17- Sebuah Uluran Tangan

1033 Words
Alex terbangun di tengah kamarnya yang gelap gulita. Pria itu mencoba bangkit dari tidurnya kemudian mendudukkan dirinya. Matanya melirik pada jam beker di atas nakasnya yang menunjuk pukul empat lebih lima puluh menit, pada dini hari. Tepatnya saat ini pria itu tengah menunggu sesuatu. Ketika jam hampir menunjuk pukul lima tepat, ponselnya berdering nyaring. Getarannya berulang beberapa kali membuat nakas di samping ranjangnya ikut bergetar. Sebenarnya dering telepon itu yang sejak tadi ditunggunya. "Selamat dini hari, Pak Alex. Selamat bangun tidur. Jangan tidur lagi ya, Pak, karena saya gak akan bangunin Pak Alex untuk kedua kalinya." Perkataan dari orang di sebrang sana terdengar sangat cepat. Bahkan mungkin dalam sekali tarikan napas. Alex hanya menganggukkan kepalanya ketika mendengar suara seseorang di sebrang sana itu. Pria itu tanpa sadar menarik sudut bibirnya, mengingat bahwa perkataan itu sebenarnya sudah terus diucapkan berulang kali selama hampir satu minggu ini. Dan tebakannya tepat lagi bahwa orang itu pasti akan selalu mengucapkan kalimat yang sama. Iya, perkataan orang di telepon itu adalah perkataan dari Nindy, Sekretarisnya. Selama lebih dari satu minggu ini Nindy telah berhasil menepati janjinya, salah satunya adalah dengan membangunkan Alex tepat pada pukul lima dini hari. Meskipun terkadang Alex merasa bahwa Nindy terkesan malas untuk membangunkannya, namun setidaknya gadis itu tak pernah mengeluhkan apapun. Atau ... mungkin saja Nindy mengeluh namun Alex yang tak melihatnya. Sebenarnya, Alex salah satu hal yang harus diingat itu bukan termasuk dengan membangunkannya tidur, tambahan itu adalah hal baru untuk Nindy karena Alex sengaja ingin mengetes kesungguhan gadis itu bekerja dengannya. Alex bahkan tak perlu bersusah payah dibangunkan tidur oleh siapapun dan apapun karena ia memiliki insting alamiah untuk bangun dan tidur. Tak perlu repot- repot untuk meminta Nindy membangunkannya. Namun tanpa sadar, lama kelamaan Alex menjadi terbiasa mendengar suara Nindy di pagi hari. Sehingga membuat pria itu membiarkan Nindy terus melakukan kegiatannya membangunkannya itu. Tanpa sadar pula, selama seminggu belakangan Nindy sudah mulai menjadi bagian dari pagi harinya. "Eum," sahut Alex dengan singkat. Singkat, padat, dan jelas. Bahkan lebih dari satu minggu ini, pria itu selalu mengulangi perkataannya itu. Tak sekalipun berniat untuk membalas dengan kalimat lain. Sambungan telepon masih terhubung. Nindy di sebrang sana terdengar menghela napas kasarnya sebelum akhirnya mengucapkan kalimatnya yang selanjutnya. Bahkan kalimat itu juga selalu diucapnya selama seminggu belakangan. "Sepertinya Pak Alex sudah bangun. Artinya... tugas saya untuk membangunkan Pak Alex sudah terlaksana," ucapnya dengan segera. Lalu gadis itu melanjutkan, "Kalau begitu saya mohon izin untuk menutup sambungan teleponnya, ya. Selamat dini hari, sampai bertemu nanti pagi." Klik Sambungan telepon kini berakhir. Nindy benar- benar mengakhiri sambungan itu tanpa perlu menunggu balasan dari Alex lagi. Ya... karena Nindy tahu kalau Alex tak akan membalas apapun lagi sesudahnya. Alex hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saat mengetahui sambungan itu telah berakhir begitu saja. Ia tidak marah karena ketidaksopanan Nindy. Yang Alex tahu, setidaknya gadis itu sudah menepati janji yang dibuatnya sendiri. Alex mulai meletakkan ponselnya ke atas nakas kembali. Lalu selanjutnya pria itu mencoba mengambil gelas berisi air di atas nakas dengan menggunakan kekuatannya. Sejak tadi ia merasa tenggorokannya mengering dan ia sangat membutuhkan air sekarang. Namun gelas berisi air itu tak mau bergerak sedikitpun. Alex sudah mencoba berulang kali dan tetap stagnan. "Sial!" Alex mengumpat. Lalu dengan malasnya ia mencondongkan tubuhnya ke arah nakas untuk mengambil gelas itu sendiri. Tanpa menggunakan kekuatan yang ia miliki. "Saya memang benar- benar sudah tua." Alex menggerutu seorang diri sembari menyesap air di dalam gelas itu. Lalu sambil mengusap bibirnya yang basah, pria itu menyambung kalimatnya. "Usia 1109 memang sudah terlalu tua untuk berada di bumi ini," sambungnya dengan cibiran. °°°°° Nindy tersenyum melihat Alex yang dengan tenang menyeruput kopi paginya. Dari jendela yang memisahkan antara ruangannya dengan ruang Alex itu, Nindy dapat melihat dengan jelas bagaimana pria dingin itu sangat menikmati kopi buatannya. Kemudian setelah menyeruput kopi buatan Nindy itu, Alex segera larut kembali dalam pekerjaannya. Tatapannya kembali berpusat pada layar monitornya. Nindy lagi- lagi tersenyum. Tangannya ia lipat di depan dadanya tampak seperti orang yang tengah mengamati. Kemudian gadis itu mengangguk- anggukkan kepalanya. "Ya ... seenggaknya kopi bikinan gue gak ada racunnya," ucap Nindy dengan menyeringai. Setelah gadis itu mendapati Alex kembali fokus pada kerjaannya, Nindy pun ikut fokus dengan kerjaannya. Ia sesekali mencentang semua tugas yang telah ia lakukan pagi ini untuk Alex. Kemudian setelah mengetahui hasil centang itu, ia tersenyum. Meskipun masih banyak hal yang harus dilakukan nanti siang, setidaknya ia sudah menyelesaikan tugas pagi harinya. "Bangunin Pak Alex, centang. Berlari pagi selama sepuluh menit mengitari rumah, centang. Ambil jas di penatu, centang. Buatin kopi pagi, centang. Sarapan, centang." Nindy berbinar saat menatap satu per satu hasil centangannya itu. Kemudian gadis itu terkikik sendiri. "Oke, gue rasa seminggu belakang untuk proses adaptasi sudah bisa teratasi. Gue bakal lanjutkan ke niat awal gue." Nindy menyemangati dirinya sendiri. Mata gadis itu berkobarkan api menandakan bahwa semangatnya tak padam. "Oh ini Sekretaris barunya Pak Alex." Nindy mendongak. Lalu pandangan matanya seketika bertemu dengan mata milik seorang cowok di depannya. Cowok yang mempunyai rambut hitam dengan poni rata yang tampak seperti boyband idola Korea sana. Cowok itu tampak masih sangat muda, bahkan mungkin dengan usia yang di bawah Nindy. Sekejap Nindy terpesona namun dengan cepat gadis itu tersadar. "Iya," ucapnya dengan nada lembut yang terdengar dipaksakan itu. Gadis itu menyampirkan helaian rambutnya ke samping telinganya. "Saya Nindy, Sekretaris barunya Pak Alex." Galih terkekeh melihat tingkah Nindy. "Akhirnya dia mau juga rekrut Sekretaris baru," lirihnya yang menyerupai bisikan itu saat menatap Alex dari balik jendela kaca ruangannya. Nindy sontak mengernyit. "Gimana, Mas?" tanyanya. "Ah, enggak." Galih mengibas- ngibaskan tangannya di depan wajah Nindy. Ia merasa malu karena ketahuan membicarakan bos mereka itu. Cowok itu dengan senyum menawannya kemudian mulai mengulurkan tangannya di hadapan Nindy. Ia melebarkan senyumannya ketika Nindy menatapnya. "Namaku Galih," ucapnya dengan ramah. Tangan Nindy dengan cepat ia angkat untuk menyambut uluran tangan Galih itu. Bagai ada sengatan listrik yang Nindy rasakan ketika kulit tangannya bersentuhan dengan kulit tangan Galih. Dan entah mengapa, sekejap kemudian Nindy kembali terpesona akan senyum Galih. Bahkan senyuman itu seribu kali lipat dibandingkan dengan wajah datar nan dingin dari Alex, bosnya itu. Huft! Bahkan Alex masih terus membayanginya ketika Nindy tengah berkenalan dengan cowok ganteng! Menyebalkan! °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD