"Hwek! Hwek!" Maria mengusap-usap perutnya, berusaha menenangkan. Berharap lagi dan lagi, sesosok penghuni di dalam sana mau memahami betapa perjuangan mereka setiap hari sudah seperti hidup dan mati. Tapi tidak, tampaknya hari ini ia mau sedikit menunjukkan pemberontakan, menegaskan keberadaan.
Ya Allah ... batin Maria demi menyaksikan tungkainya tak mau bekerja sama. Tubuhnya malah membangkang di saat-saat genting.
Ada yang tidak beres!
***
"Bertahanlah ..."
Sayup-sayup, celah penglihatan gadis itu menangkap pemandangan langit-langit berwarna putih bergerak cepat. Di sekelilingnya beberapa orang berseragam senada melarikan langkah sekuat tenaga. Ada juga yang memegangi sebuah tiang dengan cantolan di atasnya.
***
Uhuk! Uhuk!
"Ukhti ..."
Maria yang masih setengah sadar memutar kepala mengedarkan pandang, mengantisipasi delusi yang bisa saja merepotkan diri sendiri di kemudian hari.
TIDAK MUNGKIN!
Yang dipanggil bergeming. Masih terombang ambing antara mimpi yang terlalu nyata dan harapan yang terlalu semu.
"Permisi, Pak, Bu ..." Dua orang berseragam putih mengambil alih. Yang satu memainkan stetoskop, sementara satunya lagi memeriksa jalannya cairan ke sela sela pembuluh.
Flashback on.
"Istri anda hanya kelelahan, Pak. Tapi Alhamdulillah, sekarang ibu dan bayi baik baik saja. Untunglah segera dirujuk ke sini sehingga kami bisa memberikan pertolongan pertama dengan cepat ..."
Flashback off.
David menggelengkan kepala, enggan. Bukan, bukan demi mengingat apa yang dirasanya hilang, namun lebih tepatnya kurang mengerti apa yang hatinya temukan.
***
(Ingat bagian akhir bab 9 'Tamparan')
Tokoh utama pria memilih abai. Meninggalkan dentum alat pacu jantung di rongga d**a si tokoh utama wanita yang pada akhirnya juga memilih melajukan langkah.
"Siapa, Pak, Bu ...?" tanya David-si tokoh utama pria-berbasa-basi setelah membalik punggung. Lagaknya memang mencari tahu, namun nyatanya ia hanya memberikan waktu pada sepasang pandang untuk menyelidik beberapa titik.
Penjelasan Bu RT berlalu begitu saja, yang tertangkap jelas hanya 'Darul Ummah'.
Bukankah kau sudah memutuskan ... ada apa sebenarnya?
Maria mempercepat laju tungkainya yang sejenak disinggahi goncangan, takut-takut terjadi adegan susulan. Kenyataannya, kepalan daging di dalam sana belum terlalu siap untuk menggapai, walau sebelumnya harap harap rasa entah kapan kunjung sampai.
Bukankah ini yang benar-benar ia harapkan?
Mengapa sekarang tiba-tiba berubah menjadi seseorang dengan malu yang begitu hebat?
"Maaf, akhi, memang pahit, tapi begitulah adanya ..."
"Memang sedari awal ana tidak pernah menaruh hati kepada antum ...
"Semua baik-baik saja, mengapa ..."
"Jangan mengarang cerita ..."
"Antum ingin menjatuhkan marwah ana?"
Tes tes!
Tangan yang tertutup handsock itu gemetar.
"Wa lā tahinụ wa lā taḥzanụ wa antumul-a'launa in kuntum mu`minīn ... hiks hiks hiks ... shadaqallahul azhiim ..."
Lembaran suci berisi firman-firman-Nya itu berubah memekat.
Ada yang nyeri tanpa tahu arti, ada yang ngilu bahkan tanpa sembilu.
Tubuh wanita itu rubuh dalam sujud dengan kalam-Nya erat di pelukan.
***
CEKLAK!
Wanita itu kontan memejam.
Kalau saja tubuh lemah ini mau bekerja sama, ingin rasanya ia menghentikan laju kerja kanula* di punggung tangan, lalu melompat keluar jendela sekarang juga. Berakhir di mobil jenazah sekalipun tak apa, asalkan terbebas dari neraka yang sedang Allah hadiahkan untuknya.
Bagaimana ia akan mengangkat muka setelah ini?
Bukankah berarti semua berakhir?
Padahal ia baru akan memulai.
Pria itu memperbaiki posisi pecinya lantas duduk di sofa tunggu keluarga pasien.
Tunggu! Bukan saatnya berubah genre menjadi melodrama. David pasti mengerti. Setidaknya dulu rasa itu pernah ada. Tentu mudah untuk menumbuhkannya kembali. Dialah harapan terakhir Maria supaya bisa tetap berdiri di atas kaki sendiri menghadapi dunia yang tak pernah menunjukkan belas kasihan ini.
***
"Auuzubillahi minasy syaitha nirrrajiim. Bismillahirrahmaanir rahiiim."
Salah dua perawat yang akan mengantarkan makanan tertegun. Celah pintu yang sudah membuka memutuskan menutup diri perlahan. Takut mengganggu kekhusyukan sepasang muda-mudi yang tengah berada dalam rahmah-Nya. Maklum, belum ada klarifikasi atau sanggahan, makanya perawat, terutama, banyak yang gigit jari mendapati betapa sempurnanya cinta makhluk yang telah dipersatukan Tuhan ini.
"Yā ayyuhan-nāsu qad jā`atkum mau'iẓatum mir rabbikum wa syifā`ul limā fiṣ-ṣudụri wa hudaw wa raḥmatul lil-mu`minīn."
Lelaki itu menarik napas sejenak.
"Qul bifaḍlillāhi wa biraḥmatihī fa biżālika falyafraḥụ, huwa khairum mimmā yajma'ụn. Qul a ra`aitum mā anzalallāhu lakum mir rizqin fa ja'altum min-hu ḥarāmaw wa halālā, qul āllāhu ażina lakum am 'alallāhi taftarụn."
Ekor matanya menyelidik.
Seraya memejamkan mata, "Wa mā ẓannullażīna ..."
Ranjang pasien di seberang pandang berderit.
Mata dan bibir lelaki itu tersenyum.
" ... yaftarụna 'alallāhil-każiba yaumal-qiyāmah, innallāha lażụ faḍlin 'alan-nāsi wa lākinna akṡarahum lā yasykurụn."
Setelahnya, sepasang melodi yang seirama mengalun memecah rasa.
"Wa mā takụnu fī sya`niw wa mā tatlụ min-hu ming qur`āniw wa lā ta'malụna min 'amalin illā kunnā 'alaikum syuhụdan iż tufīḍụna fīh, wa mā ya'zubu 'ar rabbika mim miṡqāli żarratin fil-arḍi wa lā fis-samā`i wa lā aṣgara min żālika wa lā akbara illā fī kitābim mubīn."
Bahkan hentakan napas pun mengalir selarasnya.
"Alā inna auliyā`allāhi lā khaufun 'alaihim wa lā hum yaḥzanụn. Alā inna auliyā`allāhi lā khaufun 'alaihim wa lā hum yaḥzanụn. Shadaqallahul azhiiim."
"Syukran katsiran untuk hari ya Ainul Mardhiyah. Semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan padamu." Lirih David seraya merapatkan selimut yang menyelubungi tubuh Maria.
***
Kali ini saja, ia ingin menuntaskan maksud hati. Jika harus berakhir, maka, harus hari ini. Ia siap jika karma memang sudah menanti.
"Ana ..."
"Ana ..."
Kursi roda itu terhenti.
"Antum duluan ..." David memersilakan. Ia henyakkan diri di sebuah kursi yang memang disediakan untuk pengunjung taman beristirahat sembari menghirup udara segar.
Punggung vs punggung.
"Mari kita ..." Sambil meremas kuat ujung pakaian pasien yang dikenakan, Maria memaksa bibirnya untuk ... "menikah!"
Sepersekian detik, dunia di sekelilingnya berubah kelabu. David merasa terlempar ke sebuah alam yang ia sendiri ragu. "A-pa ana tidak salah dengar, ukhti?"
Ya, ia butuh konfirmasi. Barangkali wanita di depannya ini masih berada di ambang kesadaran lantas bicara ngawur sesuka hati tanpa berpikir. Jika begitu, akan jadi apa perjumpaan yang seharusnya menjadi tempat pelampiasan rindu ini akhirnya? Bukan, bukan ini yang harusnya David dengar. Bukankah mesti ada alur yang jelas untuk rentet kisah yang panjang ini lantas baru bisa beralih episode?
Hening menyita jarak. Saking kelunya, lidah tak bertulang itu tak mampu mengucap sepatah pun. Terlalu banyak yang menghimpit rongga d**a, menekan daging berukuran kepalan tinju di dalamnya sehingga menyebabkan ketidakteraturan ritme. Suka dan duka saling pandang, namun tak tahu harus memenangkan atau mengalahkan.
***
Maria menatapi jendela itu lamat-lamat. Menyoroti langkah kaki yang tengah dilanda kekacauan. Sejenak berhenti lalu melajukan tungkai kembali. Begitu saja berulang-ulang kali. Bahu itu seakan ingin menoleh, namun ....
Flashback on.
David menekuri rumput-rumput itu beberapa lama. Berharap bisa membunuh waktu dan mempercepat episode yang sedang berlangsung. Ia sungguh, sungguh tak mau lagu lama terputar kembali. Semua tanya harus terjawab, tak boleh lagi ada yang mengganjal dan menghambat keringat keluar dari pori-pori.
"Antum pasti bercanda ..." Akhirnya bibir lelaki itu memuntahkan kejujuran yang menyesak batin si empunya.
Tak ada balasan. Hanya punggung itu yang berusaha menjelaskan dalam rambat gelombangnya yang rendah.
Sesuatu terjadi!
"Ukhti, semua takkan selesai hanya dengan diammu. Jelaskan agar ana mengerti. Ana takkan menyanggupi bila duduk masalahnya tidak terpahami." Nada David sedikit meninggi.
"Ana paham ana meminta terlalu banyak. Mungkin inilah yang dinamakan karma. Setiap hamba pasti akan menuai apa yang mereka tanam. Inilah harinya, ana tengah menuai tebusan atas sebuah luka di masa lalu." Menantang malu, Maria, dengan kepala tegak dan sorot pandang tajam, berusaha melarikan diri. Memaksa sepasang benda bulat di sisi kanan dan kirinya melancarkan niat hati.
Ia tahu, bahkan tak juga berharap Allah mendengarkan permintaan gilanya. David memang baik. Tapi tak mungkin ...
"Tunggu, Ukhti." Tangan kekar itu mencekal pegangan pendorong, lantas ...
Sudah bisa ditebak.
Lelaki ini takkan lagi sama dengan seseorang.
Maria menantang kedua bola mata yang masih kehausan itu dengan frekuensi yang sama. Sudah kepalang malu, buat apalagi buang membuang muka, toh, setelah ini takkan berbeda akhirnya.
Telapak yang bertumpu pada tatakan lengan itu tak sedikitpun goyah.
"Ana agak lelah. Syukran untuk segalanya, Akhi. Assalamualaikum." Maria yang akhirnya memilih mundur lebih dahulu dari arena pertarungan.
David menepis udara, kesal. Terjebak di episode kekalahan yang sama kedua kalinya.
Flashback off.
***
NB:
*Tabung plastik berukuran kecil yang dapat dimasukkan ke dalam vena untuk memasukkan cairan maupun obat-obatan secara langsung, sederhananya jarum infus.