Maria mematung. Pandangannya menembus taman.
"Pak, tolong dengerin murajaah Maria dong, Pak." Sesosok kecil dengan seragam merah putih itu mengulum senyum.
Bapak mengacak acak rambut Maria, gemas.
"Ayo sini." Suruh bapak seraya mengubah posisi duduk menjadi bersila.
"Di akhirat nanti, Bapak siap siap ya." Belum selesai bicara, Maria lalu berlari ke arah bonsai bonsai kesayangan sang ibu.
"Nak?" bapak mengernyitkan kening.
"Bapak duduk aja, jangan gerak." Pinta Maria seraya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
***
"Ini apa, Nak?" bapak yang tak habis pikir diberi mahkota bunga bunga nyaris saja mengacaukan suasana. Untunglah katup tawanya tidak meluber, ia tahu si anak sedang dalam mode serius.
"Di alam sana nanti, Maria ganti ya, Pak, sama yang terbuat dari cahaya." Maria serta merta memeluk bapak, hangat.
Bapak meraba sesuatu dalam rongga dadanya. Ada yang mencelos di sana. Luruh semua lelah yang menghinggapinya sepulang bekerja. Tak tertahankan, bening dalam pusaran pelupuknya meluap menerjuni pipi.
Menyadari bahunya basah, Maria menangkup wajah bapak dalam genggaman.
"Ayo, Pak, kita murajaah lagi." Maria kembali mengembang senyum. Disekanya lembab di pipi bapak dengan lengan putihnya.
Flashback off.
***
Bunga bunga gantung itu ...
"Aaaah."
Sosok gadis dengan piyama pink Barbie itu merajuk. Bibirnya maju beberapa senti. Membuat sang ibu tergelak sehingga memegangi perut.
"Kenapa sayang?" ibu mengelus pipi si anak, lembut.
"Bunganya tinggi sekali, Bu. Maria juga mau bantu siram." Pipi Maria menggembung.
"Ulu-ulu-ulu. Sayangnya ibu. Sini." Bukan ibu namanya kalau tidak punya 1001 cara membuat Maria bahagia. Sepasang tangan dengan gurat gurat hijau menonjol itu mengangkat ketiaknya tinggi. Membiarkan deret gigi putih itu menampakkan diri mendapati aliran air membasahi tanah di dalam pot.
***
Lembab di pipi tirus itu mengalir deras. Dicengkeramnya terali pagar sekuat tenaga. Sepasang rahangnya saling menekan satu sama lain. Setelah cukup menguasai diri, Maria akhirnya berbalik, menyusuri kanan kiri perumahan bersubsidi itu. Tak lupa ia sampirkan penyamaran yang sempurna agar besok keluarganya tidak jadi bulan-bulanan warga dan paparazi kompleks. Untunglah, ia masih menyimpannya sampai hari ini. Hadiah dari kontes merancang busana muslim.
"Ini ya Bang." Ucapnya seraya meletakkan beberapa cup mie instan ke kasir.
Grok! Grok! Grok!
"Bang!" seru Maria dengan nada suara lebih tinggi.
Pegawai berseragam merah dengan nametag 'Ogil' yang tengah bertamasya di alam mimpi itu seketika membuka mata. Namun langsung terlonjak jatuh menghantam lantai (baca: dagu duluan mendarat).
"Aduh!" rintih Ogil seraya mengusap usap beberapa bagian tubuhnya yang dirasa bertukar posisi. "Biasa aja, Mbak. Jangan ngagetin." Sewotnya.
Maria bersungut. Nyaris saja ia mau membentak si abang, mujurnya ...
"Lo yang tidur, pelanggan yang salah. Bangke!" semprot pegawai dengan nametag Lidya di koridor aneka perlengkapan mandi. "Sana! Biar sama saya aja, Mbak." Desak Lidya setelah membereskan pel. Tanpa aba-aba, bokongnya lantas memaksa Ogil, sekali lagi, mencium lantai penuh khidmat. Jadilah Ogil melakukan komedi kasar kedua kali dengan pola jatuh sedikit lebih variatif.
Tiiit! Tiiit!
"Totalnya 55 ribu, Mbak. Saya terima uangnya ya Mbak, 100.000. Kembalian 45 ribu. Makasih banyak ya, Mbak. Silakan datang kembali." Lidya melempar senyum di dalam tabir seraya menangkupkan tangan di d**a. Maklum pintu bagian depan minimarket masih terpampang stiker 3M.
"Woi, nggak sopan lo!" sergah Ogil setelah sebelumnya mengibas-ngibas organ bawah tubuhnya yang terhenyak.
Plakk! Happ!
Sudah jatuh tertimpa longsor. Three point untuk Lidya.
Ogil baru akan menuntut keadilan dengan kejatuhan ketiga kali, tanda merah di dahi, dan bungkaman di mulut, tapi Lidya kontan memutar kepalanya 45 derajat.
"Noh, liat!" sembur Lidya.
"Ooo ..." Tidak mau terjadi apa-apa, Ogil serta merta membekap mulut, menyelamatkan diri.
"Kayaknya cewek itu ..." Lidya menoleh, namun kehilangan, ternyata ...
"Itu lebih enak kalau bumbunya dituang setelah 3 menit, Mbak."
Lidya menabok jidat. "Bodo. Ngapain sih?"
Menyadari keberadaannya sama sekali hampa, Ogil beringsut kembali ke meja kasir. Meninggalkan Maria dengan suapan mie pertamanya yang berasap.
Lidya melambai menghunjam bumi. Oke, connected.
"Stop!" lirih Ogil menyaksikan kuda kuda Lidya yang mencurigakan. Sudah cukup 3 kali. Enough.
***
Sluurrrp!
Ada yang menetes menyelinap masuk.
"Asin ..." Lirih Maria dibarengi lembab pipi yang makin menderas.
Serunya cukup untuk membangunkan tikus tikus yang bersembunyi di sudut sudut gudang penyimpanan stok barang.
Hening sejenak. Sebuah sapu tangan menyapa.
"Silakan, Mbak." Ogil mempersilakan dengan senyum mengembang. Di belakangnya Lidya mengulum bibir lantas menautkan kedua tangan.
"Terima kasih, Mas, Mbak."
"Iya itu daripada cadarnya basah, nanti." Bisik Ogil yang dihadiahi sikutan Lidya.
Melihat keraguan tersirat di kening Maria, Ogil-Lidya kontan mengibas ngibas udara.
"Nggak usah dibalikin, buat Mbak aja." Sambung Lidya. "Yuk, Gil."
***
Pssstt!
Lidya yang lagi tiktokan mendesis. Ia menoleh, menangkap bibir Ogil meliuk liuk. Mendapati gurat-gurat penuaan di dahi Lidya bertambah, akhirnya telunjuk Ogil beraksi jadi penunjuk arah.
"Mbak?" pelan, Lidya menyapa siku Maria yang nyaris saja menjuntai.
"Hm?" Maria menyeka wajahnya, kesal. Bisa-bisanya anak gadis tidur sembarangan tak tahu tempat. "Maaf, Mbak." Segera ia bangkit mengemasi barang-barang.
"Eh?" Lidya sigap mencekal pergelangan tangan Maria.
Maria menatap pergelangan tangan dan wanita di depannya bergantian.
"Maaf, Mbak. Saya bukan orang jahat kok. Hanya saja, Mbak kayaknya lelah. Di sini ada kamar jaga, Mbak." Tawar Lidya seraya mengedip cepat beberapa kali.
"E ... e... "
"Ayo, saya antar." Lidya lantas memimpin. Ia sandang tas dan bawaan Maria ke area belakang gudang penyimpanan stok.
***
"Gimana?" tanya Ogil mendapati Lidya kembali ke pos. "Woi! Diam aja, gue nanya kali." Damprat Ogil menyaksikan Lidya kesemsem macam orang kesambet.
Bukannya menjawab, Lidya malah menggoncang-goncang tubuh Ogil.
"Gue abis ketemu bidadari, Gil. Dia bercahaya banget." Puji Lidya seraya menatap langit-langit.
Ogil memonyongkan bibir. " Bilang aja lo mau minjam duit. Pake segala dongeng bidadari!"
"Pas cadarnya dibuka, waaaa. Wajah dengan filter air wudu. Lo kebayang nggak?" setelah sejenak hening, Lidya melanjutkan, "Nggak lah ya, manusia filter i********: mana tahu!"
Ogil menatap datar, lantas beranjak.
"Mau ke mana?" Lidya yang curiga serta merta menghadang langkah Ogil.
"Ya, mau liatlah. Gue mau mastiin." Celetuk Ogil tanpa beban.
Lidya menabok jidat. "Lo nggak pernah belajar agama? Mana boleh kalau belum mahram, bego!"
"Susah deh tu masa gue mesti nikahin dia dulu." Ogil cengengesan. Digaruknya kepalanya yang baru tadi pagi shampo-an.
"Arrrrggghhh!" Lidya menatap nanar. Lalu setelahnya, beberapa pieces lolipop dan kindorjay beterbangan.
***
Maria menelisik area sekitarnya berulang kali. Ingin sekali ia amnesia, lalu bertanya-tanya. Saya di mana, siapa saya. Lantas sekonyong konyong ada keluarga tanpa anak atau sekalian keluarga kaya yang memungutnya kemudian menjadikannya ratu kecil di istana mereka. Ah, memang skenario manusia terlalu indah. Makanya malaikat dulu ragu Tuhan mereka menciptakan manusia, karena manusia memang hanya mau enaknya saja. Mereka susah menerima ujian, tapi senang sekali dengan pujian. Berharap Allah selalu luluh, apabila ketika mereka mengeluh.
Sadarlah, Maria. Kau mau merepotkan lagi? Orang yang baru kau kenal?
"Mbak, ini ..." Lidya yang tanpa pemberitahuan datang dengan secangkir teh panas dan camilan.
Untunglah Maria sigap menyembunyikan apa yang sedang ditekurinya tadi, kalau tidak ia pasti akan dicap sebagai orang yang tidak menghargai kebaikan orang lain.
"Terima kasih, Mbak." Sahut Maria seraya meletakkannya di atas meja. Melihat gelagat Lidya yang akan menyambar tasnya, ia sigap mengambil langkah maju. "Kenapa, Mbak?"
Lidya meringis. "Saya mengagetkan ya, Mbak? Cuma mau bantu masukin baju baju Mbak nya ke lemari aja kok, Mbak. Siapa tau Mbak capek dan butuh istirahat."
"Nggak usah, Mbak. Biar saya saja." Maria dengan halus menolak. Tas dalam pelukannya sudah sesak menahan diri dari dekapan erat.
"Kalau gitu saya permisi ya, Mbak." Lidya mohon diri. Ia tahu bidadari yang baru ditemuinya itu mungkin ingin waktu untuk dirinya sendiri. Ada hal yang harus ia pahami walau tanpa ditanyai.
***