"Oh!" Kirana pun bangkit berdiri dan berlari ke pintu. Ketika gagal membuka barulah dia teringat kalau entah bagaimana caranya pintu itu terkunci.
"Buka pintunya!" Wanita yang dilanda kegelisahan tingkat tinggi tersebut mengguncang handle.
Sepasang tangan besar terjulur melewati sisi tubuh Kirana, mengungkung tubuh mungilnya yang menempel di pintu kaca. Kehangatan dari si pemilik tangan merambat dari belakang, membuat Kirana tidak berani bergerak. Dalam hati dia mengutuk kenapa lensa kontak berwarna coklat tua yang selalu dia kenakan dapat terlepas dengan mudah saat terjadi benturan. Selama bertahun-tahun Kirana sudah menyembunyikan mata hijaunya dari orang-orang dan dia tidak berencana memberitahu siapa pun tentang itu.
"Sudah kukatakan kita akan tetap berada di sini sampai tercapai kesepakatan. Kamu wanita yang unik dan aku tidak akan melepasmu, Kirana," ucap Leonard begitu dekat di telinga si wanita.
"Selama aku belum menandatangani perjanjian, kamu tidak boleh menyentuhku!" sergah Kirana. Suaranya sedikit bergetar karena terintimidasi.
"Aku tahu." Meskipun berkata demikian, tapi Leonard tidak memindahkan kedua tangannya. Dia sungguh penasaran apa yang akan dilakukan oleh wanita yang tersudut.
"Mundur dong. Aku tidak nyaman."
Leonard tersenyum, "Berbaliklah."
"Tidak bisa. Tanganmu ... terlalu dekat."
"Oke. Bagaimana kalau begini?" Leonard mundur beberapa sentimeter.
Merasakan kehangatan lelaki di belakangnya menjauh barulah Kirana berani berbalik. Berhadapan dengan jarak sedemikian dekat membuatnya harus mendongak agar dapat menatap Leonard. Jantung Kirana berdebar kencang karena tatapan lelaki itu begitu dalam seolah menembus ke dalam jiwa. Sepasang mata tajam dengan iris coklat tua ...
Sebaliknya Leonard pun berdebar akan kedekatan mereka. Ini pertama kalinya ... Oh, tidak, kedua kalinya dia tidak merasa ingin pingsan karena berdekatan dengan wanita. Kali pertama adalah saat bertemu Kirana di dalam lift. Entah apa yang membuat wanita ini berbeda.
"Lepas lensa kontakmu," ucapnya.
"Apa? Siapa kamu menyuruhku seperti itu? Kamu bukan bosku, bukan orangtuaku. Aku tidak perlu mendengarkanmu," cetus Kirana.
"Kirana, aku ingin melihatnya. Please?" Usai berucap, Leonard terhenyak. Baru kali ini dirinya memohon pada orang lain—seorang wanita. Apakah dia sudah gila? Tidak. Tidak sama sekali. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan mendekati wanita istimewa ini.
"Untuk apa??" tanya Kirana galak.
"Karena matamu sangat indah." Tanpa sadar Leonard bergerak maju lagi.
Kirana mengacungkan telunjuk, "Jangan mendekat! Kubilang kita belum—"
Tanpa peringatan Leonard menunduk dan mencium bibir Kirana. Kedua tangannya menangkup wajah cantik itu agar tidak dapat menghindar. Setelah beberapa detik hal berikutnya yang dia rasakan adalah panas di sisi wajah akibat tamparan.
"Ouch! Berani sekali ...." Leonard menoleh sengit hanya untuk melihat sepasang mata indah Kirana berkaca-kaca.
"Aku sudah mengambil keputusan! Aku tidak mau jadi wanitamu! Sekarang buka pintunya!" Punggung Kirana bersandar di pintu.
"Kamu tidak akan keluar dari sini sampai kuijinkan," desis Leonard. Harga dirinya terluka oleh tamparan wanita itu.
Kirana menatap tidak percaya, "Apa? Kamu mau menahanku? Memangnya siapa kamu? Oh, b******k! Tahu begitu aku tidak akan datang kemari! b******k!"
Leonard memperhatikan Kirana berjalan mondar-mandir di tengah ruangan. Dia sendiri kembali duduk di belakang meja untuk menenangkan diri. Kelembutan bibir Kirana masih terasa jelas di bibirnya. Sebuah ciuman singkat yang membuatnya menginginkan lagi. Pasti ada cara untuk membuat wanita ini tunduk.
"Kirana."
"Apa??" sergah Kirana. Dia sedang kesal pada diri sendiri karena pikirannya masih membayangkan ciuman tadi.
"Kamu kuijinkan pergi, tapi berjanjilah untuk kembali satu minggu lagi. Pikirkan baik-baik penawaranku," ucap Leonard.
Kirana menghela nafas dan berucap, "Oke. Deal."
Leonard pun menekan tombol untuk membuka pintu, "Silakan. Pintu sudah tidak terkunci."
Tanpa berkata apa pun Kirana bergegas pergi. Dia khawatir Leonard akan berubah pikiran dan mengunci pintu lagi. Sumpah. Udara kebebasan terasa lebih nikmat daripada kesejukan beraroma lemon di gedung ini.
Begitu Kirana pergi Leonard menghubungi meja sekretaris.
"Ya, Pak?"
"Ikuti wanita tadi. Awasi dan laporkan apa saja aktivitasnya selama satu minggu," titah Leonard.
"Baik, Pak." Sebagai sekretaris Presiden Direktur, Robert melaksanakan perintah tanpa banyak bertanya.
Beberapa saat setelah kepergian Kirana, Leonard masih duduk termenung. Jemarinya menyentuh bibir di mana rasa akibat ciuman singkat tadi masih tertinggal. Sudut-sudut bibir Leonard terangkat membentuk senyuman. Tidak dipungkiri dia merasa senang karena dapat bersentuhan dengan seorang wanita tanpa harus mengalami gejala fobia sampai harus kehilangan kesadaran.
Aneh memang. Dari sekian banyak wanita di dunia seorang Kirana membuatnya merasa seperti lelaki normal.
Sementara itu Kirana yang sedang dalam perjalanan pulang tidak menyadari ada dua orang lelaki membuntutinya dari jarak aman. Sepanjang jalan dia menunduk, menutupi wajah dengan rambut agar tidak ada orang yang menyadari warna matanya yang berbeda. Dia sudah cukup menerima ejekan dan hinaan sepanjang masa kecil karena warna mata yang unik.
Rasanya ingin menangis saking kesal saat Leonard melihat warna asli matanya.
Namun, kemudian Kirana teringat akan lembutnya bibir lelaki itu dan menjadi semakin kesal. Dulu pacarnya, oh, salah ... mantan pacarnya saja harus menunggu sampai satu bulan untuk mendapat ciuman pertama. Leonard dengan seenak jidat malah menciumnya sebelum jadi pacar!
Tunggu dulu ...
Lelaki itu 'kan tidak bermaksud jadi pacarnya? Leonard cuma menawarkan sebuah relasi dengan win-win solution, atau setidaknya demikian dalam pengertian Kirana.
"Memusingkan sekali ... ini gara-gara Desi. Kalau nggak gue nggak bakal ketemu orang aneh seperti Leonard ... Lihat saja nanti kalau ketemu lagi, gue cincang lo, Des ...," gerutu Kirana panjang lebar sampai membuat orang-orang yang berpapasan di jalan melirik heran.
Jarak antara kawasan perkantoran elit dengan rumah kost tempat Kirana tinggal berjarak lumayan, dalam artian tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat. Demi mengurai simpul kusut dalam pikiran dan perasaan Kirana memutuskan untuk berjalan kaki pulang. Toh hari ini dia sudah ijin tidak masuk kerja pada Steven, pemilik cafe merangkap toko buku tempatnya bekerja sebagai pramuniaga.
Sambil melangkah perlahan Kirana menelepon seseorang. Siapa lagi kalau bukan Desi, teman sekost-nya yang tempo hari sempat meminjam sejumlah besar uang dan memintanya ke apartemen untuk mengambil uang tersebut. Siapa sangka, bukannya bertemu Desi, dia malah bertemu dengan mucikari ...
Seharusnya sudah bisa ditebak kalau nomor Desi tidak aktif.
"Sialan ... Mana gue harus bayar uang kost, uang kursus ... Sialan lo, Des!"
Kirana mencoba menelepon sekali lagi hanya untuk menemui hasil yang sama. Desi telah menghilang bersama uang sebesar tiga puluh juta hasil tabungannya. Bagi orang lain jumlah sekian mungkin terlihat kecil, tapi bagi Kirana yang hidup sebatang kara uang tersebut adalah pegangan hidupnya. Dia bahkan berencana untuk memulai bisnis kecil-kecilan suatu saat nanti.
"Argh! Salah sendiri terlalu percaya teman ... Sialan! Kalau ketemu gue gebukin dia ...," dumel Kirana penuh emosi.
Sembari melangkah pikiran Kirana terombang-ambing antara uang yang hilang dan penawaran Leonard. Apakah dia menyesal telah kabur dari lelaki itu? Mungkin. Ah, entahlah. Dia hanya tidak ingin terjebak dalam perjanjian yang akan lebih banyak merugikan dirinya.
Tiba di kost Kirana langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Dia mengabaikan suara penghuni kamar sebelah yang menyapa. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengganti lensa kontak agar terlihat seperti orang normal. Hati-hati sekali Kirana melepas lensa kontak coklat di mata kanan. Wanita itu menatap bayangannya di cermin. Tidak dipungkiri sepasang mata yang berwarna hijau cerah ini tampak sangat indah. Tidak heran Leonard serta-merta tertarik.
Kirana menghela nafas. Diri sendiri tidak merasa ada hal baik yang diperoleh dari iris berwarna hijau cerah, karena sejauh pengalamannya hanya ejekan dan penghinaan yang didapat.
"Kirana ... Kirana ... berhenti berpikir. Mereka ada di masa lalumu. Mereka tidak akan mengganggumu lagi," lirih Kirana dengan hati yang terbeban oleh trauma.
Suara gedoran di pintu mengejutkan Kirana. Cepat-cepat dia memakai lensa kontak baru. Setelah yakin penampilannya tak bercela Kirana pun membuka pintu. Tampaklah sosok ibu kost dengan wajah yang tidak sedap dipandang.
"Hei, Kirana, bagaimana nih? Uang kost kamu sudah memasuki bulan kedua nih?" tanya si ibu kost tanpa basa-basi.
"Iya, maaf Bu Atma. Boleh nggak aku bayarkan awal bulan depan pas gajian? Uang simpananku hilang semua," kata Kirana dengan wajah sedih.
Bu Atma menatap penuh selidik, "Memangnya kamu nggak punya uang pegangan di tangan? Ibu lagi butuh nih untuk bayar sekolah si bungsu. Kalau nggak sebagian dulu juga boleh?"
"Aduh, Bu, bukannya nggak mau kasih, tapi aku cuma punya sedikit di tangan untuk uang makan. Awal bulan ya, Bu?" Kirana menangkupkan tangan di d**a.
"Okelah. Ini hanya karena kamu nggak pernah terlambat bayar kost. Nggak kayak teman-temanmu yang lain itu, nunggak kok sampai tiga empat bulanan." Setelah bersabda Bu Atma pun berlalu.
Bukan main leganya Kirana karena berhasil membujuk Bu Atma perihal uang kost yang tertunggak. Dia hanya khawatir diusir keluar dari kost ini karena dengan kondisi keuangan yang ada, sangat tidak mungkin mencari tempat tinggal lain. Kirana pun kembali mengunci diri dalam kamar berukuran dua kali dua meter persegi tersebut.
"Gajian masih tiga minggu lagi ... Mudah-mudahan duit gue bisa bertahan sampai akhir bulan." Kirana menatap lembaran-lembaran uang di dompetnya dengan sedih. Kalau di film kartun sih ada ngengat yang terbang keluar dari dompet.
Beberapa jam kemudian ...
Terlihat seorang lelaki berpakaian santai bicara dengan Bu Atma. Setelah memperoleh cukup informasi lelaki itu kembali pada rekannya yang menunggu di warung kopi dekat rumah kost. Sesegera mungkin lelaki itu mengeluarkan handphone dan menelepon.
"Sore, Pak."
"Apa hasil hari ini?" tanya Leonard di ujung sana.
"Siap, Pak. Tampaknya Kirana sedang mengalami kesulitan keuangan dan tidak bisa bayar kost. Menurut pemilik kost uang simpanannya hilang. Menurut teman sekost, ada teman lain yang membawa kabur uang tersebut," lapor penguntit Kirana pada sang bos.
Leonard terlihat senang, "Bagus. Usahakan dia kehilangan tempat tinggal."
"Baik, Pak."