LIMA

1037 Words
CLARISSA   “Kayaknya saya harus jujur deh sama kamu.” kata Marco memecah keheningan. “Jujur? Soal?” Tanyaku. Kemudian nama Marco di panggil. Pesanan kopi kami selesai. Ia bangkit dari kursi lalu mengambil kopi yang kami pesan, lengkap dengan 2 slice chessecake. Dengan cekatan, ia meletakkan kopi di atas meja dan menaruh nampan kosong ke meja lain. “Soal Bhagas!” katanya menjawab pertanyaanku yang terpotong tadi. “Emang Bhagas kenapa?” “Bhagas bukan anak kandung saya. Dia saya Adopsi 4 tahun lalu. Dulu dia anaknya ceria, periang, aktif dan menyenangkan.” “Terus? Kok bisa diem kaya sekarang?” Tanyaku. Kaget setengah mati begitu tahu Bhagas bukan anak kandung Marco. Pantas saja, Marco terlihat terlalu muda untuk punya anak seumur Bhagas. “Dia berubah saat saya cerai sama istri saya. Sebulan setelah saya adopsi Bhagas.” Aku hanya diam. Lalu menit berikutnya Macro bercerita tentang istrinya yang tidak menginginkan anak, padahal ia sangat mengharapkan adanya seorang anak. “Jadi karena itu Bhagas diam?” Tanyaku. “Iyaa, dulu saya pernah bawa dia ke psikolog tapi gak ngaruh. Saya heran sama kamu, kamu kenal dia baru seminggu tapi dia mau cerita banyak hal ke kamu.” katanya. Aku tersenyum mendengarnya. Keren juga nih aku, hehehe. “Kerena niat saya bukan mencari apa yang salah di dirinya Bhagas. Saya mau jadi temennya. Saya gak mau maksa dia cerita masalahnya ke saya, saya pengen dengar cerita-cerita yang mau dia bagi.” kataku. “Yaa, kamu orang pertama yang bisa bikin dia cerita soal kamu lebih dari satu kalimat!” kata Marco. “Seriusan?” Tanyaku kaget. “Yaa, Miss Clarissa kaya anak kecil. Miss Clarissa ngajak lomba gambar, padahal gambarnya jelek. Miss Clarissa jago main keyboard. Miss Clarissa ngasih cokelat tapi pas aku makan cokelatnya diminta secuil sama Miss Clarissa. Miss Clarissa baik!” “Serius Bhagas cerita gitu?” Tanyaku tak percaya. “Yaps, makanya saya berani cerita tentang Bhagas sama kamu.” Aku hanya mengangguk. “Eh iya, Bhagas tau dari mana namaku?” “Saya yang ngasih tahu.” “Okay!” “Thanks yaa!” katanya. “Buat?” Tanyaku. “Bisa bikin Bhagas ketawa. 3 tahun lebih saya gak liat dia ketawa.” “Makanya, harusnya lo ikut juga ujanan sama dia. Jadi bagian dari kebahagiaannya dia. Bukannya malah marah-marah!” kataku. “Jadi sekarang Lo-lo-an lagi nih?” Katanya sembari tertawa. “Oh yaudah, maaf Pak Marco!” kataku. Ia tersenyum. “Saya masih 29, jangan panggil saya Pak!” Aku kaget mendengar umurnya, aku kira umurnya sudah 32 tahun. Dia seorang dokter bedah spesialis kan? Biasanya umur segitu orang-orang masih jadi resident. Wow! Ternyata  dia kepala 3 pun belum. Berarti hanya berbeda 5 tahun dariku. “Okee!” kataku. “Kamu udah berapa lama jadi guru?” Tanyanya. “Baru 2 tahun!” “Oh baru banget berarti yaa?!”  “Iyaaa!” “Jangan singkat-singkat gitu dong. Berasa ngobrol sama Aga.” “Aga??” “Panggilannya di rumah Aga!” jelas Marco. “Kalo Bhagas sukanya apa?” “Gak banyak yang dia suka. Dia cuma suka musik sama ngegambar. Tapi dia selalu tekun di semua pelajaran, nilainya selalu bagus.” “Maksudnya, Bhagas suka mainan apa gitu? Tokoh kartun atau superhero favoritnya apa, gitu!” kataku. Marco menjawab dengan menggeleng sedih. “Dia gak suka itu semua. Dia lebih suka ngelukis.” kata Marco sambil menunjuk kanvas yang ia beli. Aku mengangguk. “Apa yang dia gambar?” “Orang, biasanya dia gambar aku, gambar ibuku atau sepupunya. Kadang gambar yang aneh-aneh abstrak gitu.” jelasnya. “Bhagas keren yaaa!” “Yep. I'm a proud daddy!” katanya. “Yeah, you should!” kataku. Kemudian dering ponselku berbunyi, aku segera mengangkatnya.   Ibun calling...   “Kenapa, Bun?” “Kamu di mana sayang? Kok Ibun mendadak kangen sama kamu.” kata Ibun. “Lagi di luar Bun. Yaudah nanti Sasa ke rumah Ibun yaaa. Malem ini.” kataku. “Nginep ya sayang!” pinta Ibun. “Iya Bun, Sasa nginep di rumah Ibun. Tapi Sasa pulang dulu ke rumah yaa, gak apa-apa?” “Oke sayang Ibun tunggu ” Kemudian Ibun memutuskan sambungan telefon. “Orangtua?” Tanya Marco saat aku selesai menelfon. Aku hanya mengangguk “Kamu gak tinggal serumah emang sama orang tua?” Tanyanya. s**t, dia pasti dengar obrolan ku dengan Ibun. Dasar gak sopan. “Susah jelasinnya!” kataku. Detik berikutnya ponselku berdering lagi.   Mama calling...   “Kenapa, Ma?” “Kamu di mana? Tadi katanya mau pulang tapi mama duluan yang nyampe,” Mama memulai omelannya. “Di mall Ma beli buku.” “Pulang gih, papa dapet kiriman dari Nenek, ada pempek kesukaan kamu satu dus!” “Seriusan ma? Aku pulang deh. Mama mau titip apa gak?” “Gak usah udah pulang aja buruan!” “Tapi aku mau nginep Ma, di rumah Ibun.” “Iyaa, udah pulang dulu aja buruan!” “Yaampun Ma, pempeknya juga gak bakal kabur kalo aku pulangnya besok.” “Iya gak bakal kabur, tapi abis dimakan Caca!” kata mama sambil tertawa. “Bilang Caca sisain buat aku. Awas aja diabisin!” “Pulang makanya!” kata mama lalu sambungan telefon pun terputus. Aku menatap ke arah Marco. Ia seperti bingung melihatku. Aku bisa menebak, ia pasti bingung karena aku di telefon oleh 2 orang yang satu kusebut Ibun dan satu ku sebut Mama. “Kenapa?” Tanyaku. “Gak apa-apa, lagi nyari kesimpulan aja.” Katanya “Apa?” “Bokap lo punya istri 2.” tebaknya. “Enak aja!” “Emang enak tuh, kalo punya istri 2!” ucapnya, nada suaranya terdengar becanda. “Gak gitu!!” “So?” Duhh sebetulnya aku malas menceritakan ini. Ia orang baru, aku mengenalnya baru kemarin. Tapi ia sudah menceritakan hidupnya. Oke supaya adil aku memberitahukannya sedikit saja. “Bokap gue istrinya satu. Mama gue doang, gak ada yang lain. Ibun itu orang tuanya mantan tunangan gue.” kataku. Dia masih bingung. Malah mukanya jadi semakin bingung. “Udah gak usah lo pikirin. Gue balik duluan yaa? Terima kasih loh udah traktir gue kopi, chessecake sama buku.” “Okee, anytime!” jawabnya. Lalu aku bergegas keluar menuju parkiran.     ** **   MARCO   Hari ini aku jadi lebih tau sosok Clarissa, dia gak sejudes yang aku bayangkan. Benar kata Aga: dia baik. Buktinya, dia masih menjalin hubungan dengan Ibu dari mantan tunangannya. Well, aku bingung. Kenapa dia bisa menjalin hubungan baik dengan orangtua dari mantan tunangan? Kalau aku, sudah bertunangan kemudian dibatalkan, aku akan benci setengah mati dengan pasanganku, beserta keluarganya. Dengan keluarga Melisa saja aku sudah tidak ada komunikasi lagi. Aku sudah sampai rumah, memarkirkan mobilku di sebelah mobil khusus antar jemput Aga. Aga masih menungguku. Ia belum tidur padahal sudah pukul 10 malam “Aga maaf, ayah telat. Tadi ayah ketemu Miss Clarissa jadi ngobrol dulu.” kataku sambil menghampiri Aga yang sedang menggambar di kertas HVS. “Ayah ketemu Miss Clarissa di mana? Kok ngobrol dulu?” Tanyanya. “Di toko buku pas beli kanvas. Ayah ngobrol soalnya Miss Clarissa mau jadi temennya Aga. Tadi Miss Clsrissa bilang gitu!” “Benaran? Miss Clarissa mau jadi temennya Aga?” Tanya Aga. Matanya mendadak berbinar. Dari suaranya pun terdengar jadi lebih bersemangat. “Iyaa, Aga mau temenan sama Miss Clarissa?” Tanyaku. “Mau ayah, Miss Clarissa baik!” jawabnya. “Oke, boy. Gambarnya besok pagi aja ya? Udah malem!” “Besok pagi kan kita renang, ayah lupa ya?” Tanyanya. “Oh iyaa, besok sore berarti. Ayah besok libur jadi ayah bisa temenin Aga. Sekarang kita bobo.” kataku sambil menggendong Aga. Ia tersenyum dalam gendonganku. Aku langsung membawanya ke kamarnya. “Oke, son. Goodnite.” kataku sambil mengecup keningnya. “Nite, ayah.” Katanya. Lalu aku keluar sembari mematikan lampu. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD