Ada yang berbeda! Hening.
"Nak?"
Tok tok tok!
"Subuh dulu, Nak. Jamaah sama Ibu-Bapak." Seru ibu dari luar.
Tok tok! Kriiiieet!
Pintu akhirnya membuka begitu saja.
"Nak?" ibu masih berusaha berbaik sangka. Beliau menilik setiap sudut: gorden, kamar mandi, bahkan kolong ranjang. Berharap Maria akan muncul dan mengagetkannya. Memeluknya dari belakang. Seperti yang biasa anak itu lakukan sejak kecil.
Assalamualaikum Bu
Saat ibu baca surat ini, Maria mungkin sudah tidak ada di kota ini lagi
Jangan cari Maria, Bu. Sudah cukup Maria menghancurkan harapan Ibu.
Biar Maria sendiri yang menanggung beban ini, Bu.
Doakan Maria agar selalu kuat ya, Bu.
Maria sayang Ibu.
Sampaikan juga salam Maria buat Bapak.
Maria sayang Bapak.
Salam Hangat, Maria
Hiks hiks!
Kertas kuning itu seketika berubah warna, remuk, lalu jatuh begitu saja menimpa lantai. Ibu bangkit. Jemarinya menyentuh lembut tepian ranjang, meja belajar, buku-buku yang tersusun rapi di rak, hingga segala pajangan kaligrafi yang menghiasi dinding.
"Bagaimana kabarmu, Nak?"
***
"Kenapa hanya ini toh, Buk? Uang belanja bulan ini udah Bapak kasih kan?" sergah bapak tidak puas mendapati pemandangan meja makan yang lain dari biasanya. Mulutnya yang dijejali nasi dan lauk itu menandak nandak.
Ibu menyorongkan tatapan tajam. Firasatnya menangkap sesuatu. Bertambah buruk terlebih melihat sang suami, yang mengomeli lauk pauk yang terhidang, menyendok bakul nasi berulang-ulang kali.
"Maria pergi, Pak ..." lirih ibu.
Bapak mendengus. Sudut bibirnya naik. "Ya, baguslah. Akhirnya anak setan itu ..."
Kursi ibu terhenyak.
"Pak!" pekik ibu dengan mata memerah. Telunjuknya tidak lepas menghakimi.
Seolah tidak terpengaruh, bapak malah semakin lahap. Telinganya tak lepas menangkap napas sang istri yang memburu.
"Sial!" umpat bapak. Dihempaskannya tempe goreng yang dicaci makinya tadi hingga menimpa kaki ibu. "Ingat tempatmu, Rahmah, beraninya kau ...!"
Glekk!!
Runtuh sudah pertahanan terakhir ibu. Debit air di pelupuk matanya seketika langsung mencari tempat yang lebih rendah.
Seraya meremas ujung baju, menguatkan hati, wanita yang dipanggil Rahmah itu berucap, "Akulah wanita setan yang melahirkan anak itu ..."
Bapak terperanjat. "Bu ..." Tangannya hendak menggapai ibu di seberang meja.
"Jangan mendekat! Tetap di sana." Sekuat tenaga, ibu menunjuk-nunjuk jantungnya. "Aku lebih tahu daripada siapapun, Pak. Dulu dan juga sekarang. Demi Allah, kau telah zalim kepada keluargamu sendiri, Pak. Ke mana iman dan malumu? Apa kau masih pantas dipanggil bapak?" tutur ibu lembut, namun menekan. Bahkan nyaris saja tak terdengar di ujung kata, saking harmoni dengan lembab pipi yang tak juga berhenti mengalir.
Plakk!
Sekejap mata, siluet merah lima jari itu mendarat. Ibu mengulum senyum, sementara bapak memandangi tangannya tidak percaya.
"Ke mana ..." napas bapak tercekat. Kembali dipeganginya tengkuknya yang kembali berulah.
Brukk!
"Bahkan kursi itu juga tak rela diduduki olehmu, Pak." Tuding ibu dengan tas sudah melekat di bahu.
"Buk ..." Bapak kembali menggapai-gapai. Tubuh ringkihnya kini memeluk lantai secara sukarela.
***
Tiiit ... tiiit. Barcode scanner itu tak henti hentinya berteriak nyaring. Memecah kesunyian dalam minimarket 24 jam itu. Pukul 01.30, Lidya masih berkutat di sekitar meja kasir. Dilapnya setiap sudut atas bawah kiri kanan seraya berputar putar mengikuti irama macam seorang balerina. Masih terekam jelas di benaknya pertemuan mengesankan beberapa jam sebelumnya. Rasa rasanya mulai hari ini ia punya resolusi baru, walau sudah lewat tahun baru. HIJRAH! Kepalanya mengangguk takzim. Sorot mata menembus plafon seolah mengadukan sebuah tekad.
BRAKK!
Satu dua gayung di stand peralatan mandi menderak di lantai.
Lidya menyorongkan tatapan tajam.
"Si cadar ..."
Belum lagi menyelesaikan omongannya, Ogil lantas beralih ke deretan stand ibu dan bayi.
"Ketemu!" serunya dengan telunjuk kemenangan mengapung di udara. "Lo makan tu bidadari filter wudhu." Cibir Ogil seraya mengibas ngibaskan benda di tangannya ke meja kasir, namun ... ZONK.
Mana?
"Woi!" sorak Lidya tepat di lokasi Maria duduk tadi. Sebuah kertas kehijauan dengan gambar pahlawan terjepit di antara telunjuk dan jari tengah wanita itu.
"Nyuri ya nyuri, Lidy. Masih aja dibela." Ogil bersungut-sungut.
Satset!
Tiiit.
"Udah kan?" sengak Lidya dengan barcode scanner dan sampah testpack di tangan.
"WHAT!?"
***
"Lidy, tunggu!" sergah Ogil.
Yang dipanggil malah bergeming. Langkahnya tidak sedikitpun melambat. Ada yang lebih penting saat ini. Tanda tanya besar itu harus segera menemukan jawab.
BRAKK!!
"Periksa deh, sapa tau ada barang yang hilang." Nasihat Ogil sok bijak.
"Mbak Maria ..." lirih Lidya dengan napas kasar mendapati sticky note menempel di meja.
"Lidya! Ogil!"
"Mampus!" gerutu Ogil yang tangannya hampir saja menyentuh lemari kamar jaga.
Benar saja. Seseorang dengan tag manejer di bagian saku itu berkacak pinggang.
Telunjuknya sudah bersiap akan menghakimi, kalau saja tidak terdengar ...
"Mbaak ..." panggil seseorang di ambang pintu.
"Tanya Ogil aja, Pak. Permisi." Tak lupa, ia hadiahkan sebuah kedipan maut yang membuat partner kerjanya itu ketar ketir.
Si manejer mendengus kasar. Ia putar sendi kepalanya yang agak butuh piknik 360 derajat lalu menyoroti sasaran di depannya.
"Sialan lu, Lidy." Ogil mengorek telinganya yang pengang. Sementara Lidya kesambet rajin dengan berjalan bersisian seorang pelanggan yang tak kalah rajin bertanya harga walau sudah ada labelnya.
***
"Aku datang, Buk, Pak." Ucap Rahmah sendu. Sedari dirinya memutuskan keluar dari rumah, tak pernah sekalipun ia berkeinginan kembali seperti hari ini. Iya, sendirian. Kakek dan nenek Maria sudah lebih dahulu berpulang ketika zaman kolonialisme masih meraja. Ibu Maria adalah satu-satunya penerus keluarga yang tersisa di kota. Sementara dua lainnya menjadi TKW ke luar negeri, menikah dan berumah tangga di sana.
Rahmah mengusap setiap huruf pada nisan yang sudah dimakan usia itu perlahan. Rasanya ingin sekali mencurahkan segala rindu dan beban yang mendera.
"Nak?" sapa seorang ibu mengagetkan.
Kaget, kontan Rahmah menyeka sudut matanya.
"Nak Rahmah yo? Apa kabar? Sehat, Nduk? Mari sini. Ibu ambil kuncinya sebentar." Sepanjang jalan menuju rumah yang langkahnya bisa dihitung jari itu, si ibu sibuk promosi seakan butuh apresiasi.
"Pokoke tenang ae Nak Rahmah. Makam bapak-ibuk Nak Rahmah sama rumah serahkan saja sama ibuk. Tak kinclongin pokoke." Si ibu menepuk d**a bangga. "Kalau dak ada bapak ibuk kamu dulu itu, Nduuk Nduuk, mungkin ibu sudah janda. Jadi udah pantes ibu membalas segala kebaikan mereka semasa hidup."
Rahmah paham betul Mbok Rahima ini juga yang membantu proses kelahirannya ke dunia. Di masa itu mencari dukun beranak saja untung untungan, boro boro ke rumah sakit. Untunglah pertolongan itu diberikan Allah lewat tangan seorang perawat berhati malaikat di posko peperangan. Makanya, Rahmah percaya setiap apa yang diceritakan Mbok Rahima ini merupakan kebenaran yang mutlak karena sudah sering kali ia dengar kisahnya.
"Nak Imran mana? Ndak ikut?" tanya Mbok Rahima seraya membuka tabir putih yang menyelubungi perabotan. Iya, setelah menyerahkan kunci, beliau setia mengekori Rahmah. Dulu ketika kecil, Rahmah sering merengek minta dibelikan permen padanya, dan itu kebiasaan hingga ia tamat SMA. Makanya ketika bapak-ibu Rahmah berpulang, Mbok Rahima merasa bertanggung jawab mengambil peran pengganti, sebab di satu sisi ia juga tidak dikaruniai anak.
"Ndak, Mbok. Beliau dinas luar." Ya Allah, seenteng itu lidah ini ... Ampuni hamba ya Allah, hamba hanya lelah.
***
Lidya mondar-mandir beberapa kali. Bukan, ia tak sedang memegangi pel atau alat kebersihan lainnya. Juga tidak sedang mengatur produk sesuai stand-nya. Sticky note di tangannya ini biang keroknya. Harus diapakan? Kenapa? Buat apa?
Sebenarnya apa tujuan Maria meninggalkan ini? Teman bukan, saudara bukan. Mau di save pun, apakah suatu saat nanti ia takkan lupa lalu menganggapnya nomor salah sambung?
Benar juga kata orang, mereka itu misterius. Muka aja ditutupin, apalagi hatinya, nggak ada yang tau.
Srrkkk!
"Nih!" suruh Ogil yang lantas menyodorkan sebuah bangku dan segelas air.
Glekk glekk glekk!
"Gue binguuuuuuuuuung!" pada akhirnya Lidya mengacak-acak rambutnya macam orang dengan gangguan jiwa.
"Ya udah, sini!" secepat kilat, Ogil merampas lalu membuang sesuatu yang mengacaukan temannya itu sedari tadi., sebelum sempat Lidya menyelesaikan kalimatnya, "Jang ..."
"Ya udah sih ya, kerja kerja, lo tu nggak punya orang dalem, kerja kerja. Yuk cuss. Stop buang buang waktu." Ogil langsung beranjak ke meja kasir. Mengurai senyum sembari mendekatkan barcode scanner ke barang belanjaan.
Lidya mengangkat bahu, enggan. "Terima kasih, Mbak, silakan belanja lagi." Serunya seraya membuka salah satu sisi pintu.