10- Keputusan Setelah Dilema Panjang

1050 Words
"Saya akan bayar biaya kuliah adik kamu full sampai wisuda. Hutang-hutang keluarga kamu juga akan saya bayar sampai lunas. Tetapi ingat, kamu harus memberi saya bukti itu dalam waktu tiga bulan." "Kalau kamu tertarik, kamu bisa hubungi saya lagi. Secepatnya." Nindy tengah berada di dalam kamarnya, berbaring dengan menatap langit- langit kamarnya, ketika ia memikirkan kembali kejadian tadi sore. Gadis itu masih memikirkan perihal tawaran yang diberikan padanya itu dari Sony. Tawaran untuk memata- matai Alex, CEO A&A Corporation, sesosok yang katanya Iblis itu. Nindy kini membalik tubuhnya, menjadi tengkurap. Ia masih memegang kartu nama milik Sony, dan sejak tadi terus dipandanginya. Menjadi dilema untuk menerima tawaran itu dan segera menghubunginya. Gadis itu benar- benar dilema saat ini. "Gimana, ya?" tanya Nindy di tengah kamarnya seorang diri. Gadis itu memang sering bermonolog seorang diri jika dilanda kebingungan, seperti saat ini. "Tawaran ini benar- benar bikin gue pengen nge-iya-in langsung. Tapi ... entah kenapa tiba- tiba gue jadi takut sendiri," sambungnya lagi. Ia masih bermonolog. Kini Nindy berganti posisi dan beralih duduk tegap. "Gimana kalau suatu saat gue ketahuan?" serunya pada dirinya sendiri. Kemudian ia mencebik bibir. "Bahkan kebohongan apapun gak akan bertahan lama. Pasti suatu saat bakal ketahuan." Nindy pastinya sangat stres sekarang. Dihadapkan pada pilihan yang benar- benar membingungkan untuknya. "Gimana kalau dia marah terus bunuh gue?" Nindy mendelik tiba- tiba memikirkan kenyataan terburuk itu. "Dia 'kan bukan manusia biasa. Bahkan Iblis." Nindy kembali mencebik sembari memandang kartu nama milik Sony itu. Gadis itu menghela napas panjang. "Tapi kalau gue sia- siain kesempatan ini, entah kapan lagi gue bisa kerja di perusahaan besar itu. Gue gak mungkin sia- siain tawaran itu, di saat banyak keuntungan yang gue dapat, 'kan?" Nindy mengangguk sendiri. "Iya. Benar. Gue gak perlu susah payah cari uang buat biaya kuliah Nandiro lagi. Bahkan katanya Pak Sony akan biayain kuliah Nandiro sampai lulus." Ia mendesah. "Duh, siapa sih yang gak akan tergoda?" sergahnya sembari mengacak rambutnya sendiri. Memikirkan tawaran Sony padanya memang sangat menggiurkan. Bahkan siapa saja pasti akan langsung menerima tawaran itu. Namun sesuai keuntungan besar yang akan Nindy terima nanti, juga terdapat resiko besar yang mengintainya. Apalagi kali ini ia berkaitan bukan dengan manusia biasa, melainkan Iblis. Tentu saja Nindy takut kalau nantinya hal itu akan mengancam jiwanya. Nindy kembali mengacak rambut sebahunya itu dan merebahkan tubuhnya kembali. Ia menendang- nendang udara kosong. "Apa yang harus gue pilih?!" °°°°° Nandiro tengah memasukkan perlengkapan kuliahnya ke dalam tas ranselnya. Cowok itu masih sibuk menyiapkan kebutuhannya saat kuliah nanti. Bahkan bulan depan ia sudah akan masuk kuliah dan memulai kelas baru. Universitasnya tidak memiliki Ospek untuk mahasiswa baru. Sehingga memudahkan baginya untuk lebih leluasa mengenali kampusnya sendiri. Lagipula ia lebih menyukai hal itu. Setelah cowok itu menyelesaikan kegiatannya memasukkan perlengkapannya itu, ia sejenak mengotak- atik ponselnya untuk melihat pesan. Kemudian mulai bosan dan meletakkan kembali ponselnya itu ke atas meja. Nandiro kini mulai berjalan ke luar kamarnya. Ia hendak mengambil air minum untuknya dan segera kembali ke kamarnya. Itu adalah niat awalnya sebelum akhirnya ia menemukan kakaknya tengah berbaring tengkurap membelakangi tirai. Tirai kamar Nindy yang tersibak itu membuat segala aktivitas di kamar gadis itu dapat terlihat dari luar. Sehingga membuat Nandiro mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamarnya. Cowok itu kini mencoba mengintip apa yang tengah dilakukan oleh kakaknya itu. Sang Kakak tadinya berbaring tengkurap, lalu duduk, kemudian kembali merebahkan tubuhnya sendiri sembari menendang- nendang udara kosong di dekat kasurnya. Bahkan gadis itu tampak mengacak rambutnya sendiri. Dan entah mengapa tingkah Nindy saat ini membuat Nandiro menjadi khawatir. Pasti Nindy sangat stres gara- gara Nandiro sekarang. Nandiro menggelengkan kepalanya dan mengelus dadanya sendiri. Melihat bahwa Nindy menjadi gila karenanya, membuat cowok itu mendadak jadi merasa bersalah. Tentu saja. "Kak." Nandiro memberanikan diri untuk memanggil kakaknya itu. Dalam hati ia berharap tidak akan mendapat pukulan atau lemparan bantal dari kakaknya itu. Merasa namanya dipanggil, Nindy yang masih berbaring terlentang itu kini mendongak. Ia mendapati adiknya, Nandiro, tengah menatapnya dari ambang tirai. Nindy kembali menurunkan kepalanya yang terasa pegal karena mendongak dalam posisi seperti itu. "Lo kenapa?" Nandiro memasuki kamar kakaknya itu. "Mulai stres gara- gara gue?" tanyanya terkekeh. Sebenarnya sejak tadi Nindy mengabaikannya dan tak bertegur sapa dengannya sama sekali. Namun Nandiro tetap tak bisa terus diam. Ia memang tak betah ketika perang dingin dengan kakaknya itu. "Enggak." Nindy berujar lemas. Gadis itu masih menatap langit- langit kamarnya. Nandiro makin mendekati Nindy dan kini berdiri di dekat kasur kakaknya itu. Ia menunduk dengan canggung dan berdehem pelan. "Maafin gue," ujarnya dengan pelan. Ia masih tak berani menatap Nindy. Kalimat permintaan maaf dari Nandiro itu membuat Nindy mulai menatap adiknya itu. Nindy perlahan bangkit dan duduk. Ia memandang adiknya yang jauh lebih tinggi darinya itu meskipun baru berusia delapan belas tahun. Nindy hanya bisa menghela napasnya memandang raut bersalah Nandiro itu. "Lo benar- benar pengen kuliah, ya?" tanyanya. Bagaimanapun marahnya Nindy, ia tentu saja tidak bisa berlama- lama marah pada adiknya itu. Rasanya tidak enak jika harus perang dingin terus menerus. "Iya." Nandiro mengangguk. "Gue pengen bisa dapetin ijazah S1 terus bisa kerja di perusahaan besar nantinya. Gue pengen bahagiain Papa dan Mama, juga lo." Nindy menarik sudut bibirnya dan mengangguk. Ia seolah mengerti akan jawaban dari Nandiro itu. "Oke." Nandiro sontak menatap Nindy. "Lo gak marah lagi?" "Buat apa gue marah cuma karena lo pengen nuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi?" Nindy terkekeh. Tangannya terangkat dan menepuk pelan lengan Nandiro itu. "Benar yang lo bilang, Nan. Lo juga harus ngerasain bangku kuliah. Gak adil kalau cuma gue yang kuliah, sedangkan lo enggak." Nandiro mengerjap. Kakaknya itu pasti saat ini benar- benar stres. Buktinya Nindy mendadak menjadi melankolis seperti ini. Cowok itu menyentuh bahu Nindy dengan pelan. "Lo ... gak apa- apa?" tanyanya hati- hati. Nindy mengangguk berulang kali. "Gak apa- apa," ucapnya dengan penuh keyakinan. Lalu sedetik kemudian gadis itu melebarkan senyumnya. "Gue rasa ... gue tahu apa yang harus gue pilih saat ini," sambungnya lagi yang membuat Nandiro mengernyit bingung. Nandiro hanya bisa memandang kakaknya itu dalam diam sedangkan Nindy sudah tersenyum dengan tatapan misteriusnya. Nindy benar- benar sudah tahu keputusan apa yang akan ia pilih sekarang. Ucapan Nandiro menyadarkannya kembali. Dan Nindy akui jika memang ia pun membutuhkan pekerjaan yang sepadan dengan ijazahnya. Ya, Nindy harus menerima tawaran dari Sony itu. Harus. Apapun resikonya. °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD