Plak!
PLAKK!!
Kilatan memori itu berkelebat dalam benak Maria.
"Bapak?!" seru ibu yang lantas menghambur memeluk tubuh mungil tak berdaya di hadapannya.
Lelaki tua yang dipanggil ibu itu terduduk. Memicing seraya memegangi tengkuk.
Terdorong rasa bakti, ibu yang nyata-nyata harus membagi tubuh akhirnya beralih, setelah sebelumnya berucap lirih, "Pergilah ke kamarmu, Nak. Tunggu ibu."
***
"Istirahat dulu, Pak. Ingat pesan dokter, kendalikan diri kalau Bapak tidak mau berakhir di kursi roda." Nasehat ibu.
"Tapi, Bu, ..." belum juga bapak menyelesaikan kalimatnya, ekor matanya sudah dahulu memberikan penjelasan.
Ibu memaksa sepasang bahu itu kembali rebah. "Biar Ibu yang urus." Terang beliau seraya menunjuk-nunjuk air putih dan obat di atas nakas.
***
Jika boleh berandai-andai, asal tidak tercatat oleh Atid sebagai dosa, Maria mau kiamat tanpa tedeng aling aling datang detik ini juga. Tak perlu tiupan sangkakala segala. Langsung saja, gunung bertubrukan, manusia jadi anai-anai beterbangan, persis seperti pelajarannya di pesantren Darul Ummah 6 tahun silam. Biar langsung saja masuk ke yaumil hisab lalu penentuan rumah abadi: surga atau neraka. Toh, semua sudah berakhir baginya. Entah setelah ini dia masih hidup atau sudah mati, jiwanya.
Pun ketika mematut wajah wanita yang dulu dihuni rahimnya sembilan bulan sepuluh hari di depannya ini, Maria bungkam. Tahu, bahkan kata maaf takkan mampu menggantikan gelegak rasa sakit yang menjelaga. Sungguh kehabisan kata. Hanya mampu bersimpuh di kaki ringkihnya, membasahi asa yang perlahan pudar.
"Maafkan Ibu, Nak."
Sebuah belati menancap tepat di jantung Maria.
Jangan, Bu...
Setelahnya hening. Namun yang pasti, sesuatu yang lembab menuruni lekak lekuk punggung Maria perlahan. Lembut tetapi menghakimi.
"Demi Allah, Bu, Maria selalu menjalankan amanat bapak sama ibu. Tidak sedikitpun Maria menyimpang dari itu. Maria mau dilaknat saat ini juga jikalau lidah ini mengatakan kebohongan. Maria tidak tahu kenapa bisa ..." Bintik matanya langsung saja disergap kobaran api.
"Jangan, Nak." Geleng si ibu lembut seraya menghentikan langkah sang anak menganiaya diri sendiri. "Dia tidak bersalah. Jangan sampai kau memutus kehidupan yang baru Allah tiupkan padanya." Ibu mengelus perut Maria, hangat. Ia seperti ingin menenangkan sebuah kehidupan di dalam sana bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Ada secercah bahagia yang ingin beliau sampaikan walau tak sebegitu pula adanya. Sisa-sisa senyum dalam lingkar pelupuk yang bengkak itu benar-benar berusaha keras.
***
"Eh, Bu RT, Maria ke mana? Dari abis pulang kampung kemaren nggak keliatan." Sergah seorang tetangga berdaster abstrak tepat ketika ibu bergabung dalam ritual pagi kang sayur. Tangannya sigap mengibas-ngibas, memilah milih antara bayam dan kangkung.
"Ada, Bu, Maria-nya lagi sakit. Silakan sesekali mampir, Bu." Ibu menarik napas sejenak. "Ini sama ini ya Kang, kembaliannya ambil aja. Duluan ya, Bu." Ibu minta diri segera, menyelamatkan diri dari pusaran ghibah tetangga. Acuh terhadap rotasi mata mereka yang saling silang memupuk curiga. Belum lagi bibir-bibir yang kompak asimetris mengikuti langkah kaki kemanapun pergi.
"Bagaimana perasaanmu, Bu? Belum apa-apa, mereka sudah menargetkan, bukan?" bapak mendeham keras. Entah karena sesuatu di dalam tenggorokannya atau kepalanya yang semenjak kemaren semakin menggumpal dan menyesakkan.
"Bu, jadi nggak ini? Kacang panjang sama melinjo?" seru si kang sayur beberapa kali.
"HUSSH!"
Empat kepala yang berada di sekitar gerobaknya itu serempak memberikan perlawanan. Walhasil, si akang sayur juga ikutan masuk dalam pusaran lalu mengamati keadaan.
Menyadari pemandangan sinetron yang tertangkap di depan mata, si akang berucap. "Astaghfirullah. Si ibu-ibu ini. Dosa, dosa. Sok kalau nggak mau belanja, saya ngider lagi. Assalamualaikum"
"Eh-eh, tunggu, tunggu." Tahu kebutuhan perut lebih mendesak, ujung-ujungnya para ibu ibu yang dengan sabar menantikan klimaks episode sinetron keluarga tadi kembali menjatuhkan pilihan pada si akang sayur.
"Gitu, dong. Udah lama, ntar belanja nawar pula. Hati-hati, Bu, ntar di rumah dapat pemandangan yang sama."
"Astaga. Amit-amit, amit amit. Ya udah, nih. Saya duluan ibu-ibu."
"Saya juga."
"Saya juga."
***
Kali ini, salju seolah turun di sekitaran meja makan. Tidak ada yang bahkan ingin membuka kata. Padahal biasanya ada saja yang heboh minta tolong diambilkan sambal kesukaan yang letaknya sejauh mata memandang. Maria, yang paling tak bisa menjalankan proses metabolisme dengan baik. Ia, dengan sadar, mohon diri beralasan tidak enak badan.
Ibu yang jengah berada di antara dua jurang, akhirnya memilih tegas. "Berhenti, Nak. Kembali ke sini!"
"Tapi, Bu ..."
"Apa kau masih mengganggap wanita tua ini, Ibu, Nak?" rintih ibu.
Sigap, Maria langsung menurut. Takut kalau-kalau nanti doa sang ibu menembus langit dan langsung mengguncang singgasana-Nya.
"Pak, sampai kapan Bapak mau begini?" todong ibu tanpa tedeng tedeng aling.
Bapak melengos. Tak lagi tampak cahaya di mata yang biasanya berbinar itu.
"Percuma, Bu. Nasi sudah jadi bubur. Apa yang bisa kita perbuat? Semua sudah hancur berkeping-keping!"
Maria hanya mampu membasahi lantai. Kebiasaannya mendebat bapak hilang seketika. Keberanian itu menguap seiring kehadiran sesosok hidup dalam rahimnya.
"Lantas, Bapak mau apa? Mengusir Maria, anak Bapak satu-satunya?" kembali, ibu melempar opsi.
"Lebih baik tidak punya anak, Buk. Daripada menanggung malu, dunia akhirat." Pasrah bapak.
"Eling, Pak. Apa guna Bapak berlelah-lelah mengelilingi ka'bah dan mendapat gelar haji jika keimanan Bapak hanya sedangkal itu? Bapak tak pernah bayangkan perasaan Maria?"
"Kalau dia masih punya perasaan, dia takkan melakukannya, Buk!" bapak bangkit dari kursi, lantas menunjuk nunjuk Maria, menghakimi.
"Demi Allah, Maria masih memegang teguh 'La taqrabuz zina', Pak." Lirih Maria sesenggukan.
Sudut bibir Bapak terangkat. Tangan kekarnya meremas remas gelas di genggaman.
"Jangan berani-berani menyebut Allah dengan mulut kotormu itu!" hardik bapak. "Tak ada takut-takutnya kau, Maria. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sekarang kau mau terkena laknat-Nya juga?"
"Pak?" Maria menghempaskan dirinya di kaki sang bapak. Memeluknya erat, meminta sebentuk belas kasihan. "Demi kehormatan keluarga ini, Pak, tolong percaya Maria, Pak!"
"Bapak tidak bodoh, mana mungkin semua terjadi kalau tidak ada s****a busuk yang membuahi, anak durhaka!" bapak terduduk di lantai. Gelas yang dipegangnya telah berhasil melepaskan diri walau telah berubah wujud menjadi kepingan. Lantai sekitar berubah merah corak warnanya.
Mata ibu memerah. Bahkan bening dalam pusaran bola matanya jadi enggan menerjuni pipi menanggapi suasana.
"Demi Allah aku tak rela, Pak. Tutur katamu seolah menyiratkan aku tak pandai mendidik anak. Sungguh kejam lisanmu, Pak." Ibu memegangi dadanya. Ada yang bergejolak di dalam sana. Hendak meloncat keluar memberi pembelaan. Namun, beliau masih ingat ridho Tuhan masih berada pada ridho lelaki tua yang kini tengah membentak anak yang dilahirkannya.
Bapak membuang pandang. Melempar sisa sisa beling di tangannya, bersamaan dengan larinya ibu ke dalam kamar.
"Puas kau, Maria!" hardik bapak yang lantas menyusul sang istri.
Yang diteriaki sudah barang tentu mencari pelampiasan lain.
Sepeninggal sang ayah, ia sorongkan tatapan tajam menerobos plafon. Tak berkedip hingga didengar lalu diberi penjelasan 'mengapa' atas semua penderitaan ini.
Sayang, sampai pelupuknya memerah pun, tak ada yang terjadi. Padahal setidaknya ia berharap Tuhannya sedikit banyak menugaskan petir untuk mengambil peran walau beberapa saat.
***