"Kita ke mana sih?" tanya Kirana yang penasaran karena mobil yang membawa mereka melaju ke pantai.
"Resor di Kepulauan Seribu," jawab Leonard singkat. Lelaki itu sedang sibuk menciumi wajah dan leher wanitanya.
"Serius?"
"Sebisa mungkin aku akan berusaha jujur pada wanitaku." Leonard senang menatap sepasang mata Kirana yang berbentuk almond. Meskipun sekarang wanita itu telah memakai lensa kontak coklat tua, tapi Leonard tetap kagum.
Kirana menggigit bibir. Ciuman-ciuman Leonard membuatnya gelisah, "Kelakuanmu tidak seperti lelaki yang belum pernah pacaran."
"Mungkin ini naluri lelaki, Baby. Kamu tidak suka?" Leonard menangkup wajah cantik si wanita—yang dia tahu sedang merona—dan mencium bibirnya.
"Mmmh ... Kamu bertanya tapi tidak butuh jawaban atau gimana?" Kirana memalingkan wajah.
Leonard terkekeh, "Entahlah. Biasanya aku mahir menahan diri."
"Uhm ... Gathering-nya sampai jam berapa?" tanya Kirana untuk menghindari ciuman berikutnya.
"Besok pagi."
"Apa? Tapi, aku ... kita tidak bawa pakaian ganti?" Mata Kirana membulat.
"Aku sudah menyiapkannya, Baby."
"Kapan? Kok aku tidak tahu?"
"Baby, gunakan bibirmu untuk hal lain." Leonard tersenyum.
Kirana pun bungkam. Dia bukan tidak menikmati, hanya khawatir hatinya akan terpeleset jika terlalu menikmati. Wanita mana sih yang tidak luluh dimanjakan terus-menerus oleh lelaki tampan?
"Kita sudah sampai tuh," celetuk Kirana.
"Hmm ... Kalau aku tidak tahu, kuanggap kamu sedang menghindariku." Leonard menyelipkan rambut ikal Kirana di belakang telinga.
"Kalau iya?" tantang si wanita.
"Kalau begitu aku harus mengubah strategi. Mungkin kita tidak akan keluar dari mobil sampai aku mendapatkan ciuman." Leonard mengusap bibir Kirana dengan ibu jari.
"Bagiku tidak masalah."
Sikap Kirana membuat darah Leonard berdesir. Sebelumnya dia tidak menyangka sama sekali bahwa penolakan seorang wanita akan membuatnya bersemangat. Dia berpikir kemesraan akan meningkat jika kedua belah pihak memiliki keinginan yang sama. Apakah ini naluri lelaki untuk menaklukkan wanita?
"Sayangnya aku tidak berniat tidur di dalam mobil. Come here, Baby. Give me a kiss." Tangan Leonard menyusup ke belakang leher Kirana dan menariknya mendekat.
"Oh, kamu—"
Tidak sempat protes, Kirana terhuyung ke depan dan jatuh ke dalam pelukan Leonard. Dengan tubuh berada di antara si lelaki dan sandaran bangku, Kirana tidak dapat berbuat banyak. Dia pun pasrah menerima ciuman yang semakin menunjukkan perkembangan ke arah lebih baik.
"Kirana, Baby ... jangan lagi menghindariku, atau aku tidak akan bisa menahan diri," bisik Leonard usai sesi ciuman panas mereka.
"Kamu tidak bisa bicara begitu. Perjanjian dibuat untuk ditepati." Kirana terengah.
"Dan aku akan menepati sebatas kemampuanku. Tapi kuberitahu satu hal, jika kamu menolak permintaanku, apa pun itu, kamu hanya memancingku untuk bertindak lebih jauh. Kita tidak ingin hal itu terjadi, 'kan?" Leonard membelai wajah Kirana.
"Oh, kenapa tidak memperingatkan sebelumnya??" Kirana mendorong Leonard mundur dan duduk tegak. Kemudian dia melanjutkan, "Kalau tahu dari awal aku tidak akan mau menandatangani apa pun denganmu. Atau, karena resiko di pihakku meningkat, aku ingin mengajukan pembatalan. Semua pemberianmu kukembalikan dan kamu membiarkanku pergi."
Leonard memicingkan mata, "Cara kerjaku tidak seperti itu, Baby. Sekali berada dalam tanganku jangan harap kamu bisa lepas."
Kirana melotot, "Coba saja."
Lelaki itu tersenyum, "Kamu melakukannya lagi."
"Melakukan apa??"
"Menantangku."
Ada sesuatu dalam tatapan Leonard yang membuat Kirana bergidik. Dia bergegas hendak membuka pintu, tapi sayangnya terkunci. Wanita itu memandang keluar jendela. Jika dia berteriak ...
Kirana tersentak saat Leonard mengungkungnya. Dia segera berbalik untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Tubuh besar si lelaki menjulang di hadapannya, menutup setiap celah untuk meloloskan diri. Jantung Kirana berdebar sangat kencang. Mustahil untuk bertahan jika Leonard berniat buruk.
"Mau apa?" Kirana memalingkan wajah karena Leonard semakin mendekat.
"Kamu mengharapkan sesuatu?" goda Leonard. Tangan yang kuat mengangkat dagu si wanita.
Kirana menggigit bibir kuat-kuat karena gejolak emosi. Dua kutub yang berlawanan berperang dalam dirinya. Tidak dipungkiri pada satu sisi dia menyukai sikap dominan Leonard, tapi di sisi lain sebagai wanita yang ingin mempertahankan kehormatan dia harus melawan.
"Berhenti melakukan kebiasaan ini, Baby. Kamu menyakiti diri sendiri." Leonard mengusap lembut bibir wanitanya dengan ibu jari.
Kirana pun berhenti. Sebagai akibatnya bibir yang memerah karena digigit itu kini merekah, seolah menggoda lelaki di hadapannya untuk mengambil tindakan.
Sejenak keheningan melingkupi mereka berdua. Meskipun dilanda keinginan untuk mencium Kirana, Leonard masih dapat berpikir jernih. Ada sepercik rasa iba melihat ketakutan yang terbersit dalam sepasang mata indah itu. Dia bukan lelaki b******k. Dia tidak akan melakukan pemaksaan hanya karena menuruti naluri yang terbangkit.
Leonard menghela nafas, "Aku tidak akan mengingkari janji."
Kirana mengejapkan mata. Lega, tapi heran dengan perubahan sikap yang mendadak. Memangnya lelaki bisa membelokkan keinginan yang sudah menggebu-gebu?
"Ingat kata-katamu," desis Kirana.
Setelah berhasil melalui peperangan batin, mereka berdua berjalan menuju dermaga diikuti dua orang pengawal pribadi dan sebuah koper besar. Tangan besar Leonard menggenggam tangan mungil Kirana, memberinya rasa hangat dan aman. Sebuah yacht berukuran sedang sudah menunggu untuk membawa mereka berempat ke pulau. Kirana tertakjub melihat moda transportasi yang biasanya hanya dimiliki orang-orang dengan status ekonomi tinggi.
Pulau yang mereka tuju terlihat menakjubkan di suasana temaram. Tampaknya si pemilik pulau sudah mengatur agar tamu yang datang merasa nyaman dan santai. Lampu-lampu hias menerangi jalan setapak menuju bangunan besar di tengah pulau yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya gathering. Leonard memegangi tangan Kirana erat-erat agar wanita itu tidak terlepas saking asyiknya mengamati sekeliling.
Sekelompok orang sudah berkumpul di tengah aula bersama pasangan masing-masing. Sebagian besar menatap heran ke arah Leonard dan Kirana. Seorang lelaki tampan bertubuh tinggi besar juga menyadari kedatangan Leonard. Dia yang menjadi pusat perhatian semua orang sedang menggandeng seorang anak lelaki berusia lima tahun. Seorang wanita cantik berpenampilan biasa berdiri di sebelahnya.
"Kita salami tuan rumah," bisik Leonard.
"Hah? Oh, ya ...." Kirana terbetot kembali ke dunia nyata.
Berdua, mereka menghampiri pasangan bersama anak kecil tadi. Dari jarak dekat Kirana terpana melihat wajah tampan yang terkesan liar, sepasang mata tajam dengan bekas luka di alis kiri. Lelaki ini berwajah dingin, tapi tatapan itu begitu hangat terhadap wanita di sisinya.
"Leonard, langka sekali melihatmu hadir dalam gathering," sapa lelaki itu.
"Nathan, Angeline." Leonard menyalami tuan dan nyonya rumah kemudian berucap, "Tidak ada salahnya sesekali bersosialisasi. Apa kabar si kecil Rafael? Terakhir kali bertemu kamu masih sangat kecil."
Kirana memperhatikan interaksi hangat Leonard dengan anak kecil bernama Rafael itu. Begitu akrab, tulus, bahkan senyumnya terlihat menyenangkan. Mau tidak mau dia membayangkan Leonard akan menjadi ayah yang baik.
"Tumben kamu bawa seseorang." Angeline mengangguk ke arah Kirana.
"Ya, sudah saatnya, bukan?" Leonard tersenyum.
Nathan mengejek, "Kami sempat berpikir kau tidak suka wanita. Tampaknya aku harus kalah taruhan."
Serta-merta Angeline menendang kaki Nathan disertai pelototan sebagai kode untuk menyuruhnya diam.
Leonard menatap curiga, "Kalian bertaruh atas diriku? Well, selamat untuk pemenang karena aku masih menyukai wanita. Hanya saja selama ini belum menemukan yang tepat."
"Jangan dianggap serius perkataan Nathan. Kamu tahu 'kan dia suka mengerjai orang. Aku saja sering dikerjai." Angeline melontarkan tatapan keki kepada suaminya.
Nathan mengangkat kedua tangan.
"Baiklah, kalian berdua, nikmati satu malam di pulau ini. Dan kuucapkan selamat untukmu, Leonard, juga ...." Angeline menyentuh lengan Kirana.
"Aku Kirana."
"Kirana. Nama yang indah. Semoga hubungan kalian berlangsung—"
"Kami tidak seperti itu," potong Kirana sebelum Angeline bicara lebih jauh.
Sedikit terhenyak, Angeline menatap Leonard meminta penjelasan. Tampaknya Nathan sudah bisa menebak karena lelaki itu tersenyum tipis.
"Kami memang bukan pasangan kekasih," ucap Leonard.
"Oh. Oh, oke. Aku mengerti. Walau bagaimanapun juga, selamat menikmati malam ini." Angeline kembali tersenyum ramah.
"Terima kasih." Kirana membalas senyuman itu.
Nathan menepuk bahu Leonard dan mendekat untuk bicara dengan suara pelan, "Perlakukan wanitamu dengan baik, Kawan. Aku percaya kau tidak seperti yang lain."
"Wish me luck," sahut Leonard.
Begitu basa-basi selesai, Leonard meminta manager resor untuk mengantar mereka ke cottage. Manager melakukan tugasnya dengan cepat dan profesional. Sebentar saja rombongan kecil itu telah meninggalkan bangunan utama.
Angeline menyikut Nathan yang sedang asyik mengacak-acak rambut Rafael.
"Ouch. Ada apa?" Nathan menoleh.
"Coba kuperjelas ... Tadi itu Leonard bersama siapa?"
Nathan tersenyum geli, "Sugar baby."
"Oh ya? Kupikir dia bukan lelaki seperti itu."
"Tidak, Baby Girl. Dia memang bukan pemain. Kurasa ada alasan khusus kenapa Leonard menjalin hubungan dengan wanita muda itu. Yah, setidaknya dia mengambil langkah maju," ujar Nathan.
"Benar juga sih."
"Semua orang pasti akan menemukan pasangan sejatinya, Baby Girl. Seperti aku menemukanmu." Nathan mengecup lembut kening sang istri.
"Ih, gombal. Anakmu lihat tuh." Angeline tertawa kecil.
Nathan melirik Rafael dan berkata, "Mudah-mudahan dia tidur cepat malam ini. Suasana di pulau selalu membuatku ingin—"
"Ssssshhhh ...! Banyak telinga di sekitar kita ...!" desis Angeline.
"Apa yang salah? Aku bicara dengan istriku?" Nathan tertawa.
Sementara itu Leonard dan Kirana sudah berada di cottage yang diperuntukkan bagi mereka. Dua orang pengawal pribadi diantar ke bangunan lain khusus para pengawal dan karyawan peserta gathering.
"Tempat tidurnya hanya satu," gumam Kirana.
"Kamu keberatan kita berbagi tempat tidur?" Leonard mendekati si wanita dan memojokkannya.
"Ya. Untuk mencegah hal yang tidak kuinginkan terjadi," sahut Kirana yang berusaha berkelit.
"Kurasa kita akan menghabiskan malam dengan berkejaran keliling kamar." Leonard tersenyum geli melihat tingkah Kirana yang berjaga-jaga.
"Tadi itu pemilik resor?" Kirana mengalihkan pembicaraan.
"Tadi aku sudah memberitahumu, bukan?" Leonard berhasil memeluk si wanita dan mendorongnya bersandar di dinding. Kedua tangannya menahan tangan Kirana di sisi kepala. Kemudian lelaki itu menunduk dan mencium bibir ranum yang segera merekah untuknya.
"Kamu membuang banyak tenaga untuk sekedar berciuman," lirih Kirana setelah Leonard selesai.
"Cuma olahraga kecil, Baby. Tidak ada artinya dibanding apa yang kudapat." Leonard tersenyum.