"Emangnya kamu masih ingat rumahku di mana, Rel?"
Varrel menoleh, tersenyum menatap Acha. "Ingat kalau memang belum pindah, Cha. Masih yang lama, 'kan? Atau benar-benar udah pindah?"
"Sebetulnya aku bisa pulang sendiri, kamu bisa lanjut ke kantor. Rumahku masih yang lama ngomong-ngomong. Emang gapapa kamu antar aku?"
Menanggapi itu Varrel hanya tersenyum. Lagipula sekalian jalan, apa salahnya? Apalagi kalau rumah Acha belum pindah, jaraknya tidak terlalu jauh. Sesekali Varrel melirik Acha, wanita itu sangat anteng melihat ke depan. Sampai detik ini dia tidak menyangka kalau sosok Acha kembali ke dalam kehidupannya. Ada perasaan aneh yang sampai detik ini Varrel rasakan. Hanya saja dia tidak bisa memahami apa perasaan yang mengganjal itu.
Merasa diperhatikan Acha menolah. Dahi wanita itu mengerut apalagi saat pandangannya beradu dengan Varrel. "Kamu kenapa liatin aku kayak gitu, Rel? Ada yang salah sama penampilan aku? Atau gimana? Ah, iya, kenapa tadi kamu bohong? Kenapa kamu bilang lagi meeting?"
Lagi-lagi Varrel hanya tersenyum. Setelah itu dia menjawab, "gapapa, Cha, kayaknya lebih baik begitu. Ayna itu gampang overthinking, aku ngga mau buat dia mikir aneh-aneh."
"Aneh-aneh"
"Iya. Nanti, ada waktunya kamu aku kenalin ke Ayna."
Sadar tidak bisa memaksa, Acha hanya mengiyakan. Jujur saja dia belum puas bertemu Varrel, masih banyak yang ingin dia bicarakan. Tapi mengingat pria di sampingnya harus kerja, Acha tidak bisa menahan. Tangan Acha terulur menyentuh tangan Varrel. Sentuhan tiba-tiba itu membuat Varrel menoleh, kebetulan tepat di lampu merah.
"Aku masih boleh dekat sama kamu ngga, Rel? Aku tau kamu udah menikah, tapi aku pengen kita kayak dulu. Anggap aja kita teman, ngga lebih. Di sini aku cuma punya kamu dan keluarga. Ah, iya, aku boleh ketemu tante Salwa sama om Pradipta? Tapi mgga sekarang, mungkin nanti-nanti."
Tanpa fikir panjang Varrel mengangguk mengiyakan. Tidak ada yang salah dengan permintaan Acha, maka dari itu dengan senang hati dia mengizinkan. Varrel juga yakin kedua orangtuanya sangat welcome kepada Acha. Pasalnya dulu hubungan mereka sangat baik.
"Boleh?" Acha kembali memastikan jawaban Varrel.
"Boleh, Cha. Pintu rumah mereka akan selalu terbuka buat kamu. Mereka pasti ngga akan sangka kalau kamu pindah lagi ke sini."
Jawaban Varrel membuat Acha lega. Dari awal berpisah, sampai detik ini, sosok Varrel sama sekali tidak berubah. Pria itu tetap baik dan apa adanya. Dalam hati Acha sangat bahagia, saking bahagianya dia ingin sekali melompat. Tapi rasanya tidak mungkin dia melakukan itu semua.
Sekitar satu jam setengah di perjalanan kini mobil Varrel telah sampai di depan rumah yang tidak asing di matanya. Tidak banyak berubah dari bangunan itu, masih sama seperti dulu saat dia sering mengunjungi. Varrel menatap dalam Acha yang sedang membuka sabuk pengaman. Melihat wanita itu kesusahan Varrel dengan sigap membantu. Jarak keduanya sangat dekat, bahkan Acha sampai tahan napas. Setelah sabuk pengaman itu terlepas tubuh Varrel kembali menjauh.
"Makasih," ujar Acha. Acha merasakan wajahnya memanas, dia benar-benar salah tingkah saat ini. Sebelum semakin tidak karuan hatinya buru-buru Acha membuka pintu mobil. Namun sebelum turun dia kembali menatap Varrel.
"Ada apa lagi, Cha?" tanya Varrel lembut.
"Engga, gapapa, hehe. Kalau gitu aku turun ya? Makasih udah mau makan siang bareng terus antar aku pulang. Semoga ini bukan pertemuan pertama dan terakhir ya." Acha melambaikan tangan, lalu dia turun dari dalam mobil.
Setelah Acha keluar, pintu tertutup, Varrel masih memandangi Acha. Wajah ceria wanita itu ... ah, buru-buru Varrel menyadarkan dirinya sendiri. Tidak ingin berlama-lama dia menyalahkan mesin mobilnya kembali.
Tin!
Mobil Varrel perlahan pergi, meninggalkan rumah Acha. Selama diperjalanan Varrel tak henti-hentinya tersenyum.
Dreet..dreet..dreet.
Suara ponsel terdengar, sambil memperlambat laju mobilnya Varrel mengangkat video call dari Ayna. Beruntung Acha sudah tidak ada di sampingnya.
'Ayah!'
Sapaan riang itu langsung Varrel dapati saat panggilan itu terhubung. Senyum pria itu kembali mengembang, apalagi saat anaknya berdebat kecil untuk melihat layar.
"Hey, jangan bertengkar. Ayah di sini, kalian lagi apa?"
'Lagi main. Ayah kapan pulang?'
"Tunggu ya, sebentar lagi Ayah pulang. Nanti kita main sama-sama. Kalau Adik lagi apa?"
Kamera berubah, kini menampilkan wajah anak keduanya yang sedang makan. Wajahnya sangat lucu, menggemaskan. Ingin rasanya Varrel mencubit pipi gembulnya. Tidak terasa memang anaknya semakin besar. Rasanya baru kemarin mereka masih bayi.
'Adik mam.'
"Mam apa, Adik?"
'Puding!'
"Pintarnya anak Ayah. Makan yang benar ya? Habisin. Ah, iya, di mana Ibu?"
Tidak lama kemudian kamera berali menampilkan wajah Ayna. Wajah istrinya terlihat sangat ceria walaupun dia tahu aslinya sedang lelah. Ada perasaan tidak enak di hati Varrel karema tadi istrinya sudah datang jauh-jauh ke kantor tetapi dirinya memilih makan di luar bersama Acha. Sebetulnya ajakan makan siang di luar bukan keinginannya, tetapi keinginan Acha. Maka dari itu dia tidak enak untuk menolak.
"Semua aman di rumah, Ay?"
'Aman, sayang. Kamu gimana meetingnya? Masih di jalan ya? Kalau iya kenapa panggilannya dijawab? Bahaya loh.'
"Its okay, lagi menepi kok. Ay, maaf ya. Aku benar-benar minta maaf."
Di sebrang sana kening Ayna mengerut mendengar permintaan maaf dari suaminya.
'Minta maaf? Maaf buat apa?'
"Tadi kamu ke kantor aku ngga ada. Padahal kamu udah capek-capej masak terus ke kantor."
'Oh, itu. Gapapa, ngga masalah. Lagipula makanannya aku kasih ke Karina sama Rangga, kok, jadi ngga kebuang. Udah, jangan ngerasa ngga enak gitu. Yaudah kamu lanjut, kita tunggu di rumah. Hati-hati di jalan suami.'
"Makasih pengertiannya, Ay."
Tut!
***
Setelah mengantar Acha Varrel memutuskan untuk kembali ke kantor. Sebetulnya dia ingin langsung pulang, tetapi lupa ada dokumen yang harus dia cek dan tandatangani. Maka dari itu Varrel memutuskan kembali. Setelah memarkirkan mobil Varrel berjalan memasuki loby.
Ting!
Pintu lift terbuka, buru-buru Varrel masuk ke dalam. Di dalam lift dia tidak sendiri karena ada beberapa karyawan. Mereka semua menyapa, Varrel hanya tersenyum menanggapinya. Sesampainya di lantai tujuan Varrel bergegas masuk ke dalam ruangan. Namun baru mau masuk dia papasan dengan Devan.
"Sebentar ya, Van, berkasnya belum saya tandatangani," ujar Varrel.
"Iya, Pak, tidak apa-apa. Oh, iya, Pak. Tadi kata ibu Ayna Bapak meeting? Tadi bu Ayna tanya, saya bilang hari ini Bapak tidak ada meeting."
Varrel terdiam mendengar penjelasan Devan. Astaga, dia benar-benar lupa memberitahu Devan. Apa jangan-jangan saat ini Ayna sedang berfikir yang tidak-tidak?
"Pak?" tegur Devan karena Varrel tiba-tiba terdiam. Apa perkataannya ada yang salah?
"Ah, iya, cuma pertemuan biasa sama kolega. Kami cuma bahas soal kerjasama, jadi saya rasa tidak perlu ajak kamu. Kalau gitu saya masuk dulu ya? Nanti saya kabari lagi." Tanpa menunggu jawaban Devan buru-buru Varrel masuk.
Bukan hanya memikirkan perkataan Devan, Varrel juga baru teringat kalau tadi Acha datang membawa bunga. Apa Ayna melihat bunga itu di dalam laci meja kerjanya. Di dalam buru-buru Varrel melihat bunga pemberian Acha. Masih ada, tidak ada yang berubah. Itu artinya Ayna tidak melihat. Kalau wanita itu melihat urusannya akan panjang.
"Syukurlah Ayna ngga lihat," guman Varrel.
***