Tapi, Kenapa?

1554 Words
Tidak dipungkiri pemandangan dari teras penthouse di lantai lima puluh ini sangat menakjubkan. Kirana mengagumi pemandangan tanpa penghalang ke seluruh penjuru kota. Udara segar karena tanaman-tanaman hias dan ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh polusi dari jalan raya. Sejak tadi pagi Leonard meninggalkannya sendirian di penthouse. Lelaki itu berjanji akan kembali untuk menjemputnya makan siang bersama. Kirana tidak dapat menolak karena memang tidak ada jalan untuk menghindar. Pintu keluar satu-satunya dijaga oleh dua orang pengawal pribadi. Dia juga tidak mungkin melarikan diri dengan melompat dari teras seperti pemeran film action. "Sekarang gue mau ngapain? Nunggu bengong?" Kirana melihat jam di handphone yang baru menunjukkan pukul sepuluh. "Dua jam lagi ...," keluh Kirana. Sedari pagi Kirana berusaha menghubungi Steven, tapi nomor itu sudah tidak aktif. Benar-benar aneh. Apakah lelaki pemilik cafe itu sudah tidak membutuhkan karyawan rajin sepertinya? Kirana menghela nafas. Baiklah. Sekarang sudah bisa dipastikan statusnya adalah seorang pengangguran elit milik Leonard. Cih! Milik? Memangnya dia benda mati? Tidak semudah itu lah ya. Meskipun surat perjanjian telah ditandatangani, tapi tidak serta-merta Kirana akan menyerahkan semuanya. Apalagi Leonard sudah menyatakan tidak akan memaksa. Lelah bermonolog dalam pikiran akhirnya Kirana memutuskan untuk menjelajahi penthouse sekali lagi, siapa tahu menemukan hal menarik untuk menyibukkan diri seperti membakar dapur misalnya. Wanita itu membongkar kulkas dan semua rak yang ada di kitchen set, tapi tidak menemukan apa pun yang menarik. "Ah, sudahlah. Mending tidur." Kirana membanting pintu kulkas. Niat awal mau tidur, tapi Kirana berakhir rebah sambil bermain handphone. Dia masih mencoba menghubungi nomor Desi meskipun tahu usahanya akan nihil. Setelah percobaan pertama Kirana melempar handphonenya sembarangan. Kedua tangannya mendekap wajah. Kesal sekali menjadi orang bodoh yang ditipu oleh teman. "Kirana, Kirana ... yang bodoh siapa coba? Bisa-bisanya percaya sama orang ...," gerutu Kirana pada diri sendiri. Tanpa terasa waktu berlalu menuju jam yang dijanjikan Leonard. Pintu utama terbuka, menampakkan si pemilik penthouse yang tiba dengan wajah antusias. Tangannya membawa sebuah kantong kertas tebal berisi gaun untuk wanitanya. Lelaki itu sudah bertekad untuk mendapatkan satu ciuman sebelum membawa Kirana pergi makan siang. Leonard tersenyum geli melihat Kirana tidur meringkuk di bawah selimut. Rambut ikal panjang yang bergulung bak ombak terlihat di tepi atas selimut. Wanita itu bergerak sedikit saat Leonard menyingkap selimut, tapi matanya tetap terpejam. "Wake up, Baby ... Daddy is back," bisik Leonard. "Mmmh ... lima menit ...." Jawaban itu membuat Leonard nyaris tertawa. Dia pun berbaring miring di sebelah Kirana untuk memperhatikan rupa wanita muda itu dengan leluasa. Selembut mungkin jemarinya menyingkirkan helaian-helaian anak rambut yang menutupi wajah Kirana, sebuah aktivitas sederhana yang sebelumnya dapat membuat Leonard pusing, sakit kepala, dan berkeringat dingin. Kirana sedikit mengernyit karena sentuhan ringan yang terasa di wajahnya. Sambil menggumam dia membalikkan badan dan menarik selimut. Leonard beringsut mendekat. Lelaki itu tidak ingin kehilangan kedekatan yang menggoda tersebut. Lengannya merengkuh tubuh Kirana dan memeluk erat. Wajahnya terbenam di rambut ikal si wanita, menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang menggiurkan. "Hmmhh ...." Setengah sadar Kirana berusaha melepas pelukan Leonard. "Bangun sebelum aku tergoda untuk melakukan hal lain," bisik Leonard. "Apa ...." Seketika itu juga Kirana tersadar sepenuhnya. Refleks dia meronta untuk melepaskan diri dari lengan yang melingkar di tubuh memeluk erat seperti gurita. Sialnya Leonard terlambat mengantisipasi. Kepala si wanita beradu dengan wajahnya. "Kamu!" Kirana sudah melompat ke sisi berlawanan dan memeluk bantal seperti perisai. "Ouch! b******k ...." Leonard mendekap sisi wajahnya yang terbentur. Cukup keras dan membuatnya pusing. "Siapa suruh berbuat aneh-aneh! Rasain!" sergah Kirana. Leonard bergegas melihat cermin tinggi di dekat walk-in closet. Terlihat bekas kemerahan di bagian bawah mata kiri. Dengan wajah seperti ini bagaimana dia bisa kembali ke kantor? "Sial. Sepertinya kita tidak akan kemana-mana sepanjang hari ini," cetus Leonard. "Ya sudah!" Jawaban ketus itu membuat Leonard menoleh keki, "Dan sebagai hukuman atas sikapmu yang liar, untuk seterusnya kamu juga tidak akan kemana-mana." Kirana mengernyit, "Apa maksudmu?" "Kamu kukurung di sini." Wanita itu pun ternganga, "Apa?? Kamu tidak bisa berbuat seperti itu! Aku bukan binatang peliharaan! Aku berhak keluar dari sini!" Tanpa terpengaruh oleh protes tersebut Leonard melepas jas dan ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Secara mental dia membandingkan perilaku wanitanya dengan Siera, sugar baby milik Ardian. Leonard tersenyum. Dia tetap lebih menyukai perilaku Kirana yang jujur. Mengabaikan wanita yang berdiri waspada di dekat tempat tidur, Leonard berganti pakaian di walk-in closet. Penampilan santainya dengan kaos dan sweatpants membuat lelaki itu terlihat lebih muda. Meskipun sebal, tapi Kirana mengakui Leonard memang lelaki yang menarik. "Kemari." Leonard mengajak Kirana ke teras. Tidak ada pilihan lain wanita itu menurut. Dia ingin tahu seberapa jauh Leonard menekannya. Sejak kecil dia tidak pernah takut pada siapa pun, dan dia tidak akan takut pada lelaki ini. "Duduk." Kirana menghempaskan diri di kursi. Kedua lengannya tersilang di d**a sebagai gestur defensif. "Kamu pernah punya pacar?" tanya Leonard. "Pernah." "Berapa jauh hubunganmu dalam pacaran?" Kirana mengernyit. Dia memahami maksud pertanyaan itu, tapi untuk apa Leonard bertanya? Kirana melengos, "Kenapa mau tahu?" Leonard menilai gestur si wanita, "Aku hanya ingin tahu, sejauh mana kita dapat berinteraksi." "Kamu sudah berjanji tidak akan menyentuhku tanpa ijin, berarti pertanyaan itu tidak relevan." Seulas senyum terkembang di wajah Leonard. Wanita muda ini cukup pintar. Ujarnya lagi, "Memangnya tidak boleh tahu?" "Tidak boleh. Itu ranah pribadiku," ketus Kirana. "You're still a virgin?" tebak Leonard. Kirana melotot. Wajahnya merona tanpa kendali. Apakah dia begitu mudah ditebak? "Lalu kenapa kalau aku masih virgin? Memangnya seperti kalian para lelaki, sudah jajan kesana kemari??" balas Kirana keki. Leonard tersenyum lebar, "Kita sama, Baby." Lagi-lagi Kirana melotot, "Apa?" "Aku pun belum pernah melakukan hubungan intim dengan wanita." "Dengan lelaki?" sambar Kirana tanpa berpikir. Tawa Leonard meledak, "Aku masih menyukai wanita." Kirana pun menatap heran, "Tapi, kenapa?" Untuk sesaat tidak ada kata yang terucap di antara mereka. Tidak semudah itu Leonard menceritakan kondisi anehnya kepada seorang wanita yang baru dikenal. Biarlah waktu yang memutuskan apakah kebenaran akan terungkap atau tidak. "Mungkin ... karena aku bukan seperti lelaki lain dalam persepsimu." Sepasang mata hijau Kirana menatap penuh selidik, "Tapi terhadapku kamu begitu agresif. Aku tidak percaya kamu tidak seperti itu terhadap wanita lain." "Terserah mau percaya atau tidak." Leonard menutup topik tersebut. Untuk sesaat tidak ada yang bicara. "Apaan sih. Kamu yang mulai topik mengenai hal pribadi, kamu yang takut duluan," gerutu Kirana. Leonard mengernyit. Harga dirinya tersentuh oleh ejekan itu, "Hei, mau kutunjukkan apa yang disebut rasa takut?" Kirana langsung waspada, "Tidak seru ah. Aku ke dalam saja." Sialnya baru beranjak dari kursi tubuh Kirana terangkat. Wanita itu memekik kaget karena Leonard menggendongnya ke dalam. Bukan perkara sulit bagi lelaki yang bertubuh lebih besar itu untuk membawanya naik ke loft. "Lepasin!" Kirana meronta. Leonard menahan si wanita di tempat tidur. Ingin rasanya melakukan hal-hal yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Dia menangkap pergelangan tangan Kirana dan menahannya di atas kepala si wanita, membuatnya menatap ngeri karena tak berdaya melawan. Kirana terengah karena marah dan takut, "Jangan harap kamu akan hidup tenang setelah melakukannya!" Leonard tersenyum, "Apa yang kamu harapkan akan terjadi, Baby?" Mulut Kirana terbuka, kemudian menutup kembali. Lelaki ini benar-benar absurd! Bukankah sudah jelas apa yang akan terjadi jika seorang lelaki membawa wanita ke tempat tidur? Atau lelaki ini memikirkan hal lain? "Apakah kamu memberiku ijin untuk menyentuhmu?" tanya Leonard. "Tidak!" "Maka aku tidak akan melakukannya." Merasakan cengkeraman di pergelangan tangannya mengendur, Kirana segera melepaskan diri. Namun, Leonard tidak membiarkannya pergi. "Terus kamu mau apa?" Suara Kirana sedikit bergetar karena emosi tidak menentu. Tangan besar Leonard membelai wajah cantik itu dengan teramat lembut, "Melakukan hal lain." Kirana menahan nafas saat Leonard menciumnya. Tangannya mendorong d**a Leonard untuk mencegahnya bergerak lebih jauh, tapi apa arti tenaga wanita terhadap lelaki? Beberapa saat kemudian Kirana menyadari ciuman lelaki itu terasa kaku. Apa mungkin dia belum pernah berciuman? "Ouch! Hei, stop doing that!" Leonard menarik diri akibat gigitan Kirana. Sejenak keduanya bertatapan. "Kamu ... belum pernah dekat dengan wanita?" tuduh Kirana. "Tebakan mujur, Baby. Memang benar, aku belum pernah menjalin hubungan khusus dengan wanita. Kamu wanita pertamaku." Mata Kirana membulat, "Tapi, kenapa?" Leonard terkekeh, "Apakah aku harus membuka diri kepadamu? Jika demikian bukankah hubungan kita akan mengarah pada sesuatu yang lebih serius?" "Tidak. Lupakan saja. Kita bukan siapa-siapa." Kirana memalingkan wajah. Entah kenapa penolakan Kirana menimbulkan riak di hati Leonard. Sebuah reaksi yang membuatnya ingin memiliki wanita bermata hijau ini seutuhnya. Jika perlu dia akan memberi kompensasi besar untuk malam pertama mereka. Ya. Mungkin itu cara yang baik. "Kirana, Baby." Leonard membelai rambut ikal si wanita dan bertanya, "Berapa yang kamu inginkan untuk keperawananmu?" Kirana terbelalak, "A–apa?? Tapi ... aku tidak mau! Oh! Kamu! Kalian lelaki tidak ada bedanya!" "Stop. Aku tidak meminta secara cuma-cuma. Kamu berhak memberi penawaran." "Sialan! Apa bedanya kamu dengan mucikari? Sial! b******k! Sudah kubilang aku tidak menjual diri!" Kirana mulai meronta. "Oke, oke. Lupakan permintaanku. Mungkin aku hanya terlalu antusias karena bisa berada dekat dengan wanita." Leonard mengalah, tapi dia tetap memegangi kedua tangan Kirana untuk mencegah terkena pukulan nyasar. "Kalau gitu lepasin!" Leonard menghela nafas. Sepertinya dia harus mengubah cara pendekatan terhadap Kirana kalau mau menjalani perjanjian mereka dengan damai tenteram. "Aku lepas kalau kamu tenang," ucap Leonard. Seketika Kirana berhenti meronta. "Oke. Sekarang kita bicara." Perlahan Leonard melepas cengkeramannya dan duduk di tepi tempat tidur. "Apa lagi yang mau dibicarakan? Aku sudah tidak bisa melepaskan diri dari tempat ini, 'kan?" ketus wanita itu. Leonard mengamati ekspresi Kirana dan bertanya, "Katakan, apa keinginanmu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD