Wahai Dzat yang maha membolak-balikkan hati, inikah takdir yang harus kusambangi?
Setelah dulu hati ini lama pulih dari yang namanya tersakiti. Kau datangkan lagi sesosok bidadari yang dulu sempat menyinggahi percikan bunga sekaligus luka di dinding rongga. Bohong jika bukan bahagia bertahta, namun diri yang hanya manusia biasa ini juga menginginkan adanya timbal balas atas dendam rasa yang belum berkesudahan. Tidak adil rasanya jika hanya akan berakhir dengan kemenangan pihak lawan yang nyata-nyata sedari dulu mengibarkan bendera perang. Apa kabar dengan hati sang panglima yang telah porak poranda bahkan setelah perang ini kembali dimula? Senjata mana yang kembali harus dipersenjatai kalau begini!
"Nak David?"
David menepis udara, kasar.
Ada saja gangguan syetan yang menerpa, padahal belum selesai ia dan batinnya berperang tanya pada semesta. Benar benar musuh yang nyata bagi manusia. "Auudzubillahi minasy syaitha nirrajiim."
CEKLAK!
Ada yang berdesir tanpa ingin ditelusur. Bagaimana tidak, dua sosok di depannya ini nyata-nyata saksi hidup. Bukan hanya mata kepala, tapi empat mata dan dua kepala. Kebenaran yang tak butuh waktu sanggahan.
BUK!
Tiga kepala yang sudah akan saling menyambut itu terlonjak.
David yang pertama berbalik. Tak butuh waktu lama untuk mengenali terlebih dahulu siapa dan bagaimana. Yang jelas sesuatu yang berdegup dalam rongga sebelah kiri tahu jawabannya.
"Nak David ..."
"Tolong hubungi ambulans, Buk, Pak." Ucap David meminta tolong. Kepala yang tergolek lemah itu sudah ia letakkan di atas kedua paha. Ia yakin kali ini Sang Maha di atas sana memberikan rukhsah secara tak terduga.
David menabok kepala. Menyesali adegan demi adegan yang ia lakoni berdasar naluri. "Auudzubillahi minasy syaitha nirrajiim."
"Tidak usah repot repot, Nak." Sahut si ibu seraya mengusap usap tikar solat, menyelidik gelagat sang marbot yang berbalik.
"Iya, Buk." Jawab David sembari duduk setengah bersimpuh, berusaha menyiapkan benteng pertahanan untuk pertanyaan tak terelakkan.
"Ada apa ya, Pak RT?" tanya David seraya menggigit bibir. Ingin sekali ia umpati dua lapis daging tipis yang asal menyembur ini.
Bagaimana kalau mereka ...
Bagai makan buah simalakama. Adab yang selama ini ia pelajari toh memang mengajarkan pertanyaan pembuka ini saat kedatangan tamu, mau bagaimana lagi. Sudah kepalang basah. Ya sudah mandi sekalian.
"Ini, Nak. Dompetmu terjatuh ..."
Wajah menekur itu sumringah tak alang kepalang. Bola matanya menerka-nerka, biar setidaknya sepasang temannya yang berongga di kanan kiri dapat mengembuskan napas lega.
"Kami permisi, Nak." Ucap Pak RT yang lantas merengkuh sang istri dalam kendalinya. Seraya melemparkan ketidakharmonisan di antara setiap lekuk penghuni wajah, si bapak membungkuk berkali-kali. Sesekali menenangkan jari-jemari sang istri yang kewalahan menahan diri untuk menuntaskan maksud hati.
David mengembang senyum penuh arti.
***
Bayi.
Istri dan anak anda dalam keadaan baik-baik saja.
David kembali memutar kepingan-kepingan puzzle ingatannya yang berserakan ke sana ke mari. Entah, rasanya seperti ada yang terlewat, atau mungkin memang ia yang dilewatkan.
Nyaris saja menyerah. Demi Allah, lebih baik dihadapkan kitab-kitab hadits shahih duet Bukhari-Muslim daripada berurusan dengan makhluk bernama wanita. Tak ada cara, sama sekali. Adam aja tergelincir gegara mereka, bagaimana ia yang hanya manusia di antara manusia? Haruskah menerima layaknya ksatria atau menangkap genggamnya lalu meluruskan bengkoknya? Yang mana? Bukankah keduanya sama saja? karena mereka selalu benar.
Menikahlah ...
ASTAGHFIRULLAHAL AZHIM. Tanpa ba-bi-bu ...
Apakah salah jika segenap indera langsung terhenyak? Apakah harusnya ia perturutkan saja alam bawah sadar lantas mengangguk tanpa mengijinkan koklea memfilter dahulu bunyi yang ia telan? Masa mau dibodohi lagi untuk kesekian kali. Ya, ia takkan menafikan apa yang dirasa hati, bukan untuk mengisi porsi drama dalam adegan cinta cintaan, buat segala jelas dahulu, biar setelahnya rongga bernama hati itu yang tentukan, mau bahagia atau kembali menyayati diri.