aku juga senang memiliki partner olahraga sepertimu."
Olivia mengangguk-angguk. Percaya dengan apa yang baru saja Arsene ucapkan.
"Kau mau langsung aku antar ke apartemen? Atau mau singgah dulu ke rumahku?"
"Rumahmu?" tanya Olivia tidak percaya. Bukan apa-apa. Ia terbilang baru mengenal sosok Arsene. Lalu sekarang diajak begitu saja untuk singgah ke rumahnya membuat Olivia sedikit canggung.
"Iya ke rumahku. Saat ini, pasti sedang ada pesta barbeque. Siapa tau kau mau bergabung," tawar Arsene sekali lagi.
"Tidak perlu, Arsene. Aku tidak enak kalau tiba-tiba saja singgah ke rumahmu. Pasti nanti keluargamu akan memberikan banyak pertanyaan kepadaku atau dirimu sendiri," tolak Olivia dengan sopan.
"Jangan khawatir. Keluargaku sangat baik. Mereka juga tidak akan menginterogasimu dengan segala macam pertanyaan."
Olivia diam sejenak. Menimbang-nimbang apakah perlu menerima ajakan Arsene kali ini untuk singgah.
"Kau akan baik-baik saja Olivia. Hanya singgah untuk berkenalan dengan keluargaku. Siapa tahu kau cocok, lusa kita bisa langsung menikah," seloroh Arsene tanpa beban. Yang mana ucapannya ini nyaris membuat jantung Olivia copot seketika.
"Menikah?"
Melihat mimik wajah Olivia yang kebingungan, gelak tawa langsung meluncur dari bibir Arsene. "Aku hanya bercanda."
"Astaga, Arsene!" decak Olivia sambil mencubit lengan pria di sebelahnya. "Kau membuatku jantungan."
"Tapi, kalau kau menganggapnya serius, aku juga tidak masalah." Sekali lagi Arsene membuat kinerja jantung Olivia berdetak tidak karuan. Ia yakin, wajahnya pasti sudah memerah karena malu digoda terus-terusan seperti ini.
"Arsene!"
"Iya-iya." Pria itu tertawa. "Jadi bagaimana? Mau singgah sebentar ke rumahku?"
"Baiklah kalau kau memaksa. Tapi aku tidak bisa terlalu lama."
Arsene mengangguk paham. Pria itu kemudian menaikkan kecepatan mobilnya agar segera sampai di kediamannya.
Memasuki komplek perumahan di Kensington, London, Olivia bisa menebak kalau Arsene memanglah pria dari golongan yang sangat kaya raya. Hanya pengusaha besar yang mampu memiliki rumah di kawasan elit seperti ini. Dan ketika mobil pria itu sudah memasuki pelataran salah satu rumah, buru-buru Olivia meraih shopper bag milinya yang ada di kursi belakang. Mengecek kembali make up lalu merapikan sedikit tatanan rambutnya.
"Kita sudah sampai." Arsene keluar lebih dulu dari mobil. Berjalan mengitar kemudian bantu membukakan pintu untuk Olivia.
"Terima kasih banyak."
"My pleasure."
Arsene setelahnya menuntun Olivia untuk segera masuk ke rumah menuju taman belakang. Di sana, ada Oliver bersama dua rekannya berikut Kimora yang juga bersama salah satu sahabatnya."
"Arsene, kau sudah pulang?" tegur Oliver ketika netranya mendapati kehadiran pria bermata biru itu.
"Iya, Uncle. Baru saja sampai."
"Kau tidak ingin mengenalkan kepada kami siapa wanita cantik yang tengah kau bawa?"
Arsene mengangguk. Ia mempersilakan Olivia untuk melangkah maju, mendekati posisi di mana para keluarganya tengah berkumpul.
"Perkenalkan, Uncle, wanita cantik ini bernama Olivia,"
Oliver mengulas senyum. Dengan ramah pria itu mengulurkan tangan, mengajak Olivia untuk bersalaman.
"Senang berjumpa denganmu Olivia. Aku Oliver Gamaliel Smith. Aku paman sekaligus orang tua yang merawat Arsene."
Olivia mengangguk. Dengan sopan menyambut uluran tangan dari Oliver.
"Olivia Walters Adelaide. Senang berjumpa dengan Uncle."
"Adelaide? Apa kau putri dari Raymond Craigh Adelaide?" tebak Oliver.
"Iya." Olivia mengangguk. Membenarkan tebakan Oliver. "Uncle kenal Papaku?"
Kini giliran Oliver yang mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Tentu saja kenal. Siapa yang tidak tahu dengan pengusaha sukses macam Raymond," ungkapnya. "Kalau begitu, silakan nikmati makanan yang sudah terhidang di meja, Olivia. Anggap saja rumah sendiri," lanjut pria itu dengan ramah.
Mendapat perlakuan yang baik dari keluarga Arsene membuat Olivia bernapas lega. Padahal, ia sudah membayangkan yang tidak-tidak sebelumnya.
Selepas berkenalan dengan Oliver, Arsene juga mengajak Olivia untuk berkenalan dengan Kimora. Pun sama dengan Oliver, wanita berambut panjang itu juga bersikap ramah kepada Olivia.
"Senang berkenalan denganmu Olivia. Aku harap kita bisa berteman baik."
Puas mengajak berkenalan dengan seluruh anggota keluarganya, Arsene juga mengajak Olivia untuk berkeliling rumah. Menunjukkan pada wanita itu di mana saja spot-spot terbaik yang sering Arsene datangi untuk sekedar menghabiskan waktu, bersantai sampai merenung.
"Rumahmu sangat nyaman. Ditambah keluargamu yang harmonis pasti sangat menyenangkan tinggal di sini."
Arsene mengangguk setuju.
"Tentu saja menyenangkan. Apalagi kalau aku bisa membawamu masuk ke rumah ini. Lalu mengurung dan menyiksamu sepuas hatiku," gumam Arsene dalam hati. Tapi alih-alih mengatakan hal tersebut, ia malah berucap sebaliknya.
"Aku juga merasa bersyukur, walaupun tidak memiliki orang tua, paling tidak tetap bisa merasakan kebahagiaan yang tidak terkira."
"Syukurlah kalau begitu." Olivia kemudian melirik jam dipergelangan tangannya sudah pukul tujuh malam. Ia memang sudah mengatakan sebelumnya kalau tidak bisa berlama-lama di rumah pria itu. "Sudah malam. Apa aku bisa pulang sekarang?"
"Aku akan mengantarkanmu."
Setelah berpamitan, keduanya langsung pergi meninggalkan kediaman Arsene. Oliver tampak terus memperhatikan keduanya hingga bayangan mereka hilang dari pandangan.
Meraih ponsel dari saku celana yang ia kenakan, Oliver menghubungi seseorang. Ketika panggilan itu terangkat, buru-buru ia berbicara.
"Awasi terus Arsene. Dia baru saja keluar dari rumah. Aku tidak mau kau lengah sedikit pun. Kabari aku seluruh gerak-gerik yang ia lakukan diluar sana," titahnya penuh penekanan kemudian menyudahi panggilan dengan raut wajah yang susah sekali untuk ditebak.