9- Sebuah Tawaran

1628 Words
"Tis, gue boleh titip mesin kasir sebentar, gak?" Nindy langsung menoleh pada Titis, teman kerjanya itu. Dan setelah melihat Titis mengangguk, Nindy segera melangkah meninggalkan mesin kasir itu. Ia mencari tempat yang sekiranya sepi. Nindy tak mungkin mengangkat telepon di dapur kafe mereka karena dapur tengah sibuk saat ini. Ia pun tak mungkin mengangkat telepon di luar kafe karena akan membuat bosnya marah padanya. Sehingga gadis itu putuskan untuk menyelinap di ruangan dekat toilet pengunjung. Setelah dirasanya cukup aman, gadis itu segera mengangkat telepon dari Nandiro itu. "Ada apa?" ujar Nindy dengan cepat dengan nada kesal begitu sambungan telepon itu berlangsung. "Heh, biasa aja dong. Gue perasaan belum bilang apa- apa," balas Nandiro di sebrang sana. Cowok itu tampak terkejut dengan nada bicara Nindy yang tiba- tiba itu. Nindy berkacak pinggang. "Udah gue bilang, 'kan jangan hubungin gue di jam kerja." Mendengar perkataan Nindy itu, Nandiro tampak menghela napasnya panjang. Kemudian cowok itu segera melanjutkan kalimatnya. "Iya, maaf." Ruangan di sebelah toilet itu sangat sepi sehingga membuat Nindy leluasa untuk berbicara. Gadis itu kini mulai meredakan emosinya. "Ada apa?" ulangnya lagi. Ia ingin cepat- cepat mengakhiri percakapan telepon dengan adiknya yang menyebalkan itu. Nandiro terdiam beberapa detik sebelum akhirnya kembali membuka suaranya. "Soal biaya kuliah itu ... lo udah dapet uangnya, Kak?" tanyanya dengan pelan dan hati- hati. Meskipun ia tahu bahwa Nindy mungkin akan meledak setelah ini. Nindy menghela napasnya. "Belum ada," sahutnya cepat. "Gaji gue terakhir kali udah gue kasih ke lo, 'kan?" Gadis itu menyampirkan helaian rambutnya ke telinganya. Helaan napas terdengar kencang di telinga Nindy. Nandiro tengah menahan emosinya juga. "Gue dikasih batas waktu sampai minggu ini buat ngelunasin biaya gedung. Gue butuh uangnya, Kak." Nandiro mulai menaikkan nada bicaranya. Memang jelas saat ini ia pun ikut tersulut emosi karena semenjak tadi Nindy melakukan hal yang sama. Nindy mengacak poninya. "Iya, gue tahu. Tapi gue gak mungkin minta gaji lebih dulu, 'kan?" Ia menghela napas lagi. "Tungguin sampai gue gajian bulan ini." Sebenarnya sejak tadi Nindy sudah susah payah menahan amarahnya. Gadis itu mengetuk- ngetukkan flatshoes- nya ke lantai agar menyalurkan emosinya itu. Namun tak berhasil juga. Sepertinya jika ia lebih lama lagi berbicara dengan Nandiro, ia benar- benar akan meledak. "Tapi gajian lo masih lama, dan gue butuh duitnya minggu ini!" Mendengar seruan dari Nandiro itu, pada akhirnya Nindy tak dapat menahan emosinya. "Lo pikir cari duit itu gampang?!" °°°°° Seorang pria melangkahkan kakinya menuju toilet. Ia sudah tak tahan lagi di saat kantong kemihnya sudah meronta. Kemudian dengan segera pria itu berjalan menuju toilet. Sembari tengah menuntaskan hajatnya, ia terus saja memikirkan sesuatu. Tentang cara yang tepat untuk membuktikan bahwa CEO di perusahaan tempatnya bekerja itu menyimpan sebuah rahasia besar. Dan ia terus memikirkan bagaimana caranya untuk membongkar rahasia itu. Pria bernama Sony itu kini tengah mencuci tangannya dan menatap cermin di wastafel dalam toilet. Sembari mencuci tangannya, ia menatap wajahnya sendiri dari pantulan cermin itu. Wajah yang sudah mulai menampakkan kerutan itu karena hampir memasuki kepala empat. Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, pria itu segera ke luar dari toilet dan segera meninggalkan tempat itu. Namun baru satu langkah ia menginjakkan kakinya di luar toilet, ia mendengar sesuatu. "Lo pikir cari duit itu gampang?!" Sony lagi- lagi terkejut mendengar sebuah makian di belakangnya. Pria itu kini mulai mencari keberadaan sumber suara. Langkahnya membawanya menuju sebuah ruang di dekat toilet. Ada seorang gadis di sana yang tampak sedang melakukan sambungan telepon. Ia makin terkejut saat menyadari bahwa orang yang barusan memaki di sambungan telepon itu adalah orang yang sama yang melayaninya dengan mengumbar senyum tadi. Kasir itu membelakanginya sembari berkacak pinggang. Dari tempatnya berdiri, ia mendengar bahwa kasir yang tampak masih sangat muda itu tengah kesusahan. Urusan uang. Lagi-lagi uang. Sony tadinya hendak mengabaikannya, dan meninggalkan tempat itu, namun ia urungkan saat mendengar kasir itu kembali mengucap kalimat lain. Kalimat yang seolah langsung memberinya sebuah ide. "Gue bakal lakuin apapun buat dapetin duit. Puas lo? Lagian ngapain sih lo harus kuliah pas kita sekeluarga aja kesusahan untuk makan." Sony mengangkat sebelah alisnya begitu mendengar kalimat gadis muda yang juga seorang Kasir di Kafe itu. Begitu ia membalik badan untuk sekali lagi menatap gadis itu, ternyata gadis itu telah menyelesaikan teleponnya dan menghilang entah ke mana. Tiba-tiba terbersit ide yang sejak dulu dipikirkannya. Mencari seorang mata-mata dan ditempatkan di sisi CEO- nya itu. Dan entah mengapa ia merasa bahwa gadis itu adalah orang yang tepat. Matanya kembali menangkap keberadaan gadis itu. Sony tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, dan segera mendekati gadis itu. Dengan cepat ia sudah mensejajarkan tubuhnya dengan gadis itu. "Tunggu!" Sony berseru. Kemudian ia tampak mengatur deru napasnya setelah berlari kecil tadi. Dengan senyum yang dibuat setulus mungkin, Sony kembali berkata. "Dek, kamu sudah lama kerja di sini?" tanya Sony lagi mencoba membuat topik obrolan. Gadis di depannya itu memandangnya aneh dan tampak bingung. Namun akhirnya ia tetap menjawab pertanyaan Sony. "Baru dua bulan." Mendengar hal itu, Sony tersenyum cerah. Ia dengan cepat melanjutkan kalimatnya. "Kamu mau bekerja dengan saya?" tanyanya to the point. Tak ingin berlama- lama mengutarakan maksud tujuannya. Gadis itu kembali kebingungan dan mengerut dahi. "Kerja? Kerja apa, Pak?" tanyanya. Meski bingung, rupanya ia tetap penasaran. "Kalau kamu mau, bisa ikut duduk dengan saya di sana." Sony menunjuk meja bernomor delapan tempatnya duduk tadi. "Kita bisa bicarakan sejelas mungkin-" Ia menjeda untuk melirik nametag yang dikenakan gadis itu. "-Nindy." Tanpa menunggu Nindy menjawabnya, Sony dengan cepat mendahului gadis itu dan berjalan menuju tempatnya duduk itu. Gadis itu tampak bingung namun akhirnya tetap mengikuti langkah kaki Sony menuju tempatnya tadi. Begitu sampai di tempat duduknya itu, Sony segera menjelaskan apa yang sejak tadi menjadi rasa penasaran gadis di depannya. "Saya sedang mencari seseorang untuk saya pekerjakan sebagai seorang Sekretaris." Sony membuka suara. Nindy yang mendengar hal itu mulai menaikkan sebelah alisnya. Sekretaris? Sony menarik sudut bibirnya begitu menyadari saat ini Nindy tampak tertarik dengan percakapan mereka. "Tapi sebelumnya, saya boleh bertanya sesuatu dengan kamu?" Nindy mengernyit. "Apa?" tanyanya. "Apa pendidikan terakhir kamu?" tanya Sony lagi. Nindy dengan segera menjawab, "S1." Sony menarik sudut bibirnya lebih tinggi kali ini. Tampaknya memang benar bahwa Nindy adalah orang yang tepat. "Bagus. Kamu sesuai dengan kualifikasi yang saya cari," tambahnya dengan senyum lebar. Ia menjeda sesaat sebelum melanjutkan. "Saya rasa kamu bisa menjadi Sekretaris untuk CEO di perusahaan tempat saya bekerja. Kamu tahu A&A Corporation?" "Tahu." Nindy mengangguk antusias. "Saya bisa kerja di sana?" tanyanya dengan penuh harap. Nama perusahaan yang barusan diucapkan pria di depannya itu merupakan satu dari perusahaan Advertising besar di Jakarta. Siapapun tahu itu. Bahkan di jurusannya dulu, jarang sekali ada lulusan yang berhasil lolos mendapatkan pekerjaan di sana. Perusahaan itu adalah perusahaan yang paling diidam-idamkan oleh siapapun. Termasuk Nindy. "Iya. Kamu bilang 'kan kalau kerja di sini gajinya sedikit?" Sony kembali bersuara. Nindy, gadis itu, kembali mengangguk. Sony tersenyum cerah. "Kamu bisa bekerja di sana dengan bantuan saya. Tetapi kamu harus membantu saya juga." Nindy mengangkat alisnya. Seorang pria berkacamata di depannya itu baru saja menawarkan pekerjaan dengan benefit besar untuknya secara cuma-cuma, dan itu jelas patut dicurigai. "Bantu?" Sony kini makin melebarkan senyumnya. "Iya. Bantu selidiki seseorang untuk saya." Nindy kini mulai menaruh curiga. Zaman sekarang orang-orang bisa saja 'kan menipu dengan mengiming-imingi akan memberi pekerjaan bagus, namun ternyata hasilnya kosong. Mereka bisa saja menipunya. Sony tampak merasakan kecurigaan dari sorot mata Nindy. Pria itu tersenyum sembari mengeluarkan dompetnya. Jemarinya menarik selembar kertas berukuran kecil dan diserahkannya ke hadapan Nindy. "Tenang saja. Saya gak akan menipu kamu." Nindy menerima kertas itu yang ternyata adalah sebuah kartu nama. Logo perusahaan A&A Corporation langsung tercetak jelas di sana membuat Nindy membelalak. "Direktur Pemasaran?" lirihnya sambil membekap bibirnya. Ia merasa sedang bermimpi saat ini. Didatangi oleh seseorang dari perusahaan impiannya dan ditawari pekerjaan langsung, tanpa melewati seleksi apapun. Siapa yang mengira bahwa hari ini adalah hari keberuntungannya? Tapi tunggu dulu. Barusan pria di depannya yang bernama Sony itu menyebut tentang menyelidiki seseorang? "Sekarang kamu percaya bahwa saya gak akan menipu kamu?" Sony kembali bersuara. Nindy tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias. "Iya, Pak." Sony mengangkat sudut bibirnya. "Kalau begitu, kita buat kesepakatannya," ucapnya. Lalu ia mengambil selembar foto dari saku jasnya. "Kamu selidiki dan cari kelemahan orang ini," sambungnya sembari menunjuk-nunjuk wajah seorang pria di dalam foto tersebut. Nindy memandang lekat-lekat ke dalam foto itu. Wajah seorang pria yang sangat tampan berada di dalam foto. "Dia siapa?" "Alexio Andreas. CEO A&A Corporation. Calon bos kamu." "Apa?" Nindy membekap mulutnya sendiri begitu mendengar penjelasan Sony. Ia tidak menyangka bahwa ia akan menjadi Sekretaris seorang CEO di perusahaan yang ia idamkan itu. Dan saat melihat sosok tampan dalam foto itu ternyata adalah CEO A&A Corporation, rasanya kini ia seperti ada dalam mimpi. Sangat tidak nyata. Membayangkannya saja ia tidak pernah berani selama ini. "Jangan kagum dulu. Dia bukan manusia." Sony memecah binar takjub di mata Nindy. Mendengar hal itu, gadis itu lebih terkejut lagi. Nindy sontak menurunkan tangannya yang sejak tadi bertengger di depan bibirnya. "Bu ... bukan ... manusia?" Ia bahkan terbata. Sony mengangguk misterius. Kemudian ia mendengus. "Saya yakin kalau dia bukan manusia, melainkan iblis. Tetapi saya belum bisa membuktikan bahwa Alex itu iblis." Nindy memundurkan kepalanya dan terkekeh pelan. "Masa orang seganteng Pak Alex ini iblis? Kalau ada yang bilang dia itu malaikat, saya percaya." Nindy tertawa pelan dan menunggu Sony ikut tertawa, namun pria itu justru diam. Tatapannya jauh lebih serius dari yang ia kira. Sony menggelengkan kepalanya. "Nah, itu. Tugas kamu adalah mencari bukti bahwa Alex ini iblis. Kamu punya waktu tiga bulan untuk memberi bukti valid bahwa Alex bukanlah seorang manusia," ujar Sony. Kemudian Sony memajukan kepalanya dan menatap Nindy dengan serius. Membuat Nindy tak berkedip menatapnya. "Tapi ingat .... jangan sampai ketahuan oleh Alex!" °°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD