EMPAT

1481 Words
CLARISSA   Aku sengaja tak menyalakan AC mobil. Bajuku sudah basah semua, bisa-bisa nanti aku demam. Setelah sampai rumah aku langsung berlari ke kamarku. Mandi air hangat dan berganti baju. Hari ini random sekali. Bisa-bisanya aku mengomel pada seseorang yang baru ku kenal tadi pagi. Padahal kalau ia tidak memarahi Bhagas, mungkin aku akan menyukainya. Ia tinggi dan tampan, tingginya mungkin sekitar 185. Dan ternyata ia jauh lebih muda dari yang kubayangakan. Kukira ia sudah berumur hampir 40, tapi tampangnya masih menunjukan kalau umurnya sekitar awal 30an. Bagaimana bisa ia sudah punya anak berumur 7 tahun? Ia pasti nikah muda. Oh s**t, bisa-bisanya aku memikirkan seorang pria yang sudah menikah. Aku keluar dari kamar dan menonton TV, hujan tidak berhenti padahal hari sudah sore. Aku mendengar suara mobil, mungkin papa atau mama pulang. “Sa, kamu udah pulang?” Seru papa dari arah dapur. Papa pasti masuk dari pintu garasi. “Iyaa, Pa. Papa mau kopi?” Tanyaku. “Boleh, Sa. Papa ganti baju dulu.” Aku segera menuju dapur dan membuatkan kopi untuk papa, aku meletakkannya di meja bar. “Mama mana, Sa?” Tanya Papa saat keluar dari kamar. “Belum pulang, Pa!” “Caca?” Tanya Papa. “Caca?” Tanyaku heran. Marsha, adik perempuanku yang sedang kuliah di Bandung. “Iya, dia telfeon papa katanya mau pulang hari ini!” “Duh, ujan reda aku keluarin mobil ah!” “Kamu tuh ditanya soal adeknya, malah ngomongin mobil!” “Engga, Pa. Kalo Caca pulang garasi kan pasti penuh. Rumah kita kan cuma muat 3 mobil. Garasi 2 teras 1. Itu mobil aku paling dalem. Besok pagi gak bisa keluar nanti, jadi mending mobil aku aja yang diparkir di luar.” jelasku. “Mau ke mana emang pagi-pagi?” Tanya Papa. “Ngajar lah, Pa. Aku kan guru!” “Sabtu, Sa. Besok sabtu. Mau ngajar siapa kamu?” “Oh iyaaa!” “Dasar!!” Tak berapa lama suara mobil terdengar lagi, lalu muncul Mama. “Duh ujan gila banget yaa. Petirnya apa lagi. Mama ampe ngeri sendiri!” kata Mama saat muncul. “Udah Ma ganti baju sana. Bau asem!” kata papa. Mama mencubit lengan papa lalu masuk ke kamar. “Sa, telefon Caca deh. Bilang bawa pizza gitu. Papa ngidam!” kata papaku. “Yeee, mana ada cowok ngidam!” kataku. Tapi langsung menelfon Marsha.   Marsha langsung mengangkat telefonnya “Kenapa, Kak?” “Kamu di mana, dek? Papa mau pizza katanya.” “Masih di jalan. Wah mau pizza? Yaudah bentar aku beliin.” “De, kakak mau burger dong.” “Duitnya gantiin lohh!!”  “Siaap!” kataku. Lalu mematikan telefonnya.   “Sa, kamu gak mau tinggal di Cimanggu city aja?” Tanya Papa. Cimanggu City adalah nama komplek perumahan di mana rumah yang dibelikan Alec berada. “Papa ngusir aku?” Tanyaku. “Yee kamu mah sensitif.” jawab Papa. “Ya abis bilangnya gitu!” “Engga, sayang loh rumah gak ditempatin. Semua udah lengkap gitu juga.” “Mampir ke sana aja aku masih ngeganjel Pa. Apalagi tinggal di sana.” jawabku. “Kontrakin, dapet duit deh kamu!” kata papaku. Ia memang hobi becanda. “Enak aja. Rusak semua nanti barang-barangnya!” “Tapi dapet duit, Sa. Kan mayan.” “Gak mau akuuuu!!” Kemudian mama muncul dari kamar, sudah mandi sepertinya. “Kenapa sih teriak-teriak gitu, Sa?” “Itu, masa Papa nyuruh rumah di Cimanggu dikontrakin.” “Dari pada dikontrakin mending dihuni lah sama kamu.” seru mama. “Nah, Papa bilang gitu Ma awalnya!” kata papa. “Ah samanya. Pada ngusir aku bukan?” Kataku. “Kenapa sih? Rame amat?” Seru Marsha muncul dari pintu samping. Hujan terlalu deras sehingga kami tak mendengar kedatangannya. “Papa sama Mama, mau ngusir kakak masa dek!” kataku. “Yeee gitu amat. Aku aja masa mau pulang dipalak pizza sama burger dulu. Wuuuu!!” seru Marsha. “Udah pindah yuk ke ruang tengah, masa mau makan di meja bar.” kata mama. “Enak Ma di meja bar!” kata Marsha. Meja bar yang sedari tadi kami maksud adalah sebuah meja kecil panjang yang memisahkan dapur dengan ruang makan, meja ini dilengkapi kursi-kursi tinggi dan di atasnya banyak toples makanan, jadi enak kalau dipake nongkrong bareng keluarga sambil ngemil. “Sempit tapi Ca.” Kemudian kami semua pindah ke ruang keluarga, aku menyambar toples isi potato chips dan membawanya. “Gimana Dek, kuliah?” Tanya Mama “Doain Ma semester ini beres, biar cuma tiga taun setengah!” kata Marsha. “Kuliah mah jangan cepet-cepet kaya kakakmu Ca. Entar gak punya duit loh pas lulus, susah cari kerja. Gak bisa bohong soal duit praktikum lagi.” Kata Papa. “Ah kakak beres kuliah langsung dapet kerja kok, di freeport lagi!” seruku. “Iyaa cuma setaun. Terus banting setir jadi guru SD.” kata papaku meledek. Yaa, dulu aku sempat bekerja di freeport. Aku lulusan ITB jurusan Teknik Kimia. Begitu lulus aku diterima bekerja di freeport, hampir setahun lebih kemudian pindah ke sini karena kontrak kerjanya habis dan akan menikah. Namun nasib berkata lain. Alec meninggal karena kecelakaan, ditabrak truk yang ugal-ugalan sebulan sebelum hari bahagia kami. Dulu aku sempat ingin melamar kerja lagi ke freeport karena ingin melarikan diri dari semua ini, namun mama memaksaku untuk tetap stay di Bogor. Kata mama dalam kondisi seperti itu aku harus dikelilingi oleh orang-orang yang kusayangi. Bukannya pergi dan menyendiri. “Aku nanti kerja di mana ya, Pa?” Tanya Marsha. “Terserah kamu De. Jurusan Mikrobiologi mah banyak pilihannya ko.” jawabku. “Kalo S2, boleh gak?” Tanya Marsha. “Kamu mau S2? Mama setuju!” kata mamaku. Lalu sampai malam kamu mengobrol dan tertidur di sofabed ruang keluarga.   **     Pukul 3 sore. Aku benar-benar bosan seharian ini di rumah. Marsha pergi bersama temannya. Mama masih di butik. Papa sedang asik di kebun samping. Kemudian aku teringat bahan yang diberi Kinan, aku memutuskan untuk pergi ke tukang jahit. “Pa, Sasa keluar yaaa!!” Seruku. “Hati-hati!” sahut Papa. Aku menyetir mobil ke arah butiknya mama. Punya mama desainer kok gak dimanfaatin? Hahaha!! Sesampainya di butik aku masuk dan tersenyum pada Mbak Mia, kasir yang berjaga di depan. Dan beberapa pegawai mamaku juga tersenyum padaku. Aku langsung masuk ruang kerja mama. “Maaa!” “Yaa ampun, Sa!” kata mama sembari terkejut melihatku. “Mama ngapain?” Tanyaku. “Gambar. Ini ada yang mau nikah minta dibikinin dress buat after party. Kamu ngapain ke sini?” “Minta bikinin baju!” “Dihh, gaya amat!” “Ini ma, Kinan mau nikah. Aku jadi bridesmaid, biasaaa.” “Mau kaya gimana kamu?” Tanya mamaku sambil mengeluarkan kertas baru. “Ini liat dulu bahan dari Kinannya. Baru cocokin modelnya enakan gimana.” kataku seraya menyerahkan paperbag berisi bahan baju. “Ini mah diapain juga bisa, bagus bahannya!” kata mama setelah mengecek bahan yang kuberikan. Kemudian aku menjelaskan konsep baju yang kuinginkan pada mama. Mama langsung menggambarnya dengan jari-jarinya yang lincah. “Mending pendek se-lutut apa panjang pake belahan Ma?” Tanyaku. “Panjang aja, belahannya sepaha yaa?” Kata mama. “Tinggi amat!” kataku. “Gak apa-apa, badan kamu bagus ini. Kakinya panjang, pamerin dikit gak apa-apa!” kata mamaku. Aku menurut saja. Mamaku lebih ahli soal begini. Selanjutnya mama mengukur badanku. “Kapan nikahnya?” Tanya mama. “Lupa aku, kayaknya dua bulan deh.” jawabku. “Okee deh, mama suruh si Kila kerjain punya kamu nanti.” “Gak bisa sama Rere aja ma? Aku lebih suka hasil kerjaan Rere.” kataku. “Yee bawel, bayar loh yaa!” kata mama. “Kalo bayar mah aku mending ke Tex Saverio, Ma!” “Wuu gaya, kaya bisa aja bayarnya!” “Eh tapi ma ada loh dress nya Tex Saverio yang keren, mama bikin gitu bisa gak?” Tanyaku. “Plagiat dong, Sa. Gak mau ah!” jawab mama. “Engga ma, terinspirasi.” kataku lalu menunjukan dress yang kumaksud dari ponselku. “Ribeeeet, Sasa. Buset daah. Kamu mau jadi bridesmaid apa mau jadi bride-nya?” Tanya mama. “Ya elah maaaaa,” jawabku “yaudah deh aku pulang yaaa!” “Iyaa, bentar lagi juga mama pulang kok!” “Daah, Maaa!” kataku setelah mengecup pipi mama.   Aku tidak langsung pulang, aku butuh buku baru. Jadi kuputuskan untuk ke gramedia sebelum pulang. Setelah memilih-milih buku hampir 2 jam. Aku memutuskan membeli 3 novel dan 1 buku psikologi anak. Mengingat sekarang aku sudah jadi guru wali untuk Bhagas. Aku harus belajar psikologi, sepertinya. Saat sedang mengantri, aku menoleh karena ada yang menepuk punggungku. Dan ternyata Marco. Pak Marco tepatnya. Ayahnya Bhagas. “Miss Clarissa?” Sapanya. Suaranya berat, tapi enak didengar. Syahdu gituuuu. “Eh iya, Pak Marco!” kataku. “Ga Lo-lo-an lagi?” Tanyanya dengan nada becanda. Seketika aku malu. Yaa, terakhir bertemu dengan orang ini aku memarahinya karena memarahi anaknya. Hahahahaha, pusing kan? Pokoknya begitulaah. “Maaf yaa, Pak.” kataku. “Iya, gak apa-apa. Gak usah manggil Pak. Saya belum setua itu buat dipanggil bapak” katanya. “Oh okeee!” Kemudian tiba giliranku di kasir, aku meletakkan buku yang akan kubeli di meja kasir. “Ini aja ya bu?” Tanya kasir. “Iya, Mbak!” jawabku. “Sekalian ini Mbak!” aku menengok ke belakang dan melihat Marco meletakkan dua buah kanvas dan beberapa cat air. “Ehh?” Kataku bingung. “Sekalian aja sama saya!” katanya padaku. “Buku yang 4 itu pisah ya mbak!” katanya pada kasir. Aku terpaksa menunggu Marco selesai membayar karena bukuku ada padanya. “Berapa tadi bukunya?” Tanyaku saat ia menyerahkan plastik berisi buku milikku. “Gak usah, that’s on me!” “Duh seriusan, mana tadi struknya?” Kataku sambil mencari dompet dalam tasku. “Udah gak apa-apa. Serius!” katanya. “Oke, kalo gitu. Terima kasih yaa!” kataku, enggan berdebat lebih panjang. Menutup kembali tasku. “Kamu sendiri ke sini?” Tanyanya. “Iya, kenapa emang?” “Kita ngopi dulu, bisa? Kamu guru wali-nya Bhagas. Saya rasa saya harus kenal kamu. Dan kayaknya perkenalan kita pas pertama gak berjalan lancar.” katanya. Aku berpikir sejenak. Well, aku belum mau pulang. Sebenarnya habis dari gramedia aku berencana ke salon. Tapi yasudahlah. “Oke, boleh!” “Ayok!” serunya. Mengajak ku ke sebuah tempat ngopi yang cukup terkenal yang terdapat di Mall ini. Dia memilih kursi di pojokan khusus 2 orang. Setelah meletakkan barang bawaannya, ia berdiri. “Mau tunggu sini apa ikut pesen?” Tanyanya “Ikut pesen aja!” Setelah memesan kami kembali ke meja pojokan itu. Aku diam. Bingung harus bicara apa. Dan dia pun diam. Mungkin sama bingungnya. Aku diam sambil menatapnya. Matanya berwarna cokelat muda, menyenangkan. Rambutnya rapi. Duduknya tegak. Mungkin karena tegang atau apa. Well, dia sangat tampan. Matanya indah, hidungnya mancung, bibirnya sexy dan alisnya.... alisnya sangat tebal. Ohhh. s**t Clarissa!!!! Dia pria yang sudah menikah.   *** *** TBC    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD