Sebenarnya Bu Atma sedikit iba terhadap wanita muda yang terpaksa harus meninggalkan kamar kostnya, tapi mau bagaimana lagi? Ada orang yang rela membayar tiga kali lipat untuk menyewa kamar itu selama satu tahun. Cash! Bu Atma tidak bertanya apa alasan orang itu karena ada tambahan uang tutup mulut sebesar harga sewa setahun. Maka jadilah dia sekarang harus menegarkan hati terhadap permohonan Kirana yang tidak memiliki tempat bermalam.
"Maaf, Nak Kirana, kalau pun mau menginap di kamar teman kamu tetap harus bayar. Kamu tahu 'kan peraturan di kost Ibu," ucap Bu Atma.
"Iya sih, Bu ... Habis gimana? Aku harus tidur di mana?" Kirana tertunduk kalah.
Bu Atma menghela nafas, "Nggak punya teman atau kenalan yang bisa kamu hubungi? Pacar? Saudara?"
Kirana menggeleng lemah.
Tanpa terlihat oleh Kirana, seseorang memberi kode pada Bu Atma untuk masuk ke rumah. Wanita paruh baya itu pun menghela nafas lagi, tidak habis pikir kenapa Kirana bisa terlibat dengan orang-orang aneh tersebut.
"Ya sudah, Nak. Ibu ke dalam dulu ya." Bu Atma pun masuk ke rumah.
Tinggallah Kirana bersama satu koper berisi pakaian. Lemas, dia berjongkok di teras dengan kepala bersandar pada lutut. Tidak disangka kesialan demi kesialan menghampiri sejak si Desi b******k melarikan uang simpanannya.
Oh ya, mungkin Steven—bosnya—mau memberikan tempat menumpang sementara di loteng cafe sampai awal bulan? Patut dicoba!
Kirana menelepon Steven dengan jantung berdebar. Ketika lelaki itu menjawab panggilan, Kirana langsung bicara, "Malam, Steve."
"Hai, malam Kirana. Ada apa?"
"Uhm ... A–aku mau minta bantuan sedikit, boleh?" Mendadak Kirana ragu.
"Oh, bantuan apa? Kalau bisa pasti akan kuberikan."
Kirana menggigit bibir. Dia bisa membayangkan Steven sedang tersenyum. Lagi-lagi keraguan melintas di hati Kirana, tapi demi mendapat tempat bernaung dia menepisnya.
"Begini, aku sedang sial banget karena disuruh keluar dari kost. Dan ... uangku dibawa lari oleh temanku ... Kupikir ... bolehkah aku menumpang di loteng cafe? Hanya untuk sementara sampai awal bulan sampai aku gajian dan mendapat kost lain?" tutur Kirana disertai harapan yang melambung tinggi.
"Oh."
Hati Kirana menciut karena tanggapan singkat Steven. Apakah itu berarti tidak boleh?
"Kamu datanglah ke cafe. Tunggu aku di sana. Akan kuberikan kunci cadangan," kata Steven.
Kirana memekik kegirangan, "Terima kasih banyak!"
Steven tertawa, "Hati-hati di jalan, Kirana. See you."
"Oke. See you."
Dengan hati gembira Kirana berjalan ke cafe tempatnya bekerja. Selalu ada harapan di saat situasi sangat menyedihkan. Namun, tidak ada salahnya untuk tetap waspada. Bagaimanapun juga Steven adalah lelaki, dan dia tidak dapat menebak sikapnya jika berduaan di tempat tertutup. Leonard yang berpenampilan terhormat saja bisa bersikap memaksa.
Kirana menepuk dahi, "Argh! Kenapa malah teringat dia??"
"Dasar lelaki b******k ... Bisa-bisanya mencuri kesempatan ... Jangan harap gue mau ke sana lagi. Satu minggu? Satu bulan pun gue nggak bakal muncul!"
Dua lelaki yang membuntuti Kirana dengan berjalan kaki mengernyit heran melihat wanita muda itu komat-kamit sambil berjalan. Apakah bos mereka tidak salah menyuruh menguntit wanita ini? Sedikit mengkhawatirkan ...
Setengah jam berjalan kaki sambil menggotong koper terasa melelahkan. Untunglah Steven sudah tiba terlebih dulu di cafe. Kirana langsung masuk ke dalam dengan wajah berbinar.
"Hai, Steve—" Kirana terpaku melihat ada orang lain di dalam cafe.
Leonard terlihat berwibawa dengan penampilan serba hitam, duduk di tengah ruangan didampingi dua lelaki tinggi tegap berjas hitam. Panik, Kirana berbalik untuk pergi, tapi dua lelaki yang membuntuti sejak pagi menghadang di pintu.
Melihat tidak ada jalan selain menghadapi Leonard, wanita itu pun berbalik lagi. Matanya menyapu seisi ruangan. Tidak terlihat tanda keberadaan Steven di mana pun.
"Kirana, silakan duduk," ucap Leonard.
Kirana mendengkus, "Aku berdiri saja."
"Please, duduklah. Aku tahu kamu lelah karena berjalan sambil membawa koper. Mungkin minum sedikit?" Leonard memberi tanda pada pengawal pribadinya.
Kirana memperhatikan seorang lelaki mengambil gelas dan mengisinya dengan air mineral botol.
"Silakan, Nona." Pengawal pribadi itu memberikan gelas pada Kirana.
Wanita itu melangkah mendekati meja dan meletakkan gelas, "Aku tidak haus. Untuk kamu saja."
Leonard tersenyum, "Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Aku sedang lewat dan melihat tempat ini masih buka. Ternyata aku tidak salah mengambil keputusan untuk turun sejenak."
Kirana merengut, "Tidak ada yang namanya kebetulan. Bilang saja kamu membuntutiku."
Lelaki itu tertawa, "Untuk apa aku membuntutimu? Aku punya lebih banyak hal penting untuk dikerjakan daripada membuntuti seorang wanita."
Karena kakinya mulai terasa pegal akhirnya Kirana menarik kursi dan duduk. Dalam pencahayaan hangat di dalam cafe dia memperhatikan wajah Leonard terlihat sedikit lelah, kontras sekali dengan wajah dingin di pagi hari. Apakah lelaki itu selalu terlihat seperti ini di malam hari?
Kirana mengalihkan pandangan karena pikirannya melayang ke arah lain. b******k. Dia memang harus berhati-hati di hadapan lelaki yang telah mencuri ciuman ini!
"Kamu mau pergi ke mana? Luar kota?" Dengan sengaja Leonard menunjuk ke arah koper Kirana.
"Bukan urusanmu," ketusnya.
"Kamu tidak sedang kabur menghindariku, 'kan?" tanya Leonard tanpa dosa.
"Hei, seberapa pentingnya kamu sampai aku harus menghindar? Waktu perjanjian masih lima hari lagi. Aku pasti menepati janji." Kirana menyilangkan kedua lengan di d**a. Sungguh, dia mulai mengantuk dan ingin tidur. Kenapa pula Steven tidak menampakkan diri?
"Sudah larut malam seperti ini kamu sudah punya tempat menginap?"
Kirana memicingkan mata, "Sudah."
Leonard ingin tersenyum, tapi dia menahannya, "Oh ya? Di mana?"
"Bukan urusanmu." Kirana melawan keinginan untuk menguap. Please deh, berjalan kaki selama setengah jam membuatnya benaran lelah. Tidak tahan lagi akhirnya Kirana meneguk air dingin tadi.
"Kamu selalu bisa meminta bantuanku untuk apa saja, Kirana," ucap Leonard.
"Tidak usah repot. Aku terbiasa mengurus diri sendiri." Kirana meletakkan gelas yang sudah kosong dengan hati-hati.
"Aku tidak menganggapmu orang lain." Leonard tersenyum.
Kirana mengernyit, "Tapi aku belum menyetujui apa-apa. Bagaimana kamu bisa berkata seperti itu?"
"Entahlah. Insting, mungkin?" Leonard memperhatikan tatapan Kirana di hadapannya mulai sayup. Terlihat betapa wanita itu berjuang melawan rasa kantuk.
"b******k ... Kamu taruh apa—" Tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya Kirana ambruk di atas meja.
Leonard tersenyum penuh kemenangan, "Akhirnya aku mendapatkanmu, Kirana."
Pagi hari tiba dengan cepat. Cahaya matahari menerangi seluruh bagian penthouse hingga ke tempat tidur besar di loft. Sebuah koper besar berdiri di samping pintu walk-in closet. Seorang wanita muda terbaring di tempat tidur berbungkus selimut. Wajah cantik yang masih terlelap terlihat sedikit pucat, mungkin karena pengaruh obat tidur semalam. Leonard tidak bosan-bosannya memandangi si cantik yang terkesan liar itu.
Gumaman lembut terdengar dari bibir merah muda yang sedikit merekah, menandakan si wanita sedang bergerak menuju alam sadar. Ketika sepasang mata indah itu terbuka, Leonard menatap kagum. Sepasang iris berwarna hijau cerah menatap sayu, menggugah sesuatu dalam dirinya. Naluri yang selama ini dia tahan karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk berada dekat dengan wanita.
Namun, sekarang ...
Suara jeritan tertahan membuat Leonard sedikit terkejut. Kirana segera bangkit dan melompat turun dari tempat tidur. Begitu menyadari dirinya hanya mengenakan gaun tidur pendek satin berwarna hitam, wanita itu menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya. Kemudian dia melihat Leonard memakai pakaian tidur senada.
"Kamu!! Kenapa gue di sini??" sergah Kirana. Kepanikan mewarnai wajahnya.
"Semalam kamu pingsan dan aku membawamu kemari," sahut Leonard enteng.
Kirana mendekap selimut erat-erat. Tidak ada yang terasa aneh di tubuhnya, tidak ada rasa nyeri ... Dia menatap tajam, "Kamu mengganti pakaianku??"
Leonard tersenyum lebar, "Kalau ya, kenapa?"
Seketika wajah Kirana memerah, "Kamu tidak boleh berbuat seperti itu!! Kamu bukan siapa-siapaku!"
"Kamu tidak ingat apa yang terjadi semalam? Kamu sudah menyetujui perjanjian kita. Aku bisa tunjukkan buktinya." Leonard turun dari tempat tidur dan berjalan ke sebuah rak yang menggantung di dinding.
Kirana menatap kagum saat Leonard menarik rak itu menjadi sebuah meja. Lelaki itu kemudian membuka brankas kecil yang tersembunyi. Kirana mengenali map yang dikeluarkan Leonard. Apakah itu map yang berisi surat perjanjian?
"Kemari dan lihatlah. Kalau bukan kamu yang tanda tangan, lalu siapa?" Leonard membeberkan lembaran-lembaran kertas di atas meja.
Wanita itu mendekat dengan waspada. Matanya menyisir surat perjanjian tersebut dan melihat tanda tangannya di atas meterai. Kirana mengernyit, dia tidak ingat sama sekali pernah membubuhkan tanda tangan.
"Kamu memalsukan tanda tanganku!" tuduhnya.
Leonard mengangkat alis, "Itu tuduhan yang sangat serius, Baby. Aku tidak perlu memalsukan tanda tanganmu. Kamulah yang menyerahkan diri."
Kirana hendak merampas lembaran-lembaran tersebut, tapi Leonard lebih cepat. Lelaki itu segera mengamankan surat perjanjian di dalam brankas dan mengembalikan posisi meja. Kini mereka berdua berhadapan tanpa ada penghalang. Kirana baru sadar selimutnya terjatuh di lantai. Sebelum dia sempat bergerak Leonard sudah menangkap dan mendorongnya bersandar di dinding. Lelaki itu menahan kedua tangan Kirana di sisi kepala.
"Sekarang kamu adalah wanitaku, my sugar baby, dan kamu akan melakukan apa pun permintaanku."
Kirana bergidik dengan suara rendah Leonard. Setiap kata yang diucapkan membelai indra pendengarannya seperti godaan setan.
"Jangan sembunyikan mata hijaumu saat kita berdua. Oke?"
Kehangatan tubuh dan d******i Leonard membuat Kirana merintih lembut. Dia terlambat menyadari kalau suara itu membangkitkan sesuatu dalam diri si lelaki. Sekejap mata dirinya sudah berada di bawah belas kasihan Leonard. Tubuh si lelaki menekannya di dinding, bibirnya mencium penuh semangat bagai binatang kelaparan.
"Mmmh ... b–berhenti ...!" desis Kirana.
"Jangan harap," balas Leonard. Sedetik kemudian dia menarik diri karena gigitan keras di bibirnya.
Kirana terengah. Belum pernah dia diserbu seperti ini. Sungguh menakutkan dan ... menggoda?
Tangan besar Leonard menangkup wajah Kirana yang merona. Terlalu indah untuk dibiarkan. Dia pun menunduk untuk mencium lebih lembut. Kirana berdiri gelisah karena dapat merasakan sesuatu yang terbangkit di tubuh Leonard.
"Jangan takut ... aku tidak akan menyentuhmu tanpa ijin ... Hanya kalau kamu menginginkannya, Baby," lirih Leonard yang seolah mengetahui kegelisahan Kirana.