Alea tak menjawab pertanyaan Adrian, ia lalu makan dalam diam. Sejak kejadian malam itu, Alea jadi merasa canggung dan segan terhadap Adrian. Alea masih mempunyai rasa malu.
"Bagaimana persiapan pernikahan kalian Adrian?" tanya sang Ayah ketika mereka sudah menyelesaikan makan malamnya.
"Sudah sembilan puluh persen selesai, Pa. Tinggal fitting baju pengantin milik Alea saja dan semua selesai."
"Oh ya? Waah, kalian hebat.Ternyata tanpa campur tangan Papa saja kalian bisa mempersiapkan semuanya sendiri dengan begitu cepat." Ucap Alex takjub. " Ngomong-ngomong, kapan kiranya Alea akan fitting baju pengantinnya?"
"Besok, saya sudah buat janji dengan butiknya. Hanya saja saya tidak bisa menemani karena ada urusan lain," jawab Adrian.
"Nggak apa-apa, aku bisa ajak Mama," sahut Alea cepat. Ia memang sedang tidak ingin pergi berdua saja dengan Adrian.
"Besok Mama juga sibuk Lea, nggak bisa temani kamu."
"Tapi, Ma?"
"Kalau kalian semua sibuk, biar aku aja yang temani Alea." Aslan yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. Dia mau menemani Alea sang adik ke butik untuk mencoba gaun pernikahannya.
"Kamu Mas? Apa itu artinya aku harus ikut juga? Soalnya aku besok ada kelas." Ucap Davita, istri dari Aslan yang seorang dosen.
"Nggak perlu, kamu ke kampus aja. Nggak apa-apa aku sendirian. Kamu mau kan, aku yang temani Lea?"
Meski ragu, Alea mengangguk. Tidak biasanya Aslan mau berbicara padanya apalagi menawarkan diri membantu urusannya. Tapi di banding pergi berdua dengan Adrian, mungkin lebih baik bersama Aslan.
"Iya Kak, aku mau."
"Maafkan Mama yang terlalu sibuk ya Lea," ucap sang Ayah tidak enak.
"Iya, Pah. Nggak apa-apa."
Inilah contoh dari sikap aneh Mamanya. Beliau seperti sudah tidak peduli dengan Alea. Mereka memang jarang bertemu apalagi bersama, tapi ketika dirinya pulang, dulu beliau masih mau memanjakannya. Pergi berbelanja atau berlibur bersama. Tapi untuk hal penting seperti mencoba baju pernikahannya saja, sekarang Mamanya sudah tidak punya waktu. Bahkan beliau lebih memilih tidur cepat dari pada membicarakan hal-hal tidak jelas dengannya seperti dulu.
***
"Apa kamu tidak bisa sabar sedikit lagi saja Vivian?" tanya Alex pada istrinya saat sudah selesai makan malam dan berada di dalam kamar mereka.
"Aku udah capek Mas, duapuluh tahun lebih harus berpura-pura itu tidak mudah," jawab Vivian Prajaya pada sang suami.
"Sedikit lagi saja."
"Aku capek."
"Tenang saja, Alea akan segera menikah, dia akan pergi dari rumah ini. Dan kamu sudah tidak perlu berpura-pura lagi sama dia. Kamu sudah aku izinkan menikmati hidupmu sendiri. Tapi tunggulah sebentar lagi, tunjukkan pada Alea sifat ke Ibuanmu, toh sudah banyak yang kamu dapatkan dari anak itu. Maaf aku sudah mengorbankan banyak sekali waktumu Vivian."
"Kalau itu untuk keselamatan dan keutuhan rumah tangga kita aku tidak masalah. Aku hanya lelah dan ingin jadi diri sendiri."
"Bersabarlah sedikit lagi Vivian."
Vivian mengangguk dan memeluk suaminya. Lelaki yang sangat ia cintai dan membuat ia rela melakukan apapun asal mereka bisa tetap bersama. Sebuta itu rasa cintanya pada seorang Alex Prajaya.
***
Keesokan harinya, Alea pergi ke butik hanya dengan Aslan saja. Meski semalam mengatakan sibuk, Mamanya berkata akan menyusul nanti. Vivian Prajaya, Ibunya memanglah wanita karir yang ikut mengurusi bisnis-bisnis milik Ayahnya yang Alea tidak tahu ada di bidang apa saja. Yang Alea tahu hanyalah beberapa hotel mewah di beberapa tempat wisata.
Mereka di sambut dengan baik di butik itu karena pasti gaun yang Adrian beli bukanlah barang yang murah.
"Biar saya yang membantu Alea mencoba bajunya. Saya keluarganya, Kakak kandungnya." Terang Aslan pada pegawai di butik itu. Sesuatu yang membuat Alea terkejut. Mereka tidak sedekat itu sebagai Kakak adik sampai Aslan menemaninya berganti pakaian.
"Apa kamu keberatan Alea?"
"Ti...tidak Kak, tapi...."
"Ayo."
Aslan menarik tangan Alea ke sebuah ruangan untuk mencoba baju itu. Jujur saja, Alea merasa risih. Meski Aslan adalah Kakaknya, mereka bukanlah kakak beradik yang dekat satu sama lain sejak kecil. Mereka sudah terpisah sekian lama.
"Ayo buka bajumu, aku akan tutup mata dan balik badan."
Meski ragu, Alea segera membuka baju dan menggantinya dengan gaun pengantin yang sudah Adrian pesankan untuknya.
"Sudah Kak," ucap Alea. Bajunya sudah menempel sempurna di tubuhnya, hanya belum bisa ia resleting bagian belakangnya saja karena tangannya tidak sampai.
"Kamu cantik sekali, Alea."
"Terimakasih."
"Apa aku boleh memelukmu?"
Alea mengangguk. Melihat senyum Aslan yang berbinar, ia merasa saat ini Aslan tengah menjadi Kakak yang baik untuknya.
Alea menyambut pelukan Aslan dengan senyum haru. Tapi hanya sesaat, ketika ia merasa Aslan meraba punggungnya yang terbuka ia merasa tidak nyaman. Ia segera melepas pelukan Aslan dengan cepat. Sikap dan sentuhan Kakaknya terasa berlebihan. Apa karena dirinya yang tidak terbiasa?
"Kamu cantik sempurna Alea, tapi kenapa harus menikah dengan Adrian?"
Alea mengernyitkan kening bingung.
"Maksudnya?"
"Ada laki-laki lain yang lebih menyayangi dan mencintaimu Alea."
"Siapa?"
"Aku akan mberitahumu kalau kamu mau membatalkan pernikahanmu dengan Adrian," ucap Aslan sambil merapikan rambut Alea kebelakang telinga.
"Aku tidak punya alasan untuk membatalkannya," jawab Alea.
"Bagaimana kalau kamu menikah denganku saja Alea?"
Alea menatap Aslan bingung. Wajah Kakaknya ini terlihat serius. Tapi tidak lams suasana tegang itu berubah ketika tawa Aslan menggelegar.
"Lucu sekali wajah terkejutmu Alea. Membuatku ingin mencium pipi merahmu itu. Aku hanya bercanda, maaf."
Akhirnya Alea bisa bernafas lega.
"Bercandamu keterlaluan, Kak," ucap Alea kikuk.
"Maaf, ayo sini aku bantu pasangkan resetlingnya."
"Biar saya saja."
Aslan dan Alea menengok kompak ke asal suara. Adrian sudah berdiri di dekat pintu dengan tatapan tajam.
"Ya sudah, aku keluar." Aslan keluar dari ruangan itu. Tidak mungkin ia berdebat dengan Adrian untuk memperebutkan Alea.
Adrian segera mendekat pada Alea dan merapikan gaunnya untuk menarik resleting baju itu hingga punggung putih milik Alea tertutup dengan sempurna.
"Apa pegawai di butik ini sibuk semua dan tidak ada yang bisa melayanimu Alea?" tanya Adrian dengan nada dingin.
"Tidak, tapi Kak Aslan menawarkan bantuan."
"Seharusnya kamu menolak."
"Aku tidak enak. Lagipula dia Kakak kandungku sendiri apa salahnya?" jawab Alea.
"Kalian sudah dewasa, harus ada batasan. Bukankah selama ini kalian tidak begitu akrab, kenapa tiba-tiba pergi bersama?"
Itu yang membuat Adrian membatalkan jadwal rapatnya. Karena hatinya tidak rela calon istrinya pergi mencoba baju pengantin dengan laki-laki lain. Meski itu Kakak kandung Alea sendiri. Tapi sudut hatinya mengatakan itu tidak pantas dan dia tidak ikhlas.
"Apa aku harus menolak niat baik seseorang? Sedangkan orang yang seharusnya menemaniku di sini sedang pura-pura sibuk?"
"Tidak semua niat baik seseorang itu baik untukmu, Alea. Dan aku tidak pura-pura sibuk, tapi memang malas menemanimu di sini Alea. Jangan lupakan pernikahan seperti apa yang akan kita jalani nanti."
Adrian membalik tubuh Alea untuk menghadapnya. Satu kata yang terucap di hati Adrian yaitu, cantik. Sayangnya kecantikan Alea bukanlah sesuatu yang patut ia puja dan kagumi.
Alea menatap lekat mata Adrian.
"Apa aku tidak menarik di matamu, Kak Adrian?" tanyanya.
"Semenarik apapun dirimu, aku tidak berkewajiban untuk mencintaimu, Alea. Jangan terlalu berharap sesuatu yang di mulai dengan buruk akan berakhir baik."
"Apa kamu tidak takut aku mengadukan kata-kata Kak Adrian yang begitu menyakitiku ini ke Papa?" tanya Alea.
"Tidak! Karena kamu pasti juga tidak ingin kejadian malam itu saya bongkar di hadapan keluargamu bukan?"
Alea menggigit bibirnya. Ia jelas masih punya rasa malu di depan keluarganya. Hanya di depan Adrian saja waktu itu rasa malunya hilang tak bersisa.