TIGA

1361 Words
MARCO   Madam Patricia kembali, seseorang mengikutinya masuk ke ruangan. Aku melihat seorang wanita muda yang sangat cantik. Lebih baik ia jadi model daripada jadi guru. Matanya bulat, hidungnya mancung dan bibirnya penuh. Tingginya melebihi Madam Patricia, kulitnya putih dan rambut hitamnya terurai sebahu. “Pak Marco, di sini saja!” Ujar Madam Patricia kepadaku, menunjuk sofa di belakang kursi yang kududuki. Aku segera beranjak untuk duduk di sofa tersebut. Di seberangku Madam Patricia duduk dan di sofa kiri khusus 1 orang, duduk Miss Clarissa ini. “Ini Miss Clarissa, Pak Marco. Kenalin.” Kata Madam Patricia. Aku mengulurkan lenganku. “Marco!” Seruku. “Clarissa!” Sahutnya sambil menyambut tanganku. Beberapa detik berjabat tangan dengannya, jujur tangannya sangat halus, suaranya juga bahkan sangat merdu. “Nah, Miss Clariss coba ceritakan lagi laporan yang disampaikan ke saya kemarin!” Kata Madam Patricia. “Emm... Bhagas mau saya ajak ngobrol. Bahkan hari pertama saya ketemu Bhagas dia sempet nanya duluan ke saya dan saya sempet main keyboard bareng sama dia. Hari Rabu kemarin kita lomba gambar dan dia juga cerita kalau ayahnya seorang dokter.” Jelas Clarissa. Aku shock mendengarnya. Bhagas mau main keyboard bersama orang lain? Bukankah ia sangat tidak mau diganggu kalau sedang main keyboard atau piano? Dan menggambar? Bhagas hanya mau menggambar bersamaku. Dengan ibuku saja dia tidak mau. “Benar itu Miss Clarissa?” Tanyaku memastikan. “Iya benar, Pak Marco. Bapak bisa tanya sama Bhagas kalau tidak percaya!” Jawabnya tenang. “Tapi tadi Bhagas bilang kalau dia gak tahu siapa Anda. Dia bahkan gak tahu nama Anda!” Seruku. “Saya memang belum menyebutkan nama saya. Saya belum bilang sama Bhagas kalau saya guru wali dia yang baru. Saya mau kenalan sama dia dulu. Saya pengen jadi temennya dia, bukan jadi gurunya dia. Karena dia gak ada di kelas saya dan saya gak mengajarkan IPA ke Bhagas.” Jawabnya tegas. Suaranya terdengar tajam, tapi tetap merdu. Ya Tuhan, baru kali ini aku menemukan wanita seperti ini. “Tapi, harusnya Anda kasih tahu Bhagas. Biar dia kenal dengan Anda,” “Cukup dia tahu saya guru di sekolah ini, Pak Marco. Selebihnya saya hanya ingin menjadi temannya. Karena yang saya perhatikan dia gak punya teman. Saya tahu saat jam istirahat Bhagas hanya di kelas makan makanannya. Di kelas Bhagas gak ada interaksi dengan teman kelasannya. Makanya saya deketin dia untuk jadi temannya.” “Tahu dari mana Anda?” Tanyaku. Guru cantik ini keliatannya sok tahu sekali. “Saya sengaja setiap pergantian kelas melewati kelasnya Bhagas, Pak. Saya juga kalau istirahat biasanya lewat kelasnya 2 kali. Cuma mau liat kegiatannya Bhagas. Saya sengaja cuma nemenin dia saat hari Senin dan Rabu. Saya gak mau terlalu intens ketemu tiap hari, takut dia ngeri sama saya. Cukup saya liat dia dari jauh dan pelajarin sosoknya Bhagas. Nah nanti siang pulang sekolah saya juga mau ketemu dia.” Jelasnya lagi. Oke, harus ku akui kalau Miss Clarissa ini punya metode yang bagus dalam mendekati Bhagas. Apalagi sampai Bhagas bisa cerita kalau aku seorang dokter. “Oke Miss Clariss, saya setuju kalau Anda yang jadi guru wali Bhagas. Tapi kalau Bhagas laporan sama saya dia ngerasa terganggu, karena Anda sendiri yang tidak mau bilang kalau Anda guru wali Bhagas yang baru. Saya terpaksa minta Madam Patricia mengganti Anda.” Kataku. Miss Clarissa hanya tersenyum dan mengganguk. Shit, senyumannya manis sekali. “Oke jadi gitu yaa, Pak Marco.” Kata Madam Patricia. “Iyaa, saya pamit yaa. Permisi!” Aku langsung menuju parkiran dan berangkat ke rumah sakit. Hari ini tidak ada jadwal operasi, kecuali operasi dadakan seperti tadi subuh. Jadi hari ini bisa dibilang aku santai dan hanya perlu menjenguk keadaan pasien-pasienku pasca operasi. Sudah pukul 11 siang dan hujan turun sangat deras. Aku berniat berangkat menjemput Bhagas karena ini hari jumat, ia pulang cepat. Tapi hujan dari tadi tak kunjung reda, aku bisa kuyup jika berlari ke tempat mobilku terparkir. Bhagas pasti menunggu. Aku belum menelefon Pak Tono dan Bi Minah untuk menjemput Bhagas. Aku harus menjemputnya hari ini. Akhirnya kuputuskan untuk meminjam payung milik seorang perawat. Aku langsung berlari menuju mobilku dan segera mengarahkannya ke sekolah Bhagas. Begitu sampai di sekolah Bhagas aku langsung menuju Ruang Seni tempat Bhagas biasa menunggu, memakai payung tentunya karena hujan sangat deras. Belum sampai ke Ruang Seni. Aku menemukan Bhagas sedang bermandi hujan di taman samping sekolahnya, berlarian, berputar-putar dan melonjak-lonjak sambil tertawa bersama seorang yang baru ku kenal tadi pagi. Aku langsung menghampirinya. “Aga!! Kok main hujan sih?!! Kenapa gak tunggu ayah di kelas seni kayak biasa!!” Seruku marah. Yaa, aku marah. Bisa-bisanya hujan sederas ini ia malah bermandi hujan. Dan Demi Tuhan, Miss Clarissa. Apa yang ia pikirkan. Dia sudah dewasa, masa ia mau bermandi hujan dengan anak umur 7 tahun. “Ayaah.....!!” Seru Bhagas. Seperti tidak mendengar kemarahanku. Bhagas berlari menghampiriku, memeluk pinggangku sehingga celana dan bajuku basah. “Kamu apa-apaan sih, ujan-ujanan gini. Kalau sakit gimana?” Tanyaku dengan nada marah. Bhagas langsung melepas pelukannya, aku menariknya menuju koridor kelas yang kering. Bhagas diam saja, ia hanya menunduk. “Bhagas masuk ruang seni sekarang ya! Nanti ayahnya nyusul.” suara lembut tiba-tiba terdengar, tanpa merespon Bhagas langsung berlari ke ruang seni, menuruti titah guru gila ini. “Lo tuh gimana sih! Mau anak lo seneng gak? Masa ujanan doang lo marahin!!” Aku tersentak mendengar suara Miss Clarissa. Ia sudah tidak bersikap formal seperti tadi pagi. Aku melihatnya dari atas sampai bawah, ia telanjang kaki, dan basah kuyup, kemeja putihnya yang basah memperlihatkan bagian dalam tubuhnya yang sexy. Oh s**t!! “Bhagas seneng mandi hujan. Lo gak liat dia ketawa kayak tadi?” Tanyanya, nada suaranya sangat tajam. “Banyak cara bikin Bhagas seneng, tanpa ada resiko sakit!!” Jawabku. “Kapan terakhir lo liat dia ketawa kaya tadi?” Aku diam tak menjawab pertanyaannya. “Jawab!!” Serunya. Aku diam. Hanya menatap sepasang matanya yang tajam. s**t aku mungkin bisa mati hanya dengan tatapannya. “Lo gak liat. Anak lo langsung mati kutu gitu sekarang? Padahal dia teriak seneng nyambut lo pas lo dateng!” Aku langsung tersentak mendengar perkataannya. Aku menoleh memandang ke belakang, lalu berjalan menuju ruang seni. Bhagas ada di sana, menggigil dan seperti menahan tangis. Langsung saja aku berlutut di hadapannya. “Aga. Maafin ayah yaa?” Kataku. Bhagas tak menjawab, ia hanya mengangguk. Namun ekspressi sedihnya tak berubah. “Bhagas ikut Miss yuk. Ganti baju!” Miss Claarissa yang baru saja menyusul langsung menarik tangan Bhagas pelan dan membawanya. “Tunggu sini aja lo!” Katanya padaku, sinis. Tidak sampai 10 menit Bhagas dan Clarissa kembali. Bhagas memakai seragam olahraga dengan handuk yang menyelimuti bahunya. Clarissa masih dengan pakaian yang sama, ia menjinjing tas plastik berwarna putih. “Nih, baju basahnya Bhagas. Cepet pulang gih. Dalemannya masih basah semua itu!” Kata Clarissa sambil menyerahkan plastik itu padaku. Aku mengambilnya. “Mana tasnya Bhagas?” Tanyaku. “Bentar tunggu sini!” Ia lalu berjalan menuju koridor dekat taman bermain di mana mereka tadi bermani hujan. Begitu kembali ia menjinjing tas Bhagas dan tas miliknya sendiri. Ia sudah memakai lagi high hells miliknya. Miss Clarissa langsung menyerahkan tas itu kepada Bhagas. “Bhagas, sepatunya udah Miss masukin ke dalem tas yaa.” Katanya pada Bhagas, suaranya lembut. Berbeda saat tadi ia berbicara denganku. Dasar wanita labil. “Lo gendong aja dia. Biar kakinya gak kotor.” Katanya padaku, dengan nada yang tidak ramah. Aku langsung menggendong Bhagas tanpa membalas perkataanya. “Gue duluan!” Katanya berjalan mendahuluiku. Aku berjalan di belakangnya. Jujur saja dia sangat seksi dengan baju yang basah semua itu. Dan dari belakang sini, bokongnya bahkan terlihat indah. Aku melihatnya berjalan menerobos hujan dan masuk ke sebuah mobil yang terparkir di parkiran khusus guru. Semenit kemudian mobil itu langsung melaju keluar. Berjalan di bawah payung aku menggendong Bhagas untuk sampai ke mobil, lalu menempatkannya di bangku sebelahku baru aku berjalan ke arah bangku kemudi. “Aga!” “Iya Ayah?” “Maafin Ayah yaa. Tadi marahin Aga.” Iya hanya mengangguk, namun tersenyum. “Serius, Aga. Maaf. Ayah marah soalnya Ayah kaget liat Aga ujanan. Ayah takut Aga sakit.” “Iya Ayah. Gak apa-apa!” “Mau maafin Ayah?” Tanyaku. “Iya, Aga maafin kok, Yah!” jawabnya. “Thank you, son.” Kataku seraya mengecup puncak kepalanya sekilas. “Aga?” “Iya Ayah?” “Miss Clarissa tuh orangnya gimana sih?” “Miss Clarissa siapa Yah?” “Itu yang tadi marah-marah sama Ayah. Namanya Miss Clarissa!” Demi Tuhan. Clarissa!! Ia bahkan belum memberitahukan namanya pada Bhagas. Tapi Bhagas mau saja mandi hujan dengan dia. Sinting. “Ohh, Aga gak tahu kalau namanya Miss Clarissa. Aga mau nanya tapi malu.” Serunya. “Jadi, Miss Clarissa itu orangnya gimana?” Tanyaku lagi. “Baik. Baik banget. Tadi pas nunggu Ayah, Aga dikasih cokelat. Pas hujan, Miss Clarissa nanya Aga udah pernah mandi ujan belum. Aga jawab belum. Terus Miss Clarissa tanya lagi mau coba apa engga. Aga mau. Yaudah deh mandi ujan.” “Aga seneng main sama Miss Clarissa?” “Seneng, Ayah. Miss Clarissa baik. Gak kaya Miss Anna, bawel!” Baru kali ini Bhagas menjelaskan seseorang lebih dari satu kalimat. Oke, walaupun si Clarissa ini menyebalkan dan tukang marah-marah. Rasanya aku setuju ia menjadi guru wali-nya Bhagas. *** *** TBC        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD