Bab 6

499 Words
Sial! Ku rasa aku baru saja mengatakan kata itu beberapa detik yang lalu. Lebih tepatnya aku selalu mengucapkannya. "Aduh, Lan. Gimana nih?" Nadia memeluk lengan sebelah kiriku erat. Raut wajahnya yang biasa sangar berubah jadi takut dan cemas. Aku mendesah frustasi. "Gue juga gak tau nih!" decakku melihat keadaan sekitar, banyak orang-orang yang memakai seragam putih abu-abu sama sepertiku dengan raut wajah tidak jauh berbeda dari Nadia. "Bete deh! Ini ketiga kalinya gue telat. Kalau dulu sih gue biasa lewat samping saung atau gak belakang kantor guru tapi pas lagi sepi. Nah sekarang mau lewat mana coba? Udah ditutup rapet semua!" Aku telat. Ya, bagus sekali. Aku tidak tau sekarang harus meloloskan diri bagaimana. Saung, tempat yang biasa digunakan untuk kelas alam, praktek dan berkumpulnya siswa yang ingin istirahat disana sambil memandangi pepohonan disamping sekolah kini telah ditutup rapat akses jalan para siswa yang telat. Gara-gara semaleman aku tidak bisa tidur memikirkan sifat-sifat Bintang yang perlahan mulai berubah padaku. Aku jadi bangun kesiangan. Dan sialnya papah tidak mau nganterin! Alhasil aku harus rela naik angkot dari jam enam lewat lima belas tak heran kalau aku bisa telat sekarang. "Am! Bbm bang Den dong, dia kan osis tuh siapa tau bisa bukain gerbang buat kita." "Ngapain jauh-jauh? Noh, samping lo osis juga kan." Aku melemparkan tatapan laser pada Iam yang memang juga ikut terlambat. Tumben sekali. Setauku dia ini orang yang on time. Nadia menoyor lenganku pelan. "Dia mah osis gadungan! Masa iya osis telat? Sering malahan! Udah gitu lo lihat sepatunya, warna warni gitu padahal sekarang hari senin. Oon banget kan?!" Aku memutar bola mata bosan. Persetan dengan osis! Aku jengah oleh segala peraturan yang ada. Pada dasarnya aku benci diatur-atur. Aku lebih suka melanggar setiap peraturan yang ada karena ku fikir peraturan di buat untuk dilanggar bukan untuk di patuhi. "Dek, tumben sih telat?" "Kesiangan kak Jul." Kak Julia, salah satu anggota MPK pun ikut terlambat. Dia menganggukkan kepalanya singkat. Sesaat aku merasa tak tenang. Aku tak mengerti perasaan apa yang tiba-tiba hingal didalam hatiku saat itu. Perasaan menyesakkan d**a. Aku ingin menangis. Tapi, mengapa? Aku bahkan tak tau alasannya apa. Aku yakin rasa ini bukan efek dari ketakutanku karena telat tetapi sesuatu yang sangat menyakiti akan terjadi. ⚫Bintang untuk Bulan⚫ Barangkali firasatku ini seperti buku catatan takdir yang selalu dibawa para malaikat. Aku menatap sedih layar ponsel yang menampilkan sederet kalimat menusuk. Mereka terpampang jelas disana. Menatap penuh sangsi kearahku. Aku tak mengerti apapun yang saat itu sedang terjadi. Aku dituduh sudah menerror Digita, mantannya Bintang. Menerror? Astaga! Bahkan aku yang sedang diterror. Beberapa minggu yang lalu. Tiga hari setelah aku putus dengan Bintang ada seseorang yang mengirim ask padaku di sebuah socmed berwarna biru tua kotak yang didalamnya terdapat huruf a besar. Dia bilang. Dia Shinta. Namun ku yakin itu palsu. Lalu dia menanyakan padaku di direct message bagaimana aku bisa putus dengan Bintang. Aku yang memang terlalu mudah percaya pada seseorang tanpa pikir lagi langsung menceritakan semuanya--tidak juga karena ada beberapa yang aku rahasiakan. Aku mengarahkan telunjukku pada icon camera berwarna cokelat. Aku mengirim photo dan dikirim ke direct message ** ke seseorang yang bernama Shinta itu. Bulanfairy: Shinta. Bulanfairy: Shinta gue mohon lo jujur. Untuk pertama kalinya gue memohon sama seseorang yang gue kenal di socmed tanpa tau siapa orang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD