6. Hari Pernikahan

1324 Words
Pernikahan Alea di adakan di sebuah hotel mewah berikut resepsinya. Saat ini Alea sedang berada di salah satu kamar hotel tengah di rias sedemikian rupa untuk pernikahannya nanti. Di dalam sana, ia hanya di temani Aslan dan Davita, kakak iparnya. Karena hanya mereka yang Alea punya, Mama Papanya tentu saja sudah sibuk menerima tamu-tamu spesial undangan mereka. "Sudah selesai, kamu cantik sekali." Puji penata rias setelah pekerjaannya itu selesai. "Terimakasih," jawab Alea. "Kalau begitu, kami permisi." "Iya, silahkan," jawab Aslan menimpali. "Alea..., Kakak tinggal dulu tidak apa-apa. Ada tamu yang cari Kakak," ucap Davita pada adik iparnya. "Iya Kak, tidak apa-apa. Tapi jangan lama ya?" "Iya. Mas, kamu jagain Alea dulu ya. Jangan ke mana-mana, kalau Adrian sudah selesai ijab qabul dan aku belum balik, kamu yang temani Alea keluar." "Iya Dav, dia adikku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan." Davita segera keluar dari ruangan itu setelah mendengar ponselnya berdering. Aslan menatap Alea lama, mengagumi kecantikan adik perempuan yang tinggal satu-satunya. "Apa kamu benar-benar sudah siap untuk menikah Alea?" tanya Aslan pada sang adik. "Siap, Kak," jawab Alea yakin. Memangnya dia punya pilihan lain selain menikah? Aleta juga dulu begitu, di nikahkan setelah lulus kuliah. Orangtuanya tidak mengizinkan anak perempuan mereka bekerja. "Apa aku boleh memelukmu sebelum menjadi istri dari laki-laki lain?" tanya Aslan. Alea mendongakkan kepalanya terkejut. Permintaan itu lagi? Atau memang sebenarnya beginilah cara Aslan mengungkapkan rasa sayangnya? Tapi kenapa baru sekarang? "Tapi aku udah rapi Kak, nanti jadi berantakkan," jawab Alea. "Tapi aku memaksa." Tanpa aba-aba Aslan membawa Alea kedalam pelukkannya. Kemudian mengelus punggungnya. Tapi, Alea merasa pelukan ini terlalu erat dan lama jika hanya untuk pengantar seorang Kakak terhadap adik perempuannya yang hendak menikah dan tidak ada kata-kata atau wejangan apapun yang Aslan sampaikan padanya, hanya memeluknya saja. Jujur Alea merasa tidak nyaman, karena sekali lagi. Mereka tidak sedekat itu sebelumnya. Alea masih berada di pelukkan Aslan ketika layar monitor di kamarnya menayangkan suasana tempat Adrian hendak mengucapkan ijab qabul pernikahannya. Karena acara pernikahan mereka mengusung konsep mempelai wanita akan datang setelah prosesi ijab qabul dan sah menjadi istri. Pelukkan Aslan terasa kian erat sewaktu Adrian mengucapkan ijab qabul untuk Alea. Bahkan tubuh Alea terasa sakit dan sesak. "Aku sesak nafas Kak," ucap Alea. "Maaf." Aslan segera menarik diri dari pelukkan sang adik. "Kenapa kamu harus menjadi milik orang lain secepat ini Alea?" "Kak?" "Aku menyayangimu." "Kak, aku mau keluar sekarang." "Keluar? Bahkan aku sama sekali belum memasukimu Alea." Alea terkejut dan meneguk ludah kasar. Kata-kata ambigu Aslan membuatnya takut. Tapi dia kakak kandungnya, apa iya akan berbuat tidak baik padanya. Kata-katanya terdengar menjijikan. Ia memang sering mendengar berita seorang kakak yang jatuh cinta pada adiknya sendiri, tapi apakah Aslan juga mempunyai kelainan seperti itu? Tapi dia sudah menikah. "Bercanda Alea. Ayo kita keluar!" Entah mengapa kata 'bercanda' itu tidak lagi membuat Alea tenang. Di matanya Aslan terlihat menakutkan. Entah ini perasaannya saja atau memang begitu adanya. Tapi untuk menanyakan dan menceritakan hal ini pada keluarganya pasti hanya akan menimbulkan kesalahpahaman. Semoga ini terakhir kali Kakaknya bersikap aneh seperti ini. "Ayo." Alea mengangguk, cara berjalan dengan anggun yang sudah ia rencanakan kini berubah menjadi tegang. Tautan lengan antara dirinya dan Aslan ketika berjalan menuju tempat di mana Adrian menunggu terasa begitu lama. Saat sampai, semua mata tertuju pada Alea. Tak terkecuali Adrian. "Kenapa kamu berkeringat begini Alea?" tanya Adrian ketika dia sudah memasangkan cincin di jari manis Alea dan mencium keningnya. "Nggak tahu," jawab Alea yang masih merasakan ketegangan. Setiap melihat Aslan, ia melihat mata itu selalu tertuju padanya. "Rileks dan senyum, imbangi dandanan dan gaun camtikmu itu. Kamu yang menginginkan pernikahan ini, seharusnya harimu penuh senyum dan kebahagiaan bukan memasang wajah tegang seperti ini." Ucap Adrian lirih yang tak mungkin bisa di dengar orang lain selain Alea yang ada di sisinya. Tanpa aba-aba Alea meraih telapak tangan Adrian dan menautkannya membuat sang empunya terkejut. Bukan karena Alea menuruti kata-kata Adrian. Tapi lebih karena ia butuh pegangan untuk menenangkan hatinya dari apa yang terjadi ketika berdua saja dengan Aslan tadi. Pernikahan Alea dan Adrian di gelar dengan begitu mewah dari ijab qabul hingga resepsi. Mereka berdua melewati susunan acara seperti pada umunya. Adrian memerankan seorang suami yang begitu sempurna di depan semua tamu undangan. Sayangnya, dari begitu banyak tamu yang ada di sana tidak ada satu pun yang Alea kenali. Dari usia dua belas tahun, Alea sudah di sekolahkan di luar negeri dengan di bekali satu pengasuh hingga usia SMA. Sekolahnya pun berpindah-pindah dari negara satu kenegara yang lain. Membuat Alea tidak benar-benar punya teman, apalagi seseorang yang bisa di namakan sebagai sahabat. Satu-satunya teman yang Alea punya adalah anak dari pengasuhnya yaitu Sarah teman yang bersama Alea di klub malam waktu itu karena dia paksa untuk datang. Pertemanan itu juga terjadi tanpa sepengetahuan Papanya. "Sabar sedikit Alea. Kalau kakimu sakit lepas saja sepatunya." Ucap Adrian yang melihat kegelisahan Alea karena berdirinya yang mulai tidak tenang. "Nggak mau, nanti jadi kelihatan lebih pendek," jawab Alea. "Ngeyel." Alea menggigit bibirnya, betisnya terasa sakit sekali karena berdiri terlalu lama untuk menyalami tamu-tamu yang hadir. Apalagi di tambah sepatu berhak tinggi yang di kenakannya. Mungkin ini yang Adrian maksud tidak akan membuat pernikahannya bahagia. Baru hari pertama saja ia ia sudah di buat kesakitan. Adrian pasti sengaja memilih sepatu yang tidak nyaman untuk di kenakannya. Akhirnya Alea bisa bernafas lega ketika acara itu selesai tepat pukul sebelas malam. "Ayo, saya antar kamu ke kamar dulu. Saya masih banyak urusan." "Tidak usah, aku bisa sendiri. Kamu tidak perlu berpura-pura." Adrian menghembuskan nafas lelah. "Apa kamu tidak tahu yang namanya pencitraan, Alea?" bisik Adrian. Adrian lalu menarik tangan Alea dengan cepat lalu membawanya menuju kamar di mana mereka akan menginap nanti. Sebuah kamar hotel yang mewah khas untuk pengantin berbulan madu. "Lakukan apapun yang kamu inginkan. Tidak usah menunggu saya kembali kalau mau tidur," ucap Adrian. Untuk pernikahannya kali ini, sulit sekali bagi dirinya untuk berpura-pura mencintai. Alea tak menjawab. Tak peduli juga dengan apa yang akan Adrian lakukan, ia hanya ingin merebahkan tubuhnya agar kakinya bisa beristirahat. *** Alea sudah tertidur ketika merasakan pipinya di tepuk-tepuk pelan. "Bangun Alea! Ganti dulu bajumu." Alea membuka matanya pelan. Di sana ia melihat Adrian dengan kaos berwarna putih bersih dan celana pendek berwarna hitam selutut. Rambutnya terlihat sedikit basah, mungkin baru saja selesai mandi. Melihat baju yang di kenakannya sendiri, Alea baru sadar jika mereka baru saja menikah hari ini. Pernikahan yang di inginkan sendiri oleh Alea. Tapi baru hari pertama saja rumah tangganya sudah terasa begitu hambar. "Aku ganti baju besok aja," jawab Alea. "Silahkan, tapi kamu jangan tidur di ranjang." "Terus di mana?" "Dengan bajumu yang selebar itu sepertinya lebih cocok tidur di lantai daripada sofa." Alea menatap mata Adrian tajam. Di mana lelaki baik hati yang selalu meratukan istrinya seperti yang di katakan mendiang Kak Aleta. "Ayo, tunggu apalagi. Mau ganti baju atau lebih memilih tidur di lantai. Jangan berharap ada adegan seorang suami membantu istrinya membuka baju pengantin Alea. Itu tidak akan berlaku di pernikahan kita. Selain itu, tidak ada yang membuat saya penasaran dengan isi yang ada di dalam gaun mewah itu. Saya sudah melihat dan merasakannya. Tidak ada yang istimewa." Alea segera turun dari ranjang. Menarik dan membawa gaunnya yang cukup berat ke dalam kamar mandi. Dadanya sesak, kata-kata Adrian menyakiti hatinya. Di dalam kamar mandi Alea tidak langsung melepas gaunnya. Ia menyalakan shower dan duduk di lantai kamar mandi. Menumpahkan tangisnya di sana. Sehina itukah dirinya di mata Adrian? Ia bahkan menyerahkan keperawanannya pada lelaki itu. Sesuatu yang sudah ia jaga selama dua puluh satu tahun lamanys dan dia bilang tidak ada sesuatu yang istimewa darinya. Memang, seindah apapun pemandangan di depan mata tidak akan terlihat istimewa di mata yang salah. Alea berusaha mengenyahkan kekesalannya pada Adrian. Ia harus fokus pada niat awalnya ingin menikah dengan lelaki itu. Ia harus bisa melupakan rasa sakit yang Adrian torehkan di tubuh serta hatinya. Esok hari dirinya harus bisa kembali menjadi Alea yang ceria seperti biasanya. Meski dengan status yang sudah berbeda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD