11- Pertemuan Pertama

1204 Words
Seorang pria melangkah memasuki ruangannya. Pria yang mengenakan setelan jas rapi itu kini melangkah mendekati mejanya, setelah itu ia duduk di kursi kerjanya. Perlahan ia melirik arloji di lengan kirinya. Setelah mengetahui pukul berapa sekarang, pria itu mulai membaca tumpukan berkas di atas mejanya itu. Manik mata coklatnya fokus pada tulisan- tulisan dalam berkas tersebut. Perlahan ia mengangguk- anggukkan kepalanya sembari menggumam pelan saat membaca kata demi kata yang tertuang dalam isi berkas tersebut. Ia tampak senang mengetahui bahwa karyawannya sepemikiran dengannya tentang projek baru yang akan mereka kerjakan itu. Sambil masih terfokus pada berkasnya, ia merasakan tenggorokannya mendadak kering. Pria itu berdehem pelan ketika tenggorokannya masih tak mau berkompromi dengannya. Pada akhirnya ia sudah tak tahan lagi. Pria itu mengangkat kepalanya sembari tangannya menutup berkas yang sedari tadi dibacanya itu. Pria itu menatap cangkir di atas mejanya dan langsung mengangkatnya. Ia dengan santainya hendak meminum isinya, namun ternyata tak ada apapun yang ke luar. Cangkir berwarna putih itu kosong. "Refan!" Pria itu reflek memanggil nama itu. Berharap sosok bernama Refan itu akan datang untuk mengisi cangkirnya dengan kopi kesukaannya agar tidak kosong lagi. "Refan?" panggilnya sekali lagi. Pria itu kini memanggil nama orang itu lagi. Namun tak ada sahutan. Bahkan tak ada yang menjawabnya. "Ah, iya." Setelah beberapa saat ia menunggu sahutan dari sosok yang dipanggilnya itu, pria itu baru tersadar satu hal. Ia baru menyadari bahwa Refan, Sekretaris pribadinya itu telah tiada. Iya, Refan telah meninggal beberapa minggu lalu dan pria itu masih belum terbiasa tanpa kehadiran sekretarisnya itu. "Kenapa saya masih sering lupa kalau Refan sudah meninggal?" Pria itu mulai merutuki dirinya sendiri. Refan, Sekretaris pribadinya itulah yang selama ini menyiapkan segala keperluannya. Refan senantiasa setia di sisinya, memenuhi segala kebutuhannya selama lebih dari tiga puluh tahun ini. Sayangnya beberapa minggu yang lalu adalah hari yang mengenaskan untuk Refan. Lelaki tua itu meninggal akibat kecelakaan mobil ketika berada di jalan hendak menjemput atasannya itu. Sangat tragis. "Galih, tolong minta OB untuk bawakan kopi ke ruangan saya." Pria itu pada akhirnya memutuskan untuk menggunakan sambungan telepon hanya untuk meminta secangkir kopi. Merepotkan. Biasanya ia tak perlu seperti itu. "Baik, Pak Alex." Sahutan di sebrang sana terdengar. Pria bernama Alex itu kini tenang. Setidaknya ia akan segera menerima secangkir kopinya. Dengan cepat Alex melanjutkan pekerjaannya itu mengulas berkas persetujuan projek yang akan digarapnya. Tok Tok Tok Alex buru- buru mendongak. Ia sedikit menarik sudut bibirnya dan menatap pintu ruangannya itu. Lalu dengan segera berseru, "Masuk!" Tepat sedetik kemudian, pintu itu didorong. Memunculkan wajah Galih yang tersenyum sembari membawakan nampan besi berisikan secangkir kopi untuk Alex. Kemunculan Galih itu membuat Alex mengernyit. Pasalnya tadi ia menyuruh agar OB yang membawakan kopinya, bukannya menyuruh Galih secara langsung yang mengantarnya. "Kamu yang bawa kopi saya?" tanya Alex dengan bingung namun raut wajahnya masih datar. Galih terkekeh saat meletakkan cangkir berisi kopi itu ke hadapan Alex. "Iya, Pak. Sekalian saya bawain berkas untuk Bapak," sahut cowok berumur 24 tahun itu. Ia mengambil map berkas yang ternyata berada di bawah nampan yang sedari tadi dibawanya itu. Galih menggoyang- goyangkannya ke depan wajahnya. Alex hanya mengedik bahunya dan langsung meminum kopinya itu. Setelahnya pria itu mengucapkan terima kasih pada Galih. "Lain kali kamu suruh OB saja yang antar." Galih terkekeh kemudian meletakkan map berkas itu ke atas meja Alex. "Sekalian," sahutnya. Cowok itu menunggu Alex meneguk kopinya sekali lagi sebelum kembali bersuara, "Pak Alex gak ingin rekrut Sekretaris baru?" tanyanya berbasa- basi. Ia menatap raut wajah atasannya itu dengan penasaran dan menanti respon Alex. Alex terdiam. Kemudian sembari meletakkan cangkir kopinya ia berkata, "Saya memang kepikiran untuk rekrut Sekretaris baru, tetapi baru kepikiran." Galih terkekeh. "Jadi cuma dipikirin, dan belum direalisasikan?" tanyanya dengan hati- hati. Cowok berlesung pipi itu memang cukup dekat dengan Sekretaris Pribadi Alex sebelumnya, sehingga tak sadar lama- lama ia pun menjadi dekat dengan Alex pula. Meskipun usia mereka terpaut cukup jauh. Em, entah Alex berusia berapa. Galih tak pernah menanyakannya. Namun ia menaksir bahwa atasannya itu berada di kepala tiga. "Iya." Alex mengangguk. "Saya rasa Pak Alex harus cepat- cepat memiliki Sekretaris baru. Jadi saya gak perlu dari lantai dua ke lantai tiga cuma untuk antar kopi," candanya. Ia terkekeh namun sayangnya Alex tak ikut terkekeh bersamanya. Bahkan raut wajahnya sangat datar. Hal itu membuat Galih berdehem pelan. Sepertinya ia harus cepat- cepat ke luar dari ruangan itu. "Saya permisi dulu, Pak." Tepat saat mengatakan kalimat itu, cowok itu segera ke luar dari ruangan Alex. Ia masih harus mengerjakan kembali pekerjaannya yang sempat tertunda itu. Alex hanya menatap kepergian Galih dengan wajah datarnya. Kini keningnya berkerut. Tiba- tiba ia kembali memikirkan tentang perkataan Galih barusan. Tentang ide untuk merekrut Sekretaris baru itu. Namun jika ia harus mewawancarai satu per satu orang nanti, pasti hatinya akan mudah goyah. Pria itu memang berwajah dingin, namun hatinya tak tega jika harus berhadapan dengan raut penuh harap orang- orang itu. Pasti nanti ia akan menerima semua orang yang diwawancarainya. Dan tak mungkin bukan jika memiliki Sekretaris lebih dari satu? Satu- satunya cara yaitu dengan seseorang yang direkomendasikan menjadi Sekretarisnya. Namun ... ia harus meminta siapa untuk merekomendasikan sosok itu? Tepat saat tengah memikirkan hal itu, ponsel di atas mejanya berdering nyaring. Layarnya berkedip berulang kali dan menampilkan nama seseorang yang sangat dikenalinya itu. Andromeda Angkara. Pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu. Dengan cepat Alex mengangkat telepon itu. Keningnya berkerut dalam sesaat mendengar perkataan Andromeda. Detik berikutnya, Alex sudah beranjak berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. Ia segera menuju ruangan Andromeda. °°°°° Begitu sampai di depan ruangan Andromeda, Alex segera mengetuk pintu ruangan lelaki tua itu. Andromeda ini usianya lebih dari enam puluh tahun, namun masih tetap sehat dan bugar untuk lelaki seusianya. Pintu itu dibukanya pelan setelah mendapat izin dari si empunya ruangan. Alex segera memasuki ruangan itu dengan langkah tegap. Alex melihat ada sosok lain di ruangan itu. Namun ia menghiraukan orang itu. Ia lebih memilih menatap Andromeda dengan cepat. Tidak ingin berlama- lama dengan banyak manusia di ruangan itu. "Ada apa memanggil saya?" Alex bertanya tanpa berbasa- basi. Dalam kamusnya tidak ada kata basa- basi. Yang ada hanyalah to the point. Andromeda yang tengah duduk itu mendongak dan menatap kedatangan Alex. Ia masih meredakan tawanya barusan. "Oh, kamu sudah datang?" Alex hanya bergumam pelan. Ia menatap Andromeda dengan jengah. Sekali lagi ia tak ingin berlama- lama di sana. "Sepertinya kamu tak ingin berlama- lama di ruangan ini, jadi saya akan cepat saja." Andromeda bangkit dari duduknya. Disusul oleh pria bernama Sony juga seorang gadis di dekat Sony itu. Alex hanya terdiam. "Bukankah kamu tidak memiliki Sekretaris semenjak kepergian Refan?" tanya Andromeda. Ia melirik Alex dengan tatapan penasaran. Alex mengangguk. "Iya." Andromeda tersenyum. "Ada seseorang yang cocok menjadi Sekretaris kamu." Ia berujar sekaligus menatap sosok yang dimaksudnya itu. Setelah itu, gadis yang sejak tadi menyembunyikan wajahnya itu kini mulai memberanikan diri menatap Alex. Gadis itu akhirnya bertemu pandang dengan Alex. Matanya tak berkedip sedikitpun saat bersitatap dengan manik mata coklat milik Alex itu. Tampak terpesona dengan wajah Alex itu. Sampai akhirnya suara Alex mengejutkannya. Bahkan sampai membuat gadis itu tersentak kaget. "Saya tidak ingin Sekretaris seorang gadis muda seperti dia." JEDER Tunggu! Rasanya barusan ada kilat yang terdengar di telinga gadis itu. Mengapa pertemuan pertamanya dengan calon atasannya itu menjadi begini?! °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD