Bab 5

1897 Words
Pagi itu kelasku sedang free class. Guru-guru mengadakan rapat entah membicarakan apa. Aku tak peduli. Kedua telinga ku sumpalkan dengan headset. Melantunkan sebuah lagu yang lagi ngehits dan menjadi salah satu lagu favorite luar Negri ku. Love me like you do dari Ellie Goulding. Sebuah lagu dari soundtrack film Fifty Shades of Grey. Aku berjingkrak ke sana kemari. Meloncat tanpa henti, menganggu Widi, Dela dan Dini yang sedang asik bergosip. Sesekali mereka berteriak kesal dan membalas mencubiti pipiku hingga memerah. Aku tertawa keras. Mungkin bagi orang yang tak tau apapun tentang hatiku. Tak tau apapun yang sedang aku rasakan. Tak tau apapun semua usahaku yang menyembunyikan dari semua orang agar mereka tak tau kalau aku dalam masa berkabung. Berkabung karena hatiku yang telah mati. Mereka akan mengira aku sudah menjadi gila. Memiliki otak yang miring seratus persen. Mentok di bagian pojok akhir kerangka kepalaku, otakku mengecil sampai seujung kuku. Aku tersenyum miris. Apa aku kelihatan seperti itu? Sepertinya... Iya. "Lan, gue mau nanya. Serius." Aku berhenti meloncat-loncat. Disampingku, Ary, menatapku dalam dan serius. "Mau nanya apa, Ry?" "Tapi lo lagi gak gila kan?" Aku tertawa menepuk-nepuk bahunya keras. "Kelihatannya gimana?" Ary meringis kecil. "Gak jadi deh. Lo lagi gila." Aku tertawa lagi. Inilah salah satu usahaku supaya tidak kelihatan nelangsa sehabis putus dengan Bintang. "Oke, gue serius. Ada apa?" "Udah gak gila kan?" Aku tersenyum menyakinkan. "Oke. Kita duduk dulu di bangkunya Jay." Aku mengikuti kemana arah Ary duduk. Dia duduk di bangku Jay sementara aku di bangku Agung. Aku gugup setengah mati. Di belakang ku... Ada, Bintang. "Jadi, gini. Gue mau nanya," katanya menatapku sambil sesekali menengok ke arah belakangku. "Menurut lo mending di cintai atau mencintai?" Aku berfikir sejenak. Memikirkan jawaban yang pantas untuk pertanyaannya itu. "Hmm, kayaknya gue pernah ngerasain deh," aku tersenyum penuh arti padanya, aku meluruskan pandanganku pada tembok bercat cream. "Waktu gue pacaran sama Iam. Gue juga berusaha buat mencintai orang yang mencintai gue. Dengan kata lain gue pernah dicintai tetapi gue gak mencintai." Aku meletakan kedua tangan dibawah d**a. Kenangan beberapa bulan lalu kembali berputar dalam benakku. Ketika aku masih berpacaran dengan Iam. "Gue fikir lebih baik kita dicintai." Ary menatapku dengan raut wajah bertanya. "Karena lebih baik dicintai daripada mencintai. Sakit loh gak dianggap. But... Hmm... I think kayaknya lebih baik keduanya. Duh, gue labil." "Ah lu serius dong!" Aku terkekeh membetulkan letak dudukku agar nyaman. "Gini, Ry. Kalau gue boleh jujur mendingan dicintai. Karena lo taukan kalau cinta itu ada karena terbiasa? Tapi sebenarnya gue kurang percaya itu soalnya gue udah nyoba buat terbiasa akan datangnya cinta waktu itu tapi pas datang... Dia hanya hinggap sementara tanpa kelebihan apapun. Seperti angin yang berhembus kencang kemudian menghilang tanpa jejak." Aku menunduk. Rasa itu datang lagi. Rasa sesak ketika mengingat betapa jahatnya aku dulu mencampakkan seseorang yang tulus menyayangiku demi seseorang yang selalu ada untukku. Tetapi bukan kah itu yang terpenting? Memang seharusnya orang yang selalu ada lah yang terpilih bukan seseorang yang selalu ingin menunjukkan rasa sayangnya tanpa tau apakah aku menyukainya atau tidak. "Rasanya sakit loh berusaha sembunyiin perasaan kita. Pura-pura mencintainya padahal kita mencintai orang lain..." Suaraku melirih. Ya, waktu itu aku menyukai Bintang yang selalu hadir menemaniku bagaimana pun kondisiku waktu itu. Dalam suka maupun duka Bintang tetap ada disebelahku. Membantuku melawan semua resah dihati. Aku menyayangi Iam tetapi hanya sebagai kakak. Beda dengan rasa sayangku pada Bintang. Aku ingat waktu itu aku menyayangi dua orang dalam waktu yang sama. Aku bimbang harus memilih yang mana. Tetapi aku teringat satu hal. Ketika aku mencintai dua orang dalam waktu yang sama. Pilihlah orang kedua. Karena jika aku mencintai orang yang pertama tidak mungkin hatiku bisa membaginya dengan yang kedua. "Kalau mencintai... Sakitnya itu. Apalagi kalau dalam posisinya tuh adalah cewek yang mencintai. Gak etis aja masa iya kita ngejar-ngejar cowok? Iya kalau berhasil ketangkep kalau gak dianggap? Cuma dianggap stranger nyebelin." Aku menghembuskan nafas kasar sebelum melanjutkan perkataanku. "Kita hidup bukan di novel... Bukan di fairytale." Ary menganggukkan kepalanya. "Terus menurut lo gimana?" "Menurut gue," aku menegakkan tubuhku. "Mending keduanya. Saling mencintai. Toh pada akhirnya nanti Tuhan akan menjodohkan kita pada orang yang kita cinta entah bagaimana caranya nanti." "Gitu ya?" Aku mengangguk. Ary kelihatan lesu walau cara bicaranya masih bersemangat. "Masalahnya gini, Lan... Lo tau kan gue pacaran sama Manda?" Aku membenarkan ucapannya. "Nah, tapi... Gue mencintai orang lain, Lan. Gue bingung gue harus apa. Lain sisi gue mau ini semua berakhir lain sisi lagi gue pengin tetep sama Manda karena dia perhatian dan baik banget sama gue." Aku tersenyum simpul. Aku mengerti apa yang saat ini Ary sedang rasakan. Aku pernah merasakannya. "Lo yakin gak kalau si cewek itu yang lo cintai, mencintai lo juga?" Ary cengengesan. "Dia udah punya pacar!" Aku memutar bola mata kesal. Jadi, mereka sudah punya pacar? Lalu kenapa juga masih main belakang? "Cewek itu bilang dia nyaman sama gue... Dia suka gue, Lan. Aduh! Gue mesti gimana nih?" Aku tertawa kecil menepuk bahunya prihatin. "Nah, sekarang silahkan sinkron kan hati dan pikiran lo. Kalau emang yang terbaik lo putus sama Manda dan bersama sama cewek itu kenapa enggak? Asalkan lo tau konsekuensinya itu apa." Ary menggeleng. "Gak ah! Entar gue karma lagi." Aku menatapnya tidak setuju. Aku tak percaya adanya karma. "Kalau lo percaya enggak. Ya gak bakal terjadi! Lagipula karma tuh gak ada. Adanya tuh roda kehidupan yang berputar." Bintang pernah bilang padaku kalau apa yang aku lakukan saat ini kemungkinan besar akan terjadi dimasa depan ku kelak. Seperti perkataannya waktu itu. Perilaku kita akan menjadi boomerang bagi kita sendiri. Maka, berbaik-baiklah pada semua orang supaya tidak adanya boomerang menghancurkan diriku sendiri. Tetapi saat itu aku malah kena boomerang. Di tinggal kan Bintang demi orang yang selalu ada untuknya. Kebalikan, huh? Aku menggeleng sambil menyunggikan senyuman miring. Dasar bodoh! Roda kehidupanku sedang berputar saat ini. Mereka sedang menginginkanku untuk jatuh, terpuruk dalam lembah kesengsaraan. Setelah sekian lama aku berada dalam singgasana kebahagiaan. "Jadi, menurut lo gue mesti gi--" "Ikutin apa kata hati. Gue gak bisa ngasih tau lo apa-apa karena yang nentuin itu lo sendiri. Baik-baik sama pilihan. Jangan sampai nyesel." Ary diam. Tatapannya seperti menerawang sesuatu yang jauh. Hingga tiba-tiba saja dia menepuk lenganku penuh semangat. "Lo kenapa, heh! Sama Bintang?" Aku terlonjak kemudian tertawa. "Tanya sama orangnya aja." "Udah kok. Tapi sebelum masuk. Diparkiran dia cerita sama gue." Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Lo terlalu over cemburunya, Lan." Keningku berkerut tak setuju. "Gue gak gitu! Gue cuma gak suka sama perkataannya! Gue marah sama perkataannya bukan gara-gara gue cemburu! Oke, untuk cemburu benar. Tetapi gue udah bisa biasa aja cuman omongannya aja tuh yang bikin gue marah!" "Emang dia ngomong gimana?" "Yaudah sih gak usah ngirim chat banyak-banyak." Aku begitu menggebu-gebu menjelaskan pada Ary, tidak semua karena ada satu hal yang harus aku simpan. Kenyataan bahwa aku merasa rendah untuk berada disisinya yang bagaikan berlian. "Lo bayangin!!!," aku menjerit tertahan. "Gimana gak kesel coba? Gue serius minta maaf ketakutan setengah mati! Gak bisa tidur semaleman, nangis sampai bengkak. Eh, dengan songongnya dia bilang begitu! Hancur hati gueeeee." Ary mengangguk menenangkan ku yang terlihat emosi. "Terus pas dia minta putus lo langsung setuju?" Aku mengangguk. Tangannya yang besar menyentil dahiku pelan. "Begok! Kenapa gak ditahan?!" "Gue...," aku menunduk lesu. "Gak bisa nahan orang yang emang udah pengin pergi dari hidup gue. Mungkin ini munafik tapi, kalau emang dengan melepaskan dia bisa mencari kebahagiaannya kenapa enggak untuk gue lakuin?" Aku mendongak. Saat itu juga aku melihat Ary tertegun menatapku. Air mata kembali menggenang. "Gue harus gimana? Gue sayang banget sama dia. Tapi, gue gak bisa nahan dia untuk terus ada disisi gue. Gue... Gak bisa maksain sesuatu yang memang seharusnya berkenan untuk pergi." Ku lihat Ary bungkam. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit untukku artikan. Matanya berkeliaran aneh. Menatap belakangku lalu kembali menatapku. Aku menutup mata berusaha sebisa mungkin untuk tidak meledakkan isakkan tangisku. "Lan." Sebuah tepukan pada pundakku membuatku menoleh ke belakang kananku. Yudho menatapku dalam, dia menaruh kedua telunjuknya di samping kanan kiri kepala sambil matanya mengerling pada sesosok yang tak jauh dari tempatku duduk. Bintang. "Selesaikan dengan kepala dingin." Aku hanya tersenyum dan menggumamkan kata terima kasih. ⚫ Aku duduk di saung satu memandangi teman-temanku yang sedang sibuk menyelupkan kain putih berikat pada wajan yang berisi pewarna pakaian. Siang itu kami dalam pelajaran kewirausahaan. Membuat kerajinan berupa kain putih yang akan diwarnai sesuai keinginan kita. Berdasarkan kelompok tentunya. Aku tidak boleh ikut bergabung. Kata Dini takut merusak. Ya, aku memang gampang sekali merusak sesuatu tetapi untuk menjaga nilai ku nol. "Ry! Kain putih tadi mana?" Aku menegang mendengar suara lantang Bintang di belakangku. Ary menoleh dan menggeleng tidak tau. Spontan tangan sebelah kiriku terangkat keatas, aku membalikkan badan. Mengangkat kain putih segitiga yang sejak tadi ku genggam. Entah lah aku merasa tidak ingin melepaskan kain itu. Bintang menatapku kaget. Kaget karena kain yang dicarinya berada dalam genggamanku. Kemudian beberapa detik kemudian dia mengangguk sambil menatapku lembut... Ah, tatapan itu. Aku yang sudah kelewat nervous buru-buru melempar kain itu padanya dan beranjak dari dudukku menghampiri kelompokku. Padahal Bintang sudah bilang biar aku yang pegang dulu tetapi reflek tanganku ternyata lebih cepat dari otakku. Siang itu. Dibawah teriknya sinar matahari. Aku hanya bisa termangu memandangi semua orang yang cekikikan, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Aku merasa ada yang aneh dalam diriku beberapa minggu terakhir. Aku merasa seperti... Jauh. "Lan." Aku tersentak kebelakang. Hampir saja jatuh jika tidak ada tangan yang segera menahan lenganku. Dini. Sang pelaku itu nyengir tak bersalah. "Apa?" "Lo yang kenapa!" semburnya bertolak pinggang menatapku meminta penjelasan. Aku hanya menaikkan sebelah alis. "Lo tuh nyadar gak sih kalau akhir-akhir ini lo kebanyakkan bengong? Diem mulu." Aku sadar, sangat sadar. "Enggak tuh. Emang gue power rangers berubah?" Dini memutar bola matanya jengah. "Gue tau lo pasti sadar! Lo tuh ya semenjak putus dari Bintang jadi suka menyendiri. Lo tau gak? Lo jadi bener-bener jutek, sinis, cuek, dingin. Lebih dari yang gue tau waktu kita awal masuk. Please, Lan. Jangan balik ke Bulan yang selalu memandang semua orang datar tanpa ekspresi. Seolah-olah lo itu manusia tanpa nyawa." Aku tersenyum samar, nyaris tak nampak dipermukaan. "Begitu ya?" Dini menggeram tertahan. Aku tau aku memang sudah kelewat dari standar normal kecuekkan ku. Sederet orang-orang yang berkumpul disebuah ruangan beberapa bulan lalu mengingatkan ku pada diriku yang dulu. Ketika awal masuk kelas. Aku memandang semuanya datar. Bahkan sewaktu Widi menghampiriku, mengajakku berkenalan aku hanya membalasnya singkat tanpa senyuman. Ketika aku dipanggil kedepan untuk perkenalan diri. Aku menyipitkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Menguliti semua orang yang nantinya akan jadi temanku. "Bulan Artahenly Fairy. Panggil aja Bulan. Dari SMP Cendekia." Singkat. Padat. Jelas. Datar. Dingin. Masih tanpa senyuman dan keramahan pada raut wajahku. Mereka semua menatapku takut-takut. Ada yang langsung memutar matanya. Ada yang langsung membuang pandang. Tapi, beda dengan seseorang yang berada dipojokkan. Dia memakai sweater biru dongker. Sorot matanya yang tajam memandangku dalam dan tak pernah lepas. Sejak saat itu aku jadi selalu sering mengikuti kemana arah pergi anak cowok itu. Bintang. Cowok yang sudah membuat jantungku berdegup tak karuan. Cowok yang sudah membuatku jadi cewek penguntit. Dan dia juga cowok yang sudah mengembangkan senyumku untuk semua anak kelas pertama kalinya di bulan Agustus. Aku melakukan itu. Melakukan sebuah sikap dingin, tak acuh, jutek, sinis dan apalah itu sebangsanya bukan tanpa tujuan dan maksud yang tak jelas. Itu semua dikarenakan pengalaman semasa SMP ku. Banyak yang mendekatiku, menginginkanku menjadi teman mereka hanya karna hartaku saja dan kepengin populer. Awalnya aku tak percaya namun makin kesini aku sadar. Bahwa selama ini aku dibodohi oleh kara-kata sahabat. "Lannn! Tuhkan bengong lagiii." Sebuah sentakkan kecil dilengan sebelah kiri membuatku harus mengerjapkan mata berkali-kali dan menghilangkan semua apa yang baru saja aku pikirkan. "Kenapa sih? Mikirin Bintang?" "Gapapa." "Bulan!" Aku tersenyum pada Dini. Lalu aku berjalan meninggalkannya yang sekarang mencak-mencak karena sikapku yang memang aneh belakangan ini. Aku cuma merasa harus menjaga jarak dari sekitar. Aku hanya ingin menjaga hatiku agar tidak pecah berkeping-keping. Aku hanya ingin melindungi diriku dari virus mematikan bernama cinta. Aku hanya ingin... Tak ada satu orang pun yang tau betapa hancurnya aku didalam meskipun aku terlihat baik-baik saja. Aku hanya ingin tak satu orang pun yang paham bagaimana sakitnya aku menahan ini semua seorang diri. Karena aku tak ingin semua orang mengetahui betapa lemahnya aku sekarang. Dan tentunya aku tidak ingin ada orang yang memanfaatkanku untuk kepentingan dirinya sendiri. Lagi. Tidak lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD