Let Me Touch You

1512 Words
"Kalau ada yang kurang sesuai beri tahu aku. Akan kusuruh orang memperbaikinya. Oke?" Leonard berdiri di ruang tamu apartemen bernuansa modern dan mengamati sekeliling. Kirana yang berdiri di sebelahnya tertakjub melihat apartemen mewah dengan dua kamar tidur berukuran dua ratus meter persegi ini. Untuk apa dua kamar tidur jika yang akan digunakan hanya satu? Bukankah ini namanya pemborosan? Selama ini dia sudah cukup puas dengan kamar kost ukuran dua kali dua meter kok. Matanya juga melihat balkon di sisi depan ruang tamu. "Emm ... ini terlalu besar untukku," ujar Kirana. Ujung sandalnya mengusik permukaan karpet bulu yang terhampar di ruang tamu tersebut. Leonard menoleh, "Terlalu besar? Kurasa tidak. Apartemen ini tidak sebesar tempatku, Baby. Atau kamu lebih suka kita tinggal bersama?" "Tidak. Sesuai permintaan, aku memang butuh tempat sendiri," sahut Kirana cepat-cepat. "Kalau merasa sepi kamu bisa ke atas, atau aku bisa kemari." Leonard tersenyum tipis dengan jawaban Kirana. "Iya yah. Kita cuma terpisah satu lantai." "Lihat-lihatlah. Aku menunggu di sini." Leonard duduk di sofa. Kirana mengangguk. Kamar tidur utama membuat wanita yang terbiasa hidup sederhana itu terpesona. Tempat tidur berukuran queen size mengundang untuk berguling-guling di atasnya. Kirana berdiri di depan dinding kaca yang membatasi kamar dengan langit luas. Untung dia bukan tipe orang yang takut ketinggian. Dengan langkah ringan wanita itu menyusuri dinding kaca menuju lemari pakaian besar yang memenuhi sepanjang sisi kamar. Iseng dia menggeser pintu lemari terbuka. "Wih, luas banget ... Gue bisa ngumpet di sini nih." Kirana melepas alas kaki dan melangkah masuk ke lemari yang masih kosong tersebut. "Baju gue 'kan nggak banyak? Paling cuma memakan sedikit ruang," gumamnya. Mendadak beberapa wanita dan lelaki berderap masuk ke kamar. Sontak Kirana melompat keluar dari lemari. Orang-orang itu bergerak tangkas mengisi lemari dengan berbagai macam pakaian, tas, dan alas kaki. Kirana melongo. Segera setelah lemari terisi penuh, orang-orang meninggalkan kamar. "What the ...?" Kirana melongo melihat lemari besar yang tadi kosong melompong kini terisi penuh. "Seharusnya semua sesuai ukuranmu." Leonard masuk tanpa permisi. "Tapi ... aku tidak kekurangan baju! Semua bajuku masih ada di dalam koper!" protes Kirana. "Koper yang mana?" Kirana celingak-celinguk. Benar juga, koper semata wayang itu masih ada di penthouse. Atau ... jangan-jangan sudah dibuang?? "Sebagai wanita yang akan selalu ada di sampingku, penampilanmu tidak boleh bercela. Dan jangan lupa, mata yang indah ini hanya untukku," ucap Leonard. "Tapi, lensa kontakku juga di dalam koper!" "Aku sudah belikan yang baru." Kirana menghela nafas, "Oke lah. Sepertinya aku tidak ada permintaan lain lagi. Kamu sudah memenuhi semua kebutuhanku." "Belum semua." Leonard mengeluarkan sebuah buku kecil dan dua buah kartu kredit dari saku jas. "Ini ...." Kirana menerima kedua benda itu. "Uang sakumu setiap bulan dan kartu kredit tanpa limit. Gunakan untuk keperluanmu, Baby." Leonard mengecup dahi si wanita yang terbengong. "Wow, serius?" Mata Kirana terbelalak melihat deretan angka nol yang tercetak di halaman pertama buku rekening. Kalau tidak salah hitung ada delapan angka yang berderet dalam satu baris ... "Aku hanya memenuhi bagianku dalam perjanjian." Kirana menggigit bibir. Jika Leonard berkata demikian berarti akan tiba gilirannya memberikan apa yang sudah disepakati. Lelaki itu tersenyum tipis melihat ekspresi cemas Kirana. Dia berucap lembut, "Bersiaplah, Baby. Sore ini kita pergi menghadiri acara." "Apa? Ke mana?" "Gathering bulanan rekan pengusaha." Kirana mengernyit, "Gathering? Kok bukan weekend?" "Weekend adalah waktu mereka bersama keluarga. Weekdays bersama orang lain," jawab Leonard. "Orang lain? Maksudnya wanita simpanan?" "Kamu sudah tahu." Leonard tersenyum lebar. "Tugas pertamaku? Apa saja yang harus kulakukan?" Kirana pasrah. "Mendampingiku sepanjang acara." "Itu saja?" Leonard menatap dalam, "Kamu menginginkan sesuatu yang lebih?" "Apa sih? Aku 'kan cuma bertanya," gerutu Kirana. Leonard membelai sisi wajah Kirana dengan jemarinya, menyusuri garis yang lembut dan berakhir di bibir merah muda si wanita. Diperhatikannya Kirana sedikit gelisah saat dia mengusap lembut bibir itu. "Aku perlu belajar lebih banyak." Leonard tersenyum. "Belajar apa?" Kirana masih nekat bertanya meskipun sudah dapat menebak jawabannya. Tangan kiri Leonard merengkuh pinggang Kirana sementara tangan yang lain menangkup wajah wanita itu. Kirana terkesiap saat Leonard mencium dengan luwes. Lelaki ini berubah dalam waktu satu malam! Senangnya Leonard melihat sepasang mata indah itu terpejam menikmati. Berarti apa yang dia lakukan sudah tepat. Tidak sia-sia dia melihat, mempelajari dengan seksama video tentang bagaimana cara berciuman yang baik dan benar selama berjam-jam. "Uhm ... dari mana ... siapa yang mengajarimu?" Kirana menggigit bibir dengan cara yang menggemaskan. "Jaman sekarang apa saja dapat dipelajari secara online." Mata Leonard tidak lepas dari bibir si wanita. Menyadari tatapan itu Kirana memalingkan wajah, "Aku perlu ke kamar mandi." "Silakan." Dengan enggan Leonard melepas pelukannya. Dengan langkah tenang tanpa terburu-buru Kirana menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar utama. Jantungnya berdebar sangat kencang seperti hendak melompat keluar dari sangkar. Kirana mengunci pintu. Kedua tangannya bertumpu di wastafel marmer. Wajah yang menatap dari cermin terlihat merona sekaligus menggoda. "Tenang Kirana ... jangan pakai perasaan ... Kamu dan dia bukan pacar ... Ini hubungan saling menguntungkan ...." Kirana terus memberi sugesti pada diri sendiri. "Sialan ...! Berhenti berkhayal ...!" Begitu degup di jantung mereda, barulah Kirana berani keluar dari kamar mandi. Dilihatnya Leonard sedang memilih pakaian di lemari. Perlahan Kirana mendekatinya. "Cari apa sih?" tanyanya penasaran. "Gaun untuk kamu pakai nanti sore," jawab Leonard tanpa memandang ke arah si penanya. "Aku bisa cari sendiri." Kirana maju selangkah. Leonard tersenyum. Tangannya mengambil sebuah gaun pendek berwarna hijau jamrud, "Kurasa ini bagus." Kirana merengut. Masa pakaian juga harus diatur? Namun, dia mengakui pilihan Leonard memang bagus. Gaun itu bermodel one shoulder, perpaduan antara sutra dan brokat keemasan yang terlihat mahal. Sekuntum bunga mawar besar dari bahan kain serupa menghiasi bahu, melingkar ke d**a sampai pinggang. "Mentang-mentang warna mataku hijau ya," gumam Kirana. "Ya, karena itu. Tapi ingat, nanti kamu tidak boleh lupa memakai lensa kontak." "Iya, tahu." Kirana mengambil gaun itu dari tangan Leonard. Bahannya terasa sangat lembut, menandakan kualitas sutra yang digunakan. "Kenapa, Baby? Ada yang salah?" "Hmm? Oh, tidak. Aku cuma tidak bisa membayangkan berada di tengah orang-orang sepertimu. Pastinya tidak bersikap seperti normal 'kan?" Kirana menggantung kembali gaun itu di lemari. "Kamu harus membiasakan diri. Akan ada banyak acara seperti ini di agendaku." Leonard tersenyum. "Tapi, untuk apa? Perjanjian kita 'kan cuma setahun? Setelah itu aku akan kembali hidup normal." Leonard tidak menjawab. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dalam waktu satu tahun ini, baik atau buruk. Namun, yang pasti dia akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menikmati kedekatan dengan Kirana. "Sekarang apa? Kamu tidak ke kantor lagi?" tanya Kirana yang sudah berkeliling kamar memeriksa setiap sudut. "Mungkin." Leonard mengikuti pergerakan Kirana dengan pandangan mata. "Tapi, kemarin kamu sudah tidak ke kantor. Memangnya tidak dicariin?" Leonard terkekeh, "Aku baru menyadari sesuatu, kamu senang menggunakan kata tanya 'tapi'. Wanita muda yang penuh rasa ingin tahu." Kirana menoleh keki. Wajahnya merona malu karena dipuji, "Memangnya tidak boleh? Salah ya?" "Aku tidak mengatakan hal itu salah. Aku senang karena wanitaku banyak bertanya, bukan hanya duduk diam seperti pajangan." "Hmm ... Iya deh." Kirana berhenti di depan dinding kaca. Tidak puas-puasnya dia mengagumi langit biru cerah tak berawan. Melihat wanitanya berdiri tak bergerak Leonard menghampiri. Tangannya memeluk pinggang si wanita dari belakang, menariknya mendekat hingga tak berjarak. Kirana menahan nafas. Leonard menyingkap ke sisi rambut ikal yang tergerai menutupi punggung, menampakkan leher jenjang yang menggoda. Leonard menciumi leher itu, membuat pemiliknya mendesah lembut pada setiap sapuan yang terasa. "Ah, tunggu." Kirana menahan tangan Leonard yang hendak menyusup masuk ke dalam baju. "Let me touch you, Baby," lirih lelaki itu. Sesaat berada di tengah peperangan batin, akhirnya Kirana membiarkan Leonard. Sentuhan lelaki itu lebih kepada rasa ingin tahu, bagai penjelajah yang menemukan dataran baru tak bertuan, menyusuri setiap pelosok hingga mampu mengenali dengan mata tertutup. "Cukup, berhenti," pinta Kirana. Leonard yang mulai menyukai bagian lembut itu pun berhenti. Dia menarik tangannya dan membenahi pakaian Kirana. "Aku terlalu kasar?" tanya Leonard. Bagaimana Kirana dapat mengatakan bahwa dia menikmatinya? Wanita itu hanya menggeleng tanpa bicara. Hubungan seperti ini lebih baik dijalani tanpa menggunakan perasaan, atau dia akan menjadi pihak yang menderita lebih banyak kerugian. Karena tidak memperoleh jawaban pasti Leonard memutar tubuh Kirana agar dapat melihat ekspresinya, "Bicaralah, Baby, supaya aku dapat melakukan lebih baik lagi." "Uhm ... cukup baik kok." Kirana hanya menunduk. Leonard mengernyit, "Lihat aku." Kirana mengutuk dalam hati kenapa Leonard tidak melepaskan perkara ini. Tidak puaskah dengan nilai 'cukup baik'?? "Kirana." Leonard mengangkat dagu si wanita dan terpesona melihat wajah yang merona dengan tatapan sayu. "A–apa?" Seulas senyum terkembang di wajah tampan Leonard. Dia terdengar bangga saat berucap, "Kamu menyukainya." Wajah cantik itu semakin memerah. Tidak ada hal yang lebih memalukan daripada tertangkap basah menikmati sentuhan seorang lelaki. "Aku juga menyukainya, Baby. Kamu begitu lembut dan sehalus sutra. Dari sikapmu kurasa belum pernah ada yang menyentuhnya?" selidik Leonard. "Kata siapa?" Kirana berusaha menyangkal. "Kataku barusan." "Kamu asal tebak." "Kalau begitu tidak ada cara lain selain membuktikannya." Leonard tersenyum lebar. Dia menikmati menggoda Kirana. "Tidak! Cukup!" Kirana menyilangkan tangan di d**a. Sepasang mata hijaunya membulat ngeri. Leonard tertawa, "Kamu tidak hanya cantik dan pintar, Baby. Kamu juga menggemaskan. Membuatku ingin menyimpanmu dalam saku." Kirana merengut, "Enak saja! Memangnya aku mainan apa??"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD