16- Secangkir Kopi

1056 Words
Suara hentakan heels yang bersahutan dengan lantai terdengar sangat keras. Bunyinya makin keras menggema di sepanjang penjuru koridor. Bunyi itu adalah bunyi langkah kaki Nindy yang tengah berlari. Gadis itu mengabaikan tatapan orang- orang dalam gedung perusahaannya yang semenjak tadi melihatnya berlari. Ia terus berlari sambil sesekali memandang jam tangan coklatnya. "Mampus gue!" Lari Nindy kian kencang begitu melihat jam sekarang menunjuk pukul tujuh pagi. Seiring larinya yang kencang itu, bunyi hentakan heels juga kian terdengar memekakkan telinga. Mendadak Nindy panik menyadari bahwa dirinya saat ini sangat terlambat. Jangankan untuk membangunkan Alex itu, Nindy bahkan belum menyiapkan kopi pagi untuk Alex sama sekali. Semua ini karena ulah alarmnya yang secara ajaib menjadi tak berfungsi, bahkan untuk hari pertamanya bekerja. Gawat! Alex sudah menuliskan di dalam catatan itu bahwa pria dingin itu tak menyukai orang yang lambat dan bahkan sama sekali tak menyukai orang yang terlambat. Nindy bahkan sejak tadi sudah merapal doa untuk dirinya agar tak terjadi apapun itu padanya. "Ih, gara- gara alarm sialan itu!" Nindy terus berlari menuju dapur pantry dengan cepat. Tadi Nindy langsung menanyakan di mana keberadaan pantry itu, lalu segera berlari ke sana. Ia kemudian dengan terburu- buru mengambil secangkir gelas dan langsung menyeduh kopi. Nindy pikir, meskipun ia terlambat, setidaknya ia harus tetap membuatkan secangkir kopi untuk Alex. Siapa yang sangka bahwa nantinya hati Alex akan melunak dan memaafkan Nindy, 'kan? Nindy kini sudah menyelesaikan kegiatannya menyeduh kopi. Lalu gadis itu mulai berjalan dengan cepat menuju ruangan Alex, sambil menjaga keseimbangan agar kopi itu tak tumpah. Terus merapalkan doa di atas kopi itu, Nindy kini seperti sedang menjampe- jampe Alex. Ia menaruh harapan penuh pada secangkir kopi di tangannya itu. Mengapa bisa sih di hari pertamanya kerja ini selalu ada masalah?! Tok Tok Tok Nindy menelan ludahnya susah payah sambil menunggu respon Alex ketika ia mengetuk pintu itu. Ia menjadi gugup sekarang. Apa Alex mungkin akan mengusirnya langsung bahkan di hari pertama Nindy bekerja menjadi Sekretarisnya? "Masuk!" Nindy mulai sedikit bernapas lega ketika mendengar seruan itu. Setelah memastikan penampilannya rapi, gadis itu mulai mendorong pintu ruang Alex. Ia memasuki ruangan dengan perlahan. "Permisi, Pak ... Maaf, saya terlam-" Ucapan Nindy terputus begitu melihat ada secangkir kopi lain di atas meja Alex. Rasanya seolah semua harapannya luruh begitu saja. Siapa sih yang menyeduh secangkir kopi itu untuk Alex, sehingga menggagalkan rencana Nindy?! "Hem." Alex hanya melirik Nindy sekilas sembari menatap arlojinya. "Kamu terlambat sepuluh detik," ucapnya dengan santai. Nindy rasanya hampir mengumpat saat ini begitu mendengar ucapan Alex. Hanya terlambat sepuluh detik? "Tapi bukan hanya itu saja ..." Alex kini mulai sepenuhnya menatap Nindy. ".... kamu juga lupa membangunkan saya tadi pagi. Dan saya tahu alasannya sekarang. Kamu terlambat bangun." Alex tepat sasaran ketika mengucapkan kalimat panjang lebar itu. Tangan Nindy yang masih memegang camgkir itu kini mulai goyah dan hampir jatuh. Ia berdehem mendengar perkataan Alex itu. "Maaf, Pak," balasnya. Alex hanya menggeleng pelan. "Lebih baik kamu kembali pulang ke rumah sekarang, karena baru hari pertama saja kamu sudah terlambat." Mendengar ucapan tiba- tiba dari Alex itu, dengan cepat Nindy meletakkan secangkir kopi itu ke atas meja di ruangan Alex itu. Lalu dengan segera gadis itu melangkah makin mendekati meja Alex. "Maafkan saya, Pak. Saya janji gak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Janji!" Nindy memasang raut memelasnya. Kemudian mengusapkan tangannya itu berulang kali sebagai simbol permohonannya. Ia tentu saja harus melakukan itu untuk dimaafkan Alex. Alex kini menopang dagunya seraya menatap Nindy. "Memangnya kamu bisa jamin gak akan melanggar janji lagi?" tanyanya dengan sorot tajam. Glek Sekali lagi Nindy kesusahan menelan salivanya sendiri. Ia melirik kanan dan kirinya guna mencari jawaban yang akan membuat Alex tenang. Lalu ... "Iya!" Nindy berseru keras secara tiba- tiba. Gadis itu menyengir. "Siap! Saya bisa jamin gak akan melanggar janji saya, Pak!" Ia menggebu. Ditatapnya Alex dengan sorot mata yang sangat meyakinkan. Lalu ia kembali memasang raut memelasnya. "Maafin saya, ya, Pak ..." Alex memandang Nindy sekali lagi sebelum akhirnya menghela napas panjangnya. Pria itu pada akhirnya menggeram pelan, ketika tahu bahwa dirinya tak bisa menang saat ini. "Ya sudah. Saya maafkan kamu." Ia menjeda. Lalu saat Nindy hendak membuka bibirnya, Alex dengan cepat melanjutkan kalimatnya lagi. "Tapi ingat! Saya tidak suka pada orang yang melanggar "Semua Hal yang Harus Diingat" itu untuk tiga kali. Kamu masih punya dua kesempatan lagi." Alex menekankan kalimatnya. Nindy tersenyum. Lalu membatin dalam hatinya. Jadi ... artinya tidak masalah kalau Nindy mungkin saja tak sengaja melanggar "Semua Hal yang Harus Diingat" lagi? Pikiran Nindy langsung ditepis begitu saja dengan ucapan dari Alex. "Jangan senang dulu, saya belum selesai." Nindy mengernyit. "Ya?" Alex menatap Nindy dengan serius. "Saya memang bilang kalau kesempatan kamu masih ada dua, tetapi saya juga mau bilang kalau saya gak suka pada orang yang melanggar di kesalahan untuk kedua kalinya." Alex lagi- lagi menekan kalimatnya di akhir. Lalu ia menurunkan tangannya yang sejak tadi ia letakkan di bawah dagunya. Nindy mengangguk berulang kali meskipun akhirnya gadis itu menggerutu dalam hati. "Gimana sih?!" batin gadis itu. Alex berdehem. "Sekarang kamu bisa mulai bekerja." Ia menatap arlojinya itu lalu melirik Nindy yang masih berdiri di depan mejanya. Nindy masih dalam raut wajah memelasnya. Yang langsung dengan ajaib diubahnya menjadi sumringah. "Siap, Pak!" °°°° Hari pertamanya Nindy habiskan dengan mengenal satu per satu nama karyawan di dalam divisi yang Alex pimpin. Gadis itu berkenalan satu per satu, dan terus menyebutkan nama lengkapnya yang mudah diingat itu. Lalu setelah berkenalan, Nindy akan sibuk melayani Alex. Seperti memesankan makan siang, mengambil baju di penatu, mengambil paket yang lama diantarkan ke ruangannya, atau seperti dengan membuatkan pria itu minuman dingin manis. Seharian ia sudah seperti babu untuk bosnya yang dingin itu. Nindy memang diajak ke ruangan rapat siang ini, namun gadis itu bukannya mengerjakan tugas sebagai Sekretaris, ia malah disuruh untuk memfoto Alex dan memvideokan pria itu dari awal sampai akhir rapat. Sampai pegal tangannya dibuatnya. Alex mungkin bisa saja membunuhnya secara halus dan perlahan. "Nindy!" Nindy menoleh sekali lagi ketika dipanggil oleh bosnya itu. Lalu dengan cepat menuju ruangannya. "Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu dengan nada yang dibuat- buat agar terdengar lembut. Alex tanpa memandang Nindy lalu mengacungkan cangkir yang sudah kosong di tangannya itu. Lalu dengan santai berujar, "Isi ulang dengan secangkir kopi yang baru." Oh, dan bahkan Nindy sudah lelah untuk mengumpat lagi dalam hatinya! °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD