Karena tidak mungkin memaksa Leonard—atau dirinya sendiri—tidur di lantai, maka Kirana membangun tembok dari bantal guling di tengah tempat tidur. Daripada tidak ada penghalang sama sekali di cottage bernuansa bulan madu dengan suara deburan ombak dan sayup jangkrik bernyanyi.
Tidur dalam keadaan waspada membuat Kirana merasa tidak nyaman saat terbangun di pagi hari. Tubuhnya terasa kaku. Seolah teringat sesuatu dia segera duduk tegak memeriksa benteng buatannya. Masih utuh. Leonard benar-benar menepati janji untuk tidak menyeberangi batas.
Kirana mengintip dari atas benteng dan melihat lelaki itu masih nyenyak. Wajah tampannya terlihat lembut dan bibir tipis itu sedikit terbuka sehingga menimbulkan kesan menggoda.
"Kalau dilihat-lihat kamu ganteng ... Kenapa masih perlu sugar baby ...? Memangnya nggak ada yang mau ...?" lirih Kirana.
Setelah menekuni garis wajah Leonard selama beberapa saat Kirana memutuskan untuk menyegarkan diri. Semalam dia melihat ada kolam pribadi di depan cottage dan kapan lagi kesempatan untuk menikmatinya kalau bukan sekarang?
Perlahan sekali wanita itu turun dari tempat tidur. Dengan usaha maksimal agar tidak menimbulkan suara Kirana memeriksa koper, apakah kira-kira ada pakaian renang yang dibawa. Jika tidak ada pun sebenarnya tidak masalah. Dia tinggal memakai kaos dan celana pendek seperti para pengunjung kolam renang umum.
"Wow, apa ini?" Kirana menemukan sepotong, maksudnya dua potong pakaian yang dia cari. Pakaian renang two pieces berwarna hitam.
"Seksi banget ...."
Celingak-celinguk memastikan Leonard masih tidur, Kirana masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Begitu melihat bayangan dirinya di cermin dia hampir menangis. Pakaian renang ini terlihat lebih seksi dari bayangannya! Dia pun memutuskan untuk memakai kaos dan celana pendek saja.
Suara debur air yang terdengar sangat dekat membuat Leonard terbangun. Hati-hati sekali dia mengintip dari atas benteng bantal yang dibuat Kirana. Jantungnya berdebar saat melihat tempat tidur sudah kosong. Segera Leonard bangkit dan mencari ke arah sumber suara. Hatinya lega melihat sesosok wanita di dalam kolam pribadi. Dengan rambut ikalnya digelung tinggi, wanita itu terlihat anggun.
"Good morning, Baby. Tidak mengajakku?" Leonard melepas kaos dan sweatpants, menyisakan boxer berwarna hitam.
Kirana tersentak kaget. Dia segera berbalik. Sepasang mata hijau itu terbelalak melihat tubuh si lelaki yang berbentuk bagus, "Kamu masih tidur nyenyak, masa kubangunkan?"
Permukaan air beriak saat Leonard masuk ke air. Matanya memperhatikan Kirana bergerak menjauh. Wanita itu terlihat sangat tegang sampai Leonard merasa iba.
"Jangan takut. Aku tidak akan melakukan hal aneh." Leonard bersandar di tepian. Bibirnya tersenyum saat menyambung, "Kecuali kamu menginginkannya."
"Siapa mau?" gerutu Kirana.
Leonard menoleh dengan senyum geli di wajah, "Kurasa tidak ada sugar baby yang seperti kamu. Juga tidak ada lelaki yang akan membiarkan baby-nya terus melawan. Hubungan kita aneh, bukan?"
Kirana menjaga tubuhnya tetap berada di bawah air, "Masalah buatmu? Kalau hal itu jadi masalah, kamu selalu bisa membatalkan perjanjian kita kok."
"Kamu terlalu pintar, Baby. Sayangnya aku tidak pernah membatalkan perjanjian apa pun. You're stuck with me for one year."
Wanita bermata hijau itu melengos. Memang sulit menemukan celah dalam perjanjian yang disusun teramat rapi tersebut. Diam-diam dia melirik Leonard. Apakah wanita lain akan bangga setengah mati jika lelaki ini memilih mereka untuk menjadi sugar baby?
"Aku tidak perlu panggil kamu 'daddy', 'kan?" tanya Kirana dengan tatapan sayu ke arah cakrawala.
"Tidak. Aku bukan ayahmu." Leonard tersenyum geli.
"Hmm ... ya, baguslah. Karena aku juga tidak mau menganggapmu ayahku."
Leonard menoleh karena penasaran. Sebenarnya dia sudah menyelidiki latar belakang Kirana dan mengetahui bahwa wanita muda ini sebatang kara, sejak bayi ditinggal di depan pintu panti asuhan. Maksud hati ingin bertanya, tapi dia malah terpukau oleh apa yang tampak di depan mata. Cahaya lembut matahari pagi membuat Kirana terlihat berkilau.
"Baby, lihat aku." Leonard mendekati si wanita.
Kirana menoleh. Sepasang mata hijaunya terlihat begitu cerah hingga nyaris pucat. Dia yang sedang menikmati pemandangan pagi super indah tanpa sadar membiarkan si lelaki mendekat.
"Cantik sekali," lirih Leonard.
Kirana tersenyum tipis, "Aku beruntung."
"Aku yang beruntung menemukanmu."
"Eh, mau apa??" Seolah baru tersadar dari lamunan, Kirana tersentak kaget saat Leonard menunduk untuk menciumnya.
"Kissing my baby."
"Tapi, aku sedang tidak mau!" Kirana mendorong Leonard mundur.
"Semakin kamu melawan, semakin aku ingin membuatmu menyerah."
"Aku punya hak untuk menolak!"
"Tidak setelah kita menandatangani surat perjanjian."
Terkungkung di tepian kolam oleh sepasang lengan kuat, Kirana memalingkan wajahnya yang merah padam karena emosi. Seandainya saat itu dia tidak pernah bertemu Leonard! Seandainya tidak ada perjanjian tertulis yang entah bagaimana telah dia tanda tangani! Semua itu tidak terjadi kalau Desi tidak mengundangnya ke apartemen!
Perlawanan Kirana melemah ketika menyadari situasi ini bukan sepenuhnya kesalahan Leonard. Dia tidak boleh melampiaskan kemarahan dan kekecewaan pada lelaki ini. Perlahan Kirana mendongak untuk menatap Leonard, membuat lelaki itu semakin terpesona.
"Menyerah?" Leonard tersenyum.
"Katamu di awal aku cuma perlu menemani ke mana pun kamu pergi, tidak ada hal tentang bermesraan?" tanya Kirana.
"Betul."
"Lalu kenapa sekarang kita harus berciuman?"
Leonard menatap dalam. Apa yang dikatakan Kirana benar. Tidak ada hal seperti itu dalam perjanjian. Dia terdorong oleh keinginan untuk menyentuh wanita pertama yang tidak memancing fobianya.
"Kamu tidak suka?" Leonard merasa sayang jika harus melepas kesempatan ini.
Kirana mengerucutkan bibir, "Bukan masalah suka atau tidak, tapi termasuk dalam perjanjian atau tidak."
Jawaban itu membuat Leonard terdiam sesaat. Dia menimbang apa untung ruginya memaksakan pendapat.
"Kamu benar. Hal itu tidak ada dalam perjanjian." Leonard mengalah.
Diam-diam Kirana bernafas lega.
"Tapi perjanjian itu fleksibel dalam arti dapat berubah atas kesepakatan bersama seiring waktu berjalan," imbuh Leonard.
Mata Kirana membulat, "Tidak mungkin."
"Kamu harus membaca semua tulisan dengan teliti sebelum menandatangani apa pun, Baby. Meskipun itu hanya nota pembelian baju di toko."
"Dasar penipu," gerutu Kirana.
Leonard tergelak, kemudian ekspresinya kembali serius saat bicara, "Katakan kamu tidak suka ciumanku."
Bibir Kirana terbuka, kemudian menutup. Kedua alisnya bertaut tanda sedang berpikir keras. Haruskah dia menjawab jika jawabannya tidak ada yang tepat?
"Atau kamu sedikit lupa bagaimana rasanya? Perlu kuingatkan lagi?" Leonard tersenyum.
"A–aku ingat ... Biar kupikirkan dulu."
Lelaki itu menahan senyum. Meskipun memiliki pemikiran tajam, tapi Kirana tetaplah seorang wanita muda yang tidak kebal terhadap afeksi lawan jenis. Dia yakin dengan pendekatan terus-menerus pada akhirnya wanita bermata hijau ini akan menyerah.
"Hari ini kita bisa memilih, bergabung bersama peserta gathering lain atau menghabiskan waktu berdua," ucap Leonard. Dia tidak lagi mengungkung si wanita melainkan bersandar di tepian.
Pikiran Kirana melayang ke arah lelaki pemilik resor yang tampan dan memberi kesan dingin nan menyeramkan. Membayangkan bertemu dengan lelaki tampan yang memiliki bekas luka di alis kiri itu membuat jantungnya berdebar. Namun ... ada istri yang cantik dan anak lelaki di sisinya ...
Ah, apa yang dia pikirkan? Masa dia tertarik dengan lelaki beristri? Tidak boleh! Dia bukan pelakor!
Kirana melirik ke arah lelaki yang berada di sebelah, hanya untuk terhenyak karena mengetahui Leonard juga sedang memandangi dirinya. Kirana mengalihkan pandangan dengan anggun padahal dadanya bergemuruh.
Sial.
"Bagaimana?" tanya Leonard.
Sial. Kenapa lelaki-lelaki yang dia temui beberapa hari belakangan memiliki level menarik di atas rata-rata? Kenapa orang-orang seperti ini tidak dia temui saat di panti asuhan?
"Baby? Sepertinya pikiranmu sedang sibuk?" Leonard mencondongkan tubuh ke arah Kirana tanpa menyadari tindakannya membuat wanita itu meleleh.
"Sarapan dulu deh. Aku tidak bisa berpikir dengan perut kosong. Di mana kita makan?" elak Kirana.
"Kita bisa minta restoran mengantar kemari."
"Ide bagus. Kakiku lemas karena lapar. Aku pasti tidak bisa berjalan sampai ke restoran." Kirana memasang wajah memelas.
"Oke. Sebaiknya kita naik sebelum kamu pingsan di sini," ucap Leonard.
Belum sempat Kirana menjawab, Leonard sudah berinisiatif menggendongnya keluar dari kolam. Kedekatan mereka membuat Kirana dapat merasakan otot-otot tubuh lelaki itu bekerja dengan sempurna.
"Aaahhh! Hati-hati!" Kirana menjerit saat Leonard hampir terpeleset. Kedua lengannya memeluk leher si lelaki erat-erat.
Leonard terkekeh, "Bisa takut juga, Baby-ku?"
"Bisa lah! Kamu pikir aku wanita super, apa??" sergah Kirana.
"Mengingat betapa pintarnya kamu menjawab kata-kataku, aku seringkali lupa kalau kamu manusia biasa." Leonard membopong wanitanya ke dalam cottage, meninggalkan jejak air di atas lantai kayu.
"Ugh ... Kasihan housekeeper-nya harus membersihkan kekacauan yang kita ... Bukan! Kekacauan yang kamu buat!" Kirana menatap lantai.
"Tips yang kuberikan akan menutupi rasa lelah mereka, Baby. Sekarang saatnya mengurusmu." Leonard terus berjalan ke kamar mandi.
"Aku bisa sendiri!"
"Kamu harus mendampingiku di mana pun aku berada. Ingat?"
Sontak Kirana merengut, "Bahkan saat di kamar mandi??"
"Exactly, Baby." Hati-hati sekali Leonard menurunkan Kirana di bawah shower.
Karena belum pernah masuk ke hotel mana pun, Kirana terbengong melihat penampakan shower beserta keran-keran yang membingungkan. Penasaran, dia membuka keran di tengah. Segera saja air dingin memancar ke wajah mereka.
"Hei, atur dulu suhu airnya." Leonard memutar kenop yang tersedia ke arah kiri dan perlahan air berubah jadi hangat.
"Ribet banget sih? Lebih gampang pakai gayung dan ember," gerutu Kirana untuk menutupi rasa malu.
"Lepas pakaianmu."
Kirana terkesiap saat tangan Leonard meraih tepi bawah kaosnya. Dia memukul tangan itu keras-keras.
"Ouch! Aku mau membantumu, Baby."
"Tidak boleh!" Kirana mendekap tubuh.
"Oke. Baiklah. Kalau begitu aku duluan. Bergabunglah kalau kamu mau." Leonard tersenyum.
Kirana memekik tertahan melihat lelaki itu melepas boxer-nya. Dia segera berlari keluar dari kamar mandi. Sumpah, demi apa pun matanya masih suci dan dia tidak ingin membuatnya ternoda dalam waktu dekat.
"Sabar Kirana ... Satu tahun nggak akan terasa kalau dijalani dengan hati ringan," keluh Kirana yang memilih untuk duduk meringkuk di teras.
"Satu tahun ... sampai gue punya cukup simpanan untuk berdiri sendiri ...," desahnya.