Bab 4

3019 Words
Pagi itu. Aku merasakan sensasi rasa sakit yang luar biasa. Wajah serta tubuhku terdapat lebam-lebam yang sulit untukku jelaskan.   Belum cukup sampai disitu, aku berusaha bangkit namun sebuah hantaman keras mengenai kepalaku membuatku harus kembali jatuh terkulai diranjang.   Rasanya teramat sakit.   Tubuhku sakit untuk digerakkan, kepalaku pusing, suhu tubuhku panas. Aku merasakan tak enak. Ini seperti bukan tubuhku.   Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat.   Rasa sakit itu menjalar kearah punggungku. Seperti semua tulang belakangku dipatahkan secara paksa dan diremukkan dalam sekejap. Perih. Sakit.   Ya, Tuhan!   Rasanya terlalu sakit untukku rasakan seorang diri.   Ku mohon jangan sekarang.   Aku berteriak dalam hati.   Tangan lemasku menggapai sesuatu yang berada tepat dibawah ranjangku. Aku meraba-raba lantai mencari ponselku.   Dengan susah payah aku mengetikkan sebuah pesan pada wali kelasku, Bu Heni. Aku meminta izin padanya bahwa aku sakit dan tak bisa hadir hari itu kemudian aku mengirim pesan yang sama seperti Bu Heni ke Vira, sekretaris kelasku.   Selesai. Aku menjatuhkan ponsel begitu saja ke ranjang.   Air bening itu kembali keluar melalui celah-celah pelupuk mataku yang sudah membengkak. Nafasku tercekat, dadaku terasa sesak.   Aku menggeleng keras. Memeluk tubuhku yang melengkung seperti bayi dalam kandungan.   Tuhan... Rasanya sakit.   Tuhan... Rasanya sakit.   Tuhan... Rasanya sakit.   Aku merapalkan kalimat tersebut berkali-kali.   Aku harap perkiraanku salah.   Aku harap firasatku berbohong pada diriku sendiri.   Aku harap ketakutan ku hanyalah sebuah ancaman belaka.   Aku harap iblis itu tidak datang lagi setelah dua bulan dia berdiam diri disana.   Aku harap...   Penyakitku tak lagi kembali.   Tetapi ketika aku merasakan tekanan rasa sakit itu makin nyata.   Aku sadar.   Penyakitku kembali mengusik kehidupanku yang kalut.   ⚫   "Bulann! Kenapa gak masuk?!"   "Sakit."   "Apaa?! Setelah tiga hari lo gak masuk dan sekarang lo gak masuk dengan alasan lo sakit, lagi?!"   Aku menghembuskan nafas berat. Saat itu jam istirahat. Dini, Widi dan Dela menelfonku menanyakan kabarku yang kembali tidak masuk sekolah.   "Setiap senin lo gak masuk ya!"   "Gue sakit, Din."   "Sakit apa? Sakit hati? Yaelah cuma gar--Elah apaan sih lo Jay marah-marah terus! Gak jelas lo!"   Aku terkekeh. Diseberang sana Dini sedang memarahi Jay. Aku yakin dibelakang tempat Dini menelfon sekarang pasti ada Jay.   Eh, tunggu. Jay?!   "Diniiii!!!"   "Ah ya, Lan? Sorry tadi si Jay ganggu biasa PMS dia."   "Jay ada disitu?"   "Iya. Dibelakang gue nih."   "Ohh! Ada Bintang juga dong berarti?!"   "Adalah sama teman-temannya."   "Lo gak loudspeaker kan?"   "Gak lah begok buat apaan coba!"   Aku bisa bernafas lega. Syukurlah Dini sedang waras sehingga aku tidak perlu was-was jika dia meloudspeaker ponselnya agar suaraku dapat terdengar oleh semua anak kelas.   "Oh ya lo kenapa gak sekolah?"   "Kan udah gue bilang. Gue sakit, t*i! Lo b***k atau gimana sih?!"   "OH GARA-GARA BINTANG LO GAK MASUK!"   Aku mengernyit bingung. Sedetik kemudian tersadar kalau Dini baru saja berteriak. Oh, astaga!   "DINI!"   "Hallo, Lan? Ini gue Ramma."   "Eh--oh, Ramma?"   "Lo kenapa gak masuk? Masa cuma gara-gara cowok lo gak masuk? Gue aja yang udah disakitin berkali-kali santai aja tuh. Ah lo copo nih. Gak asik nih."   Aku tersenyum mendengar suara sahabat cowokku itu.   "Gue sakit, Ramma. Serius deh."   "Katanya lo mau pindah ya? Ah Bulan jangan dong. Gak seru kalau lo pindah. Please ya jangan pindah. Gak asik nih ah Bulan."   "Siapa yang bilang gue bakal pindah?"   "Kata Dini lo mau pindah sekolah gara-gara Bintang."   Aku teringat, beberapa hari yang lalu mamah kembali menyinggung kata pindah sekolah padaku.   Dan aku bercerita pada Dini lewat telfon.   Awalnya Dini kira aku pindah karena Bintang nyatanya aku pindah atas kemauan mamah dan papah.   Tapi, aku belum menyetujui itu.   "Gak lah. Ngapain gue pindah kalau sahabat gue ada disana?"   Bukan itu point utamanya kenapa aku belum menyetujui keinginan mamah dan papah.   Tetapi karena hatiku tertinggal disana... Disekolahku. Dikelasku.   Ada seseorang yang telah mencuri hatiku namun enggan membiarkannya pergi padahal dia sudah melepaskan tali hubungan kami.   Aku, Dini, Ramma, Dela dan Widi menghabiskan waktu istirahat dengan cerita.   Dipertengahan obrolan kami berlima Dini sempat bilang kalau Fawwaz dan Yudho kangen padaku dan rewel menanyakan kapan aku akan masuk.   Dua cowok itu terus memborbardir Dini dengan segudang pertanyaan tentangku.   Bahkan Dini melapor katanya bukan hanya dua cowok itu saja namun semua anak cowok dikelaspun sama halnya dengan mereka.   Ditambah lagi anak kelas lain yang juga kenal denganku, terus menerror Dini dengan pertanyaan mereka yang sama semua.   Mendadak namaku dijadikan perbincangan hangat.   Topik paling top untuk dijadikan bahan gosip.   Mereka menggosipkan hubunganku dengan Bintang yang berakhir misterius.   Pasalnya, tak ada yang percaya satu pun bahwa aku dan Bintang sudah putus.   Bagaimana mereka bisa percaya? Kalau sebelum putus aku dan Bintang masih baik-baik saja. Masih romantis seperti biasanya.   Hanya karena masalah kecil yang bisa dibilang sepele Bintang mengakhiri semuanya.   Dia, capek.   Aku lebih dari sekedar kata capek.   Dia, sakit.   Aku bahkan lebih merasakannya.   Dia, resah.   Aku bahkan kalut setiap melihatnya dekat sekali dengan anak cewek.   Dia bilang aku egois.   Oh, haruskah aku membocorkan semua daftar oke-aku-yang-mengalah padanya?   Dia bilang aku terlalu cemburu.   Tentu saja aku cemburu! Mana ada seorang cewek yang tidak cemburu jika pacarnya masih saja dekat dengan cewek lain tanpa memikirkan perasaan ceweknya sendiri?!   Bagaimana aku tidak cemburu?!   Jika Bintang selalu saja menebarkan pesonanya itu tanpa memikirkan aku yang tertekan oleh perasaan cemburu.   Dia bilang aku terlalu berlebihan jika melihatnya bersama cewek lain padahal dia biasa saja melihatku dengan cowok lain.   Tentu saja! Karena aku peduli, aku sayang, aku cinta makanya aku takut dia akan berpaling dariku.   Dan, oh!   Lalu siapa yang waktu itu marah padaku? Membentakku? Menghindariku? Hanya karena aku dekat dengan Ary yang notabene sahabatku sejak awal masuk SMA.   Sesungguhnya bila ada yang menanyakan siapa diantara aku dan Bintang yang paling lelah menjalani hubungan itu.   Maka aku akan menjawab sebelum Bintang memulai.   Bintang. Dengan segala ego yang tinggi.   Dia selalu berbuat tanpa kesadarannya penuh.   Aku lelah.   Lelah selalu salah dimata orang yang aku cintai.   Aku lelah.   Lelah selalu memendam perasaanku seorang diri.   Aku lelah.   Ya, aku lelah.   Bahkan sehabis putus pun aku tetap lelah.   Aku bingung. Apa mau hatiku ini sebenarnya?   Kenapa aku merasa seakan-akan takdir mempermainkanku.   Semula mereka akan bekerja sama dengan dewi Klotho memintal benang takdir untukku.   Kemudian mereka akan mencari dewi Lakhesis untuk bersedia membantu mereka membagi bagaimana takdirku.   Maka jadilah. Setelah dewi Lakhesis mengukur sampai mana benang kehidupan itu menjulang menggunakan tongkatnya dia akan memilihkan takdir beserta nasibku.   Dan ini lah takdirku.   Takdir yang sudah dirancang oleh dewi Lakhesis.   Aku tinggal menunggu bagaimana dewi Atropos memainkan guntingnya yang tajam itu untuk memotong benang kehidupanku. Jika itu terjadi aku tak akan lagi ada didunia ini.   Aku berfikir.   Kenapa tidak sekarang saja dewi Atropos mengguntingnya?   Apa dia dan kedua saudaranya belum puas melihatku menderita seperti ini?   Aku sudah cukup lelah membawa beratnya setiap masalah diatas kedua bahuku.   Tanpa sadar aku kembali menangis.   Kali ini sebuah tangis kemarahan pada sang Moirai yang tega memainkanku.   Aku seperti boneka lusuh yang bebas dimainkan sesuka hati.   Jika sedang ingin bermain bersama maka aku akan diperlakukan dengan baik jika tidak aku akan dilempar pada kesukaran yang menyesakkan.   ⚫Bintang untuk Bulan⚫   Gue gak tau harus ngapain. Tepatnya gue gak tau harus seperti apa setelah ini. Rasanya sakit banget diputusin tiba-tiba sama dia. Gue sayang. Tapi, kalau gue tahan dia untuk gak pergi sama aja gue egois. Ya, Tuhan harus kayak gimana gue sekarang?   -Bulan-   Saved by 17-04-2015 Jumat, 19:36.   ⚫                           "Lo nongol ya? Kenapa gak nampakin? Gue...," aku menunduk mengelus nisan Aulia. Airmata terus mengalir tanpa henti. "Kangen banget sama lo."   Aku merasakan ada tangan yang mengelap airmataku sebelah kanan. Ku menoleh dan saat itu juga aku tau Aulia ada disampingku.   Aku memang tidak bisa melihat hantu tapi aku dapat merasakannya dan ini wangi Aulia... Wanginya seperti bayi. Benar-benar wangi khas Aulia.   Aku menangis tersedu-sedu.   Rasanya sakit. Teramat sakit.   Aku merindukan seseorang yang sudah pergi... Bahkan aku tidak akan lagi pernah bertemu dengannya.   Dia... Sahabat terbaikku.   Padahal aku bertekad mendonorkan paru-paru serta sumsumku untuknya. Aku tau, jika Aulia meninggal banyak yang akan sedih. Sementara aku? Maka mereka akan senang.   Aku tau seberapa bencinya orang padaku. Seberapa banyak orang yang tak menginginkanku ada.   Aku sempat berfikir. Kalau memang tidak ada yang menginginkanku apa tujuan Tuhan memilihku untuk ada didunia? Dewi batinku menjawab. Untuk merasakan kekejaman dunia.   Aku menyeka airmataku dan mengalihkan tatapanku kemakam Aulia.   "Ul, gue minta maaf. Gue bakalan pergi besok...," aku merapihkan rambut yang berterbangan. "Gue tinggal di Amerika mulai besok. Ikut nyokap sama suami barunya."   Ya, aku memilih untuk tinggal disana. Selamanya.   "Lo seneng gak? Akhirnya impian mustahil gue menjadi kenyataan? Meskipun bukan karena beasiswa ya lo taulah otak gue kapasitasnya dikit banget."   Aku mencoba untuk menghibur diri sendiri. Aku mendekatkan wajahku ke nisan Aulia lalu menciumnya.   "Gue pergi dulu ya. Jangan marah. Meskipun gue pergi gue tetep akan selalu inget lo. Akan selalu inget semuanya."   Tapi tidak untuk ingatanku terhadap masa SMA.   Aku beranjak dan mulai melangkah jauh.   Aku sudah berpamitan pada sahabatku. Awalnya mereka tidak terima tetapi setelah ku jelaskan mereka pun mau tak mau harus mengikhlaskan kepergianku.   Sungguh, meskipun keinginanku untuk ke Amerika menjadi kenyatan hatiku sangat berat meninggalkan Indonesia.   "Bulan, bisa kita bicara?"   Aku tersentak kaget. "Bintang?"   Bintang tersenyum. Aku mundur beberapa langkah.   "Jangan menjauh lagi aku mohon."   "Lo mau apa?"   "Bisa kita bicara?"   "Disini aja!"   "Bulan, please..."   Bintang memegang kedua tanganku erat matanya memancarkan keseriusan.   Baiklah. Sebelum aku meninggalkan Indonesia dan melupakan masa SMA ku sepertinya ada baiknya aku berdamai dengan masa laluku. Karena aku yakin hidupku tidak akan tenang jika masih dihantui bayang-bayang masa lalu.   "Oke. Dimana?"   Senyuman lebar keluar dari wajah tegangnya. Bintang tidak menjawab dia hanya menarikku dan membawaku ke mobilnya.   Oke. Dia sekarang berani memawa mobil sejauh ini? Pemakaman Aulia jauh dari daerah rumahnya tapi lumayan dekat dari daerah rumahku.   • All of the stars •   "Bulan aku tau kamu gak pacaran sama Rudy kan?"   "Apa urusan lo?"   "Jelas itu urusanku Bulan."   "Lo bukan siapa-siapa gue."   "Aku masih pacarmu. Bahkan kamu tidak bilang iya saat aku minta putus."   "Terus lo fikir selama ini kita apa?"   "Hanya break."   Aku memutar tubuhku. Menatapnya dengan mata melebar spontan tanganku bertepuk keras dan akupun tertawa.   "Lo lupa? Dulu gue minta putus lo gak mau! Gue minta break lo juga gak mau! Lo bilang gak usah break-breakan kalau emang mau putus."   Bintang terdiam. Begitupun denganku.   Selama beberapa menit kami hanyut dalam fikiran masing-masing.   Aku tak tau apa yang difikirkan Bintang. Dia menengadah, menatap langit malam yang dihiasi penuh bintang.   Ya, Bintang mengajakku kesebuah bukit didaerah Bogor. Tempatnya enak dan tenang.   "Aku minta maaf."   Suara Bintang memecahkan kesunyian. Aku menoleh menunggunya melanjutkan.   "Aku udah percaya sama omongannya Pelangi tanpa tanya dulu sama kamu," Bintang menatapku. "Aku udah tau siapa Shinta. Dia Shafira. Sahabatku. Aku tau karena waktu itu dia keceplosan. Shafira minta maaf sama kamu dia ngelakuin itu karena muak sama sifat Pelangi. Dia juga udah bikin pengumuman di akun socmednya bahwa dia yang menerror Pelangi."   Jadi, Shinta itu sahabat Bintang? Pantas dia tau Bintang begitu detail.   "Pelangi juga sudah mendapatkan teguran dari pihak sekolahnya atas pencemaran nama baik. Dia udah dapat hukuman meskipun gak setimpal dengan apa yang kamu rasain. Sekarang dia gak punya teman."   Aku hanya tersenyun simpul. Secercah rasa kasihan datang dalam hatiku tapi segera ku tepis.   "Aku juga minta maaf karena bikin kamu sakit gara-gara aku deketin Ziva, Vira, Salma," Bintang menunduk. "Jujur, Lan. Aku ngelakuin itu cuma pengin tau reaksi kamu sebenarnya. Tapi kamu malah cuek aja seolah-olah aku gak ada. Aku capek, aku udah muak makanya aku bilang sama kamu."   Aku terengah.   Aku cuek? Astaga! Bahkan aku selalu berusaha mati-matian untuk tidak mengamuk apalagi menangis.   "Minggu depan aku pergi."   Keningku berkerut.   "Ayah bikin cabang perusahaan di Amsterdam. Mau gak mau aku sekeluarga harus ikut."   Aku segera membuang pandangan.   Rasa sakit itu menghantamku lebih dalam.   "Kalau kamu mau aku akan tetap di Indonesia sama kamu."   Aku tersenyum miring. "Hmm, maaf, gue gak butuh orang yang ngakunya kenal gue tapi malah milih lebih percaya sama orang lain."   Helaan nafas keluar dari bibirnya yang berwarna merah muda. Bintang memang tidak pernah merokok. Dia punya asma.   "Lan, aku minta maaf. Aku emosi pas tau katanya kamu nerror Pelangi. Aku gak suka cara kamu tapi ternyata kamu gak pernah kayak gitu."   "Emosi? Punya alasan apa lo langsung percaya gue kayak gitu?"   "Siapapun yang liat kamu setiap natap aku pasti akan ngira hal yang sama denganku."   "Siapapun atau hanya lo yang beranggapan kayak gitu?"   Bintang diam.   Aku mengepalkan kedua tanganku disamping kanan kiri badanku.   "Lo tuh maunya apa sih? Gue capek selama ini selalu ngertiin lo tapi lo enggak pernah! Lo tuh bener-bener kayak anak kecil yang dikit-dikit pakai emosi gak pakai otak. Lo tuh egois gak pernah mau ngaku salah apalagi ngakuin perasaan lo!"   Bintang menatapku.   "Lo bilang ke temen-temen lo kalau kita putus gara-gara gue cemburuan nah lo sendiri? Lo cemburuan melebihi gue tapi lo nyimpen sendiri rasa itu sampai akhirnya nanti lo akan jauhin gue! Mendingan mana cemburuannya dibanding gue sama lo? Beruntung gue selalu nunjukin kalau lo? Boro-boro!   "Lo gak pernah tau gimana keselnya gue tiap liat lo jauhin gue cuma gara-gara cemburu! Sementara gue saat cemburupun berusaha untuk positif thinking dan ngedeketin lo. Tapi lo lebih milih menjauh.   "Gue selalu bilang tiap mau pergi ataupun pulang sama cowok sama lo. Karena gue sadar gue punya pacar dan bisa aja ada yang liat lalu memberitahukan ke lo dengan melebihi cerita. Tapi lo? Bahkan lo cuek aja gak peduli sama perasaan gue! Gue tau selama ini lo selalu jalan berdua sama Pelangi dibelakang gue Bintang! Shinta atau Shafira itu udah ngasih tau ke gue semuanya!"   Aku berhenti setelah meluapkan segala kekesalan yang selama ini tersimpan. Dadaku naik turun bahkan nafasku terengah saking kesalnya.   Aku menunduk menumpukkan wajahku menggunakan kedua telapak tangan.   "Gue tau Bintang lo belum bisa move on dari Pelangi," kataku melirih. "Tapi, bisa kan jangan jadiin gue pelampiasan lo doang? Jangan lo kira gue gak tau. Hampir empat bulan kita sama-sama tapi lo berubah begitu drastis setelah satu bulan lewat. Mungkin lo gak nyadar tapi gue tau lo telah beda. Karena hati lo tetep berhenti di Pelangi."   "Bulan, aku bukannya jadiin kamu pelampiasan atau apapun itu aku cuma butuh waktu untuk ngelupain Pelangi."   "Gue gak bodoh, Bintang," emosiku mulai naik lagi. "Lo selalu bilang kayak gitu dari dulu. Sekarang gini aja, gimana caranya lo move on kalau lo aja masih bersikap manis sama Pelangi?"   "Apa sih salahnya menganggap mantan itu teman? Aku cuma gak mau hubungan aku sama Pelangi putus karena kita udah gak pacaran. Aku cuma nganggep dia teman." kini Bintang menatapku marah. Bahkan nada suaranya meninggi.   Aku mundur beberapa langkah. "Lo pernah mikir gak sih kenapa seseorang itu gak pernah bisa lupa sama mantannya itu karna apa?"   Bintang terdiam. Dia hanya menatapku dengan matanya yang penuh emosi.   "Karna dia terus memberi ruang untuk mendekat lagi. Bin, gue tau," aku menatapnya tajam. "Lo cuma gak mau setelah putus jadi musuhan. Tapi, yaampun, cara lo salah. Seharusnya lo menjauh dulu sebentar. Kalau lo terus-terusan deket sama dia gimana lo bisa lupa? Gue tau, Bin, lo itu orang yang keras kepala. Apapun yang lo mau harus ada! Nah, disini, lo mau gue dan juga Pelangi. Lo mikir gak? Gue sakit diduain gini. Meskipun lo gak ngelakuin secara langsung tapi hati dan gerak-gerik lo berkata gitu."   Kami terdiam. Aku membuang pandangan ke langit sementara Bintang ia terus menatapku.   Malam ini langit tampak bercahaya. Tetapi tidak untuk hatiku yang menggelap.   "Kalau aku bilang aku sayang banget sama kamu sampai gak bisa lupain kamu. Kamu percaya?"   Aku mengedikkan bahu cuek.   "Kamu berhasil buat aku lupain Pelangi," suaranya terdengar parau. "Setelah kamu pergi aku sadar. Aku telah kehilangan seseorang yang berarti. Aku kangen kamu. Kangen kamu yang selalu ada disamping aku saat aku sakit ataupun enggak. Kangen kamu yang selalu cemberut kalau aku ledekin. Kangen kamu yang selalu blushing tiap aku rangkul atau peluk. Aku kangen... Semunya yang ada didiri kamu, Bulan."   Aku menghembuskan nafas. Aku melirik jam dilayar ponsel. Sudah pukul lewat sembilan malam. Aku harus segera sampai rumah besok keberangkaratan pagi.   "Bin," aku tau sudah seharusnya aku jujur. "Gue juga sayang banget sama lo. Gue bener-bener gak bisa lupain lo. Sekarang mau lo kita gimana?"   Bintang bernafas lega. Dia menarikku kedalam pelukkan hangatnya. Astaga sudah lama aku tidk merasakannya.   "Aku minta maaf ya? Aku tau kmu gak mungkin mengucap kata ma--"   "Gue maafin."   Bintang mendorong tubuhnya sedikit. Di melihat wajahku bingung, aku hanya tersenyum.   Bagaimana pun aku harus berdamai dengan masa lalu kan?   "Terimakasih," Bintang mengecup keningku lama. Aku merasakan kehangatan diwajahku. "Kita pacaran ya? Aku gak minta balikan karna aku tau kamu gak suka balikan. Kita mulai semuanya dari nol dan jalanin serius. Aku gak janji tapi aku cuma bilang kalau aku akan berubah gak lagi kayak dulu."   Aku mempererat pelukanku. Kenapa kamu baru bilang sekarang Bintang? Ketika hatiku sudah membatu untuk kembali? Meskipun aku menyayangimu melebihi sayangku pada diriku sendiri tetapi aku sudah tidak ingin kembali padamu.   "Maaf, Bintang," aku merasakan tubuh Bintang yang menegang setelah merileks beberapa menit lalu. Bahkan dia menahan nafas. "Gue emang sayang banget sama lo tapi gue gak bisa buat nerima lo untuk kedua kalinya. Keputusan gue udah bulat. Gue gak mau kita punya hubungan apapun selain sebatas teman."   Bintang melepas pelukanku. "Kamu bercanda?"   Aku menggeleng. Bintang menatapku campur aduk.   "Bintng kita pulang ya? Udah malem orang tua kita pasti nyariin."   Bintang menunduk. Dia mengusap wajahnya kasar. Sekilas aku melihat ada air yang jatuh. Aku tau Bintang nangis. Tapi aku pura-pura tidak tau dengan tidak melihat matanya.   "Ayo kita pulang." Bintang mengulurkan tangannya. Seulas senyum terpaksa diperlihatkannya padaku.   Aku menerima uluran tangannya.   "Boleh peluk untuk terakhir kalinya?," aku mengangguk. Dia langsung memelukku erat. "Aku akan sangat kangen kamu. Kamu inget ya satu hal. Aku akan selalu sayang kamu."   Setelah beberapa menit, Bintang melepaskan pelukannya.   Dia mengecup dahi, kedua pipiku, kedua kelopak mataku, hidung dan yang terakhir dia hanya berani mencium daguku sebelum menarikku lembut ke mobil.   Kalau dulu Bintang yang meninggalkanku setelah mengucapkan kata sayang maka sekarang akulah yang melakukannya.   Maaf Bintang aku tidak bilang padamu atas kepergianku besok.   Karna aku berfikir lebih baik kamu tidak perlu tau apa-apa lagi tentang aku setelah ini.   Biarkan aku hidup tenang setelah sekian lama hidupku kacau.   Disaksikan oleh ribuan bintang dilangit. Dengan cahaya bulan yang terang.   Aku, Bulan dan Bintang. Saling menggenggam erat tangan kami. Seakan memberitahukan pada diri kami sendiri ataupun pada orang lain yang melihat meskipun kami tidak bersama-sama lagi. Rasa kami takkan pernah hilang.   • All of the stars •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD