18- Wanita Cantik

1131 Words
Galih menatap Nindy dari samping sambil berkata, "Gak usah terlalu formal banget, Nin. Aku rasa kita berdua seumuran." Nindy tercengang mendengar ucapan Galih itu. "Oh ya?" tanyanya terkejut. "Mas kelahiran tahun berapa?" Nindy kini mendadak penasaran. Mengingat wajah Galih yang tampan itu benar- benar tidak menunjukkan usianya. Bahkan Nindy kira kalau Galih itu lebih muda darinya. "Dua puluh empat." Galih berkata cepat. Kemudian ia tersenyum dan menanyakan pertanyaan balik pada Nindy. "Kalau kamu sendiri?" Nindy berbinar mendengar perkataan Galih. Ia senang karena mendapatkan teman yang sepantaran dengannya. Nyatanya jarak usia mereka berdua hanya terpaut satu tahun, di mana lebih tua Galih. Jadi Nindy akan menganggap cowok itu sebagai temannya saja. Iya, teman yang seumuran. Tanpa menunggu waktu lama lagi, Nindy dengan cepat kembali menjabat tangan Galih. "Kita seumuran, kok," ucap gadis itu dengan antusias. Galih tersenyum. Kemudian membuka bibirnya kembali. "Semoga kita berdua bisa akur, ya," candanya. Disusul dengan anggukkan kepala Nindy tak kalah semangat. "Iya." Tepat setelah itu kedua orang itu terdiam, tak melanjutkan obrolannya. Mendadak kehabisan topik obrolan karena ini merupakan pertama kali mereka berkenalan dan mengobrol. Keduanya mendadak canggung. Sampai akhirnya seorang wanita muda melenggang dengan santai melewati meja Nindy dan Galih yang tengah berdiri di dekatnya. Wanita itu sangat cantik bagi siapapun yang pertama kali melihatnya. Wanita itu berambut hitam panjang dan tubuhnya bagai gitar spanyol, siapapun pasti akan langsung menyatakan bahwa wanita yang diperkirakan berusia di akhir dua puluhan tahun itu sangat cantik. Wanita itu berakhir dengan memasuki ruang milik Alex, bosnya itu. Nindy sontak terkejut melihatnya. Pertama karena terkejut bahwa ada wanita secantik itu, dan kedua karena ternyata wanita cantik itu memasuki ruangan Alex. Pasti keduanya sudah berhubungan sangat dekat mengingat kini wanita itu terlihat memeluk dan cipika- cipiki dengan Alex. Nindy diam- diam memandang keduanya dari kaca jendela besar di ruangan Alex yang tembus pandang itu. Ia pun mendadak penasaran siapa gerangan wanita cantik itu. Nindy secara reflek menatap Galih dan langsung bertanya pada cowok itu. "Mas, wanita cantik itu siapa?" tanyanya dengan raut penasaran. Nindy beralih kembali menatap ruangan Alex sembari melanjutkan kalimatnya. Ia masih penasaran. "Kok dia masuk ke ruangannya Pak Alex?" Galih ikut memandang ruang yang tengah dipandang oleh Nindy itu. Kemudian menatap Nindy dengan cepat sembari berkata, "Oh dia ... dia Bu Isabela." Nindy yang sedari tadi masih memandang ke dalam ruang Alex, kini dengan segera menatap Galih. "Bu Isabela?" tanya gadis itu sembari mengernyit dahinya. Galih menatap balik Nindy. Kemudian cowok itu mengangguk. "Iya, dia Isabela, putri Owner perusahaan ini." Mendengar penjelasan dari Galih itu, Nindy mengernyit makin dalam. "Maksudnya ... Pak Andromeda?" tanyanya lagi. Galih dengan cepat menjawab. "Iya, betul." Cowok itu mengacungkan jempolnya. Nindy hanya mengangguk- anggukkan kepalanya. Ia jadi tahu kalau memang hubungan Alex dengan Andromeda sangatlah dekat, bahkan mungkin keduanya memiliki hubungan lain yang lebih erat dari yang diketahui orang di luar sana. Mengingat bagaimana ketika Alex tak sanggup berkutik untuk menolak setiap permintaan dari Andromeda, bahkan untuk menerima gadis asing untuk menjadi Sekretarisnya. "Oh, gitu." Nindy hanya mengangguk- anggukkan kepalanya saja. Sambil menganggukkan kepalanya, gadis itu memandang kembali kaca jendela ruang Alex. Iya kini dapat melihat Isabela tengah mengobrol dengan Alex. Baru saja Nindy memandang ruangan itu sebentar, telepon kabel di atas mejanya berdering nyaring yang bahkan mengejutkannya. "Kaget, anjir," batinnya sebal. Nindy mengelus dadanya sebentar ketika dirasakannya jantungnya kini berdegup sangat kencang. Galih ikut terkejut rupanya mendengar dering telepon intercom itu. Cowok itu terkekeh melihat reaksi Nindy yang lebay itu. Nindy segera mengangkat dering telepon itu sebelum Alex memelototi dirinya. "Ya, Pak?" tanya gadis itu dengan senyum mengembang. Ia diam- diam melirik ke kaca jendela ruangan Alex itu dan benar saja Alex tengah menatapnya. Hanya saja tak sampai memelototinya. "Tolong buatkan dua cangkir kopi dan antar ke ruangan saya," perintah Alex lewat sambungan telepon itu dengan singkat dan padat. Nindy memberikan senyumannya pada Alex lewat jendela kaca jendela besar itu. Lalu dengan cepat gadis itu menjawabnya, "Siap, Pak. Ditunggu, ya." Setelah itu, tanpa menjawab apapun lagi Alex mengakhiri sambungan telepon itu begitu saja. Nindy tetap tersenyum sampai ia kembali menurunkan gagang telepon itu. Diam- diam Nindy menghela napasnya. Baru saja ia ingin bersantai dan mengobrol dengan Galih, namun terganggu karena Alex. "Nah, kalau sudah begitu, artinya sekarang waktunya aku balik ke ruanganku." Galih tiba- tiba menginterupsi. Cowok itu tersenyum ke arah Nindy lalu ia menyerahkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya. "Oh iya, ini ...," jeda Galih sembari menatap Nindy. "... ini ada laporan untuk Pak Alex, untuk ditandatangani." Nindy mengangguk menerima binder berwarna navy itu. Galih dengan cepat melanjutkan. "Ya, sebenarnya tadi tujuanku ke mari karena mau kasih ini, tapi karena Pak Alex sudah punya Sekretaris, jadi aku titipkan ke kamu," lanjutnya disertai cengiran yang menampilkan deretan gigi putihnya. Nindy hanya membulatkan bibirnya sembari mengangguk- anggukkan kepalanya. Lalu tersenyum sesudahnya. "Oh, oke." Galih tersenyum mendengar perkataan Nindy. "Kalau begitu aku balik dulu, ya." Galih mulai melangkah meninggalkan meja Nindy itu setelah melihat gadis itu mengangguk. Iya, tak mungkin Galih berlama- lama di sana karena kerjaannya menumpuk saat ini. Meskipun ia sangat ingin. °°°°° Nindy susah payah mengetuk pintu ruangan di depannya saat ini karena nampan yang dibawanya. Pada akhirnya gadis itu berhasil mengetuk pintu meskipun ia harus bersusah payah. Tentu saja Nindy langsung mendapat balasan dari dalam dan setelahnya gadis itu membuka pintu di depannya. Ketika Nindy memasuki ruangan itu, ia langsung mendapatkan tatapan bingung dari wanita cantik yang bernama Isabela itu. Isabela hanya diam namun dari sorot matanya seperti menyiratkan kalimat tanya tentang siapa gadis yang tengah membawakan minum itu. Dengan segera Nindy meletakkan dua cangkir berisi kopi itu ke atas meja di hadapan masing- masing Alex dan Isabela itu. Sesudahnya, gadis itu tersenyum ramah sambil mengucap, "Silakan diminum." Dan tentu saja tampaknya Isabela tak bisa menahan lama rasa penasarannya. Jadi ketika Nindy masih tersenyum itu, ia langsung mengutarakan rasa penasarannya. "Siapa?" Nindy sudah bersiap membuka bibirnya dan hendak menjawab pertanyaan dari Alex itu namun tak jadi. Alex memotong kalimatnya begitu saja. "Dia Nindy." Alex menjawab tanpa melihat dua orang lain dalam ruangannya itu. Ia masih terfokus pada ponselnya. Karena sebenarnya ia pun malas menerima tamu saat ini. Sekalipun tamu itu adalah Isabela. Bahkan biasanya Alex akan mencari alasan untuk menghindari Isabela yang selalu menempel padanya itu. "Oh, Nindy ..." Isabela menganggukkan kepalanya memandang Nindy dari atas sampai bawah. Sedangkan Nindy hanya menampilkan senyum terbaiknya saja. Sesudahnya, wanita itu tersadar bahwa rasa penasarannya belum terjawab sepenuhnya. Ia segera melanjutkan kalimat tanya lain untuk Nindy. "Iya ... Nindy itu siapa?" tanya Isabela lagi. Ia kini mulai memasang raut waspada. Takut- takut kalau terkaannya benar. Bahwa gadis ini adalah- "Sekretaris saya yang baru." Alex kembali menjawabnya dengan nada malas. Ia bahkan pura- pura menguap saat menatap layar ponselnya. Mendengar jawaban dari Alex, Isabela tercengang. Dan seketika mendelik. "Apa?! Sekretaris barumu, Lex?!" tanyanya dengan nada tinggi terkejut. °°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD