Bab 11. Menepis Overthinking

1119 Words
"Ayna Khallisa Aurellia, tunggu!" Mendengar namanya dipanggil langkah Ayna terhenti. Tubuh wanita itu berputar, menatap seseorang yang kini berlari ke arahnya. Orang itu adalah Karina, sahabatnya. Masih dengan otak kusutnya Ayna menyambut Karina yang sangat heboh. "Mau pulang, Na? Kok cepat banget? Jam makan siang belum selesai padahal," ujar Karina, setelah dia berdiri tepat di hadapan Ayna. Walaupun Ayna sering ke sini untuk mengantar makanan suaminya, Karina jarang papasan. Maka dari itu sekalinya papasan dia sangat senang. "Varrel ngga ada, katanya lagi meeting di luar. Karna dia ngga ada makanya gue mau pulang aja, Kar. Lo gimana? Masih aman kerja di sini? Gimana sama Rama?" Sebelum menjawab Karina menarik pergelangan tangan Ayna, mengajaknya duduk di kursi. Banyak sekali yang ingin dia ceritakan, tetapi Karina sadar kalau waktunya tidak akan cukup. Keduanya duduk di kursi, Ayna menunggu apa jawaban wanita di sampingnya. Jujur saja setelah menikah ditambah punya anak Ayna sangat jarang ke luar bertemu teman-temannya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bermain dengan kedua anaknya. Walaupun begitu Ayna tidak menyesali karena memang itu sudah tugasnya sebagai ibu. "Minggu depan gue gue mau lamaran sama Rama, Na. Doain semuanya lancar ya? Demi apapun gue deg-degan parah," kata Karina sambil menggenggam tangan Ayna. Kedua mata sipit Ayna membulat mendengarnya. "Demi apa, Kar? Kayaknya baru kemarin lo nangis-nangis pengen putus, taunya minggu depan tunangan. Agak anjir, tapi gue senang dengarnya. Finally, teman-teman gue sold out." Senyum Karina mengembang. Diantara dirinya, Ayna, dan Agatha, Karina memang menjadi orang terakhir yang belum menikah. Tapi sebentar lagi dia akan menyusul kedua sahabatnya. Saking bahagianya Karina memeluk Ayna dengan erat. Walaupun banyak karyawan berlalu-lalang, mereka berdua tidak sungkan. Lagipula siapa yang tidak tahu persahabatan Ayna dengan Karina? Mereka sudah bersahabat bahkan sebelum Ayna menikah dengan Varrel. Sedang asik berpelukan Karina tidak sengaja melihat Devan yang baru ke luar dari dalam lift. Karina menarik tubuhnya dari pelukan Ayna lalu bertanya, "itu bukannya pak Devan? Loh, katanya pak Varrel meeting, Na?" Ayna mengikuti arah pandang Karina. Saat Devan melintas Ayna hanya bisa menghembuskan napasnya. Entah kenapa tiba-tiba saja perasaannya berubah tidak enak. Ayna tidak mau overthinking, tidak mau berburuk sangka. Sebisa mungkin dia menepis semua itu. "Na, kok lo diam sih?" "Itu sih yang bikin gue bingung. Tadi gue telepon Varrel, dia bilang meeting di luar. Tapi pas gue tanya Devan, katanya hari ini Varrel ngga ada jadwal meeting. Gue bingung mana yang harus dipercaya. Tapi masa iya gue meragukan suami sendiri? Tapi ... masa iya Devan bohong? Dia sekretaris, pasti dia yang nyiapin agenda." Mendengar penjelasan Ayna barusan Karina teridam. Seketika otak wanita itu juga ikut berfikir mana yang lebih logis. Walaupun begitu Karina tidak langsung memberikan jawaban asal agar sahabatnya tidak overthinking pada suaminya. "Tapi mungkin ngga sih kalau pak Varrel meeting dadakan? Atau ketemu kolega sambil lunch? Pertemuan santai, jadi pak Devan ngga mesti ikut." Apa yang Karina katakan ada benarnya. Ah, ternyata berbicara dengan Karina membuat otaknya tercerahkan. Memang terkadang sekretaris tidak selalu mendampingi bos. Ayna tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Teringat sesuatu, Ayna memberikan tas berisi bekal makanan ke Karina. "Apa ini?" Kening Karina mengerut menerima tas kecil itu dari Ayna. "Tadinya bekal buat Varrel. Tapi berhubung Varrel ngga ada, mubazir juga kalau dibuang, buat lo aja gimana? Ini steak, tadi gue masak. Ya semoga cocok sih di lidah lo." Kebetulan memang belum makan siang, Karina dengan senang hati menerima pemberian Ayna. Tanpa perlu berlama-lama dia mengeluarkan kotak makan itu lalu mencicipi masakan Ayna. Beberapa potong daging Karina coba, ternyata rasanya tidak aneh. Maka dari itu dia melanjutkan makannya. Melihat Karina sangat lhap tentu Ayna senang. Setidaknya makanan itu tidak kebuang. "Enak ngga, Kar? Atau ada yang kurang?" tanya Ayna. Jujur saja selama ini dia selalu masak belum pernah dapat komplain dari Varrel. Entah masakannya memang enak atau pria itu tidak enak untuk mengutarakannya. Maka kebetulan Karina mencicipi Ayna penasaran sama responnya. Tanpa ragu Karina manganggukan kepalanya. Bukan karena Ayna sahabat atau ingin menyenangkan, tetapi memang masakan wanita itu rasanya lezat. Sedang asik makan dan mengobrol tiba-tiba Rangga datang. Seperti biasa, pria itu datang selalu dengan kehebohannya. "Beli apa, Kar?" tanya Rangga, menyenggol lengan Karina. "Hari ini gue irit, dapet makan gratis dari Ayna." Rangga menyipitkan matanya menatap Ayna. "Jadi cuma Karina aja yang lo kasih? Selama ini lo anggap gue apa, Ayna? Kenapa lo lupain gue?" Drama yang tidak pernah hilang. Ayna menghela napas mendengarnya. Sambil bermain ponsel dia menjawab, "itu makanan Varrel, tapi karna dia lagi meeting jadi buat Karina aja. Kalau mau bagi dua aja sama Karina." "Meeting?" Rangga mengulang perkataan Ayna, membuat wanita itu menatapnya. "Iya, dia bilang meeting sambil lunch. Kenapa emang, Ngga?" "Tadi gue liat pak Devan kok lagi ambil makan siang." Ah, hampir saja Ayna dibuat overthinking lagi. "Ngga sama pak Devan?" tanya Rangga lagi. Pria itu ikut duduk di samping Karina, mengambil kotak makan dari tangan wanita itu. Melihat steak yang tersaji seketika menggugah selera Rangga. Ayna menggelengkan kepalanya seraya menjawab, "kayaknya Devan emang ngga ikut. Atau bisa aja Varrel cuma meeting santai sama koleganya. Karna dulu pas gue masih jadi sekretarisnya pernah begitu." Mendengar jawaban Ayna Rangga hanya beroh ria sambil melanjutkan makannya. Hanya hal sepele, memang tidak perlu yang ada dibuat pusing. *** Setelah dari kantor Ayna pulang ke rumah. Sesampainya di dalam rumah dia langsung disambut oleh kedua anaknya yang berlari menghampiri. Ayna berjongkok, memeluk keduanya erat. "Abang sama Adik lagi apa?" "Buna, ayah mana?" Ditanya apa jawabannya apa. Tangan Ayna terulur mengusap pucuk kepala Alaska. Hari masih siang, mana mungkin suaminya sudah di rumah? Bahkan siang ini dia tidak bertemu. "Ayah kerja, Abang, nanti sore baru pulang. Kenapa Abang nyariin ayah? Ini Buna pulang loh padahal," kata Ayna sambil mengusap kepala anak laki-lakinya. Alaska menggelengkan kepala. Dia mengajak Ayna untuk masuk menuju ruang televisi. Kondisi ruang televisi sangat berantakan, semua mainan turun dari tempatnya. Ayna yang melihat itu hanya bisa menghela napas tanpa bisa marah. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk marah karena hal seperti ini sudah terbiasa. Membiarkan anaknya main kembali Ayna memilih duduk di sofa sambil mengecek ponsel. Ponselnya bersih, tidak ada panggilan atau pesan dari Varrel. Apa suaminya masih bertemu koleganya? Ada rasa ingin mengirim pesan, tetapi Ayna ragu takut menganggu. "Mbak Ayna udah pulang?" Ani datang dari dapur. Ditaruhnya dua piring berisi puding untuk anak majikannya di atas meja. "Mau Bibi buatkan minum, Mbak?" "Boleh kalau ngga ngerepotin Bibi." "Ah, mbak Ayna kayak sama siapa aja. Mau dibuatkan apa, Mbak?" Ayna terkekeh seraya menjawab, "aku mau jus mangga, Bi." Ani mengacungkan kedua jempolnya. Setelah itu dia bergegas ke dapur untuk membuatkan pesanan sang majikan. Tubuh Ayna kembali bersandar sambil memperhatikan kedua anaknya dengan senyum mengembang. Tidak terasa bahkan Ayna tidak menyangka kalau dirinya sudah mempunyai dua orang anak. "Dulu mana kepikiran gue punya anak," guman Ayna. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD